Friday, December 28, 2007

Kutukan Sumber Daya Alam

Oleh M. Yudhie Haryono

Direktur Nusantara Centre

Dalam berbagai artikel, buku, wawancara maupun ceramahnya, mantan bandit ekonomi [economic hit-man], John Perkins mengatakan bahwa multinational corporation (MNC) melalui IMF dan Bank Dunia selalu membungkus tindakannya dengan kalimat-kalimat yang mulia.

Kalimat itu menjadi mantera yang ampuh seperti, memajukan peradaban, menyebarkan demokrasi, merangsang pertumbuhan ekonomi, menerangi jalan kemajuan-tetapi tidak diragukan lagi mereka adalah penjajah yang berniat menjarah. Mereka layak disebut diktator finansial [John Perkins, 2007:85].

Hipotesis ini kemudian mendapatkan pembenarannya oleh telaah akademik Stiglitz [pemenang Nobel ekonomi] yang menulis bahwa "agar program-program IMF berjalan dan angka-angka bertambah terus, perkiraan ekonomi harus disesuaikan.

Banyak orang yang menggunakan angka-angka ini tidak menyadari perbedaannya dari perkiraan biasa. Dalam contoh-contoh ini, perkiraan GDP tidak dibuat berdasarkan model statistik yang canggih. Bahkan bukan merupakan estimasi terbaik dari orang yang memahami ekonomi. Akan tetapi sekadar angka-angka hasil negosiasi sebagai bagian dari program IMF [Stiglitz, 2003:232].

Jika dua tesis di atas digunakan sebagai analisis keadaan ekonomi-politik kita, dapat dimengerti bahwa sampai hari ini negara Indonesia belum beranjak menuju zona aman ekonomi, sebaliknya menuju a nation in collapse.

Hal ini karena paradigma pembangunan ekonomi kita belum beranjak dari paradigma pertumbuhan. Juga berbagai tindakan yang belum sepenuhnya sadar akan "intervensi asing" dalam pengelolaan SDA.

Sebagai bukti, dalam pidato presiden Agustus 2007, asumsi pemasukan APBN kita hanya berasal dari pajak, privatisasi BUMN, SUN dan migas.

Padahal, kita dapat memasukkan sektor pertambangan sebagai sumber utama APBN. Sebab, jika dilihat angka-angka yang harusnya dapat diperoleh dari pertambangan cukup mencengangkan. Dalam riset yang dilakukan oleh Drajat Wibowo terhadap PT Freeport kita hanya mendapat Rp14 triliun atau menyumbang APBN 2007 sebesar 0,09%.

Hal ini karena kontrak karya yang salah dan kepemilikan pertambangan oleh perusahaan MNC. Padahal, kita seharusnya bisa mendapatkan pemasukan sebesar Rp20,7 triliun. Itu pun baru dari satu kontrak karya pertambangan.

Artinya, jika dilakukan secara menyeluruh terhadap proses renegosiasi kontrak karya sebagaimana diusulkan Stiglitz dan Perkins dengan melihat kebutuhan APBN negara-negara miskin maka akan terlihat bahwa sektor pertambangan adalah primadona yang seharusnya kita nikmati bersama.

Dengan melihat kontrak karya yang tidak adil maka kita sadar bahwa sudah lama negeri ini kehilangan kapasitas-kapasitas domestiknya akibat hubungan yang mendalam dan berkelanjutan dengan MNC dan dengan rezim kapitalis global [USA].

Secara empiris, hanya sedikit cerita sukses dari sebuah pemerintahan yang mendasarkan diri pada utang dan resep-resep IMF. Kebanyakan justru masuk dalam debt trap berkepanjangan dan kemudian memengaruhi berbagai program pembangunan yang pilihannya adalah meninggalkan rakyat sebagai pemilik sah SDA dan negaranya.

Dalam sejarahnya, kita memang selalu ada dalam konteks pertumbuhan kapitalisme dan sejarah penjajahan. Dalam perjuangan merebut ataupun mempertahankan kemerdekaan itu pula kita tetap dalam ruang sejarah kapitalisme yang menjajah.

Karena itu, tidak ada jalan lain kecuali menempatkan kapitalisme sebagai sebuah imperatif sejarah (historical imperrative) di samping juga menyadari keberadaannya dalam interdependensi global yang ditandai oleh "integrasi dan resistensi relatif."

Artinya, melakukan integrasi secara penuh akan dengan mudah menjebak negara ke dalam lingkar dependensi global yang lebih mendalam sementara melakukan perlawanan terhadap kapitalisme dunia hanya akan melahirkan nasionalisme yang terlampau eksotik. Karena itu pilihannya adalah interdependen.

Posisi interdependen diandaikan sebagai konstelasi yang netral, tetapi sebenarnya ada operasi-operasi tersembunyi yang berlangsung di balik globalisasi. Sejumlah intelektual menyebut globalisasi sebagai mitos karena dalam globalisasi timbul adanya "kekuasaan yang beroperasi dalam keriangan."

Kita seolah-olah merayakan keragaman, padahal yang berlangsung sebenarnya keseragaman. Kita seakan-akan hidup dalam pertumbuhan tetapi yang terjadi adalah ketidakadilan ekonomi. Kita seakan-akan berhasil menumpas para diktator politik tetapi yang terjadi adalah menciptakan diktator ekonomi [baru] yang lebih bengis.

Lebih pro rakyat

Semakin jelas, bahwa meskipun ada agenda-agenda politik yang didesain oleh kekuatan pasar global, ia hanya sebatas pada logika-logika akumulasi kapital ketimbang akumulasi demokrasi.

Karena itu, urusan bagaimana kapitalisme dan rezim pasar global membawa berkah atau bencana, akan banyak ditentukan oleh upaya-upaya kreatif dan progresif dari setiap negara untuk lari dari posisi sebagai negara yang serba diatur (regulatory state) oleh rezim pasar global.

Dari argumen di atas, pelajarannya adalah jika negara gagal melakukan intermediasi dan gagal menjadi avatar yang organik antara pasar dan rakyat banyak maka kita akan bergantung pada struktur modal internasional sehingga menyeret bangsa kita pada posisi sebagai aparat pasar (market apparatus).

Dus, selama agenda-agenda besar negara lebih banyak mengakomodasi ruang pasar dan menihilkan hak rakyat, negara tersebut akan jatuh pada hamba kapitalisme yang berkepanjangan.

Sebagai market apparatus, regulasi yang dibuat negara akan senantiasa memberi pelayanan pada rezim pasar global. Terlebih, sampai kapan pun, kekuatan modal internasional tidak pernah bisa diharapkan membasmi kebocoran anggaran, korupsi dan juga mendesak dihukumnya pejabat publik yang KKN.

Tidak ada pilihan lain kecuali bahwa kita harus mendesain ekonomi nasional di zaman demokrasi ini harus lebih mengikuti kaidah-kaidah pro-rakyat yang menitikberatkan pada pemerataan dan kesejahteraan guna menghasilkan keadilan.

Ekonomi nasional harus mewujudkan good governance yang prinsip-prinsipnya adalah aksesibilitas, transparansi dan akuntabilitas dalam semua aspek, termasuk [renegosiasi] kontrak karya.

Di atas segalanya, kita harus memahami arti globalisasi dan liberalisasi ekonomi yang tidak mungkin dielakkan lagi oleh Indonesia. Artinya, kita akan mengundang modal asing untuk datang ke Indonesia sebanyak-banyaknya, akan tetapi dengan syarat-syarat yang menjamin keuntungan bagi kedua belah pihak.

Kekayaan alam sebagai karunia Tuhan harus dipelihara dan dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran dan kepentingan rakyat.

Perusahaan dan modal asing dipersilahkan untuk beroperasi di seluruh nusantara, tetapi, sekali lagi, atas dasar saling menguntungkan dan berlandaskan asas kepantasan dan keadilan. Jika hal ini dapat segera kita lakukan, kutukan SDA bisa berubah menjadi berkah SDA.

LANSKAP BARU PERANGI KEMISKINAN

LANSKAP BARU PERANGI KEMISKINAN

BPS melaporkan bahwa dewasa ini jumlah rakyat miskin sekitar 37.2 juta jiwa. Tetapi akan segera berlipat jika terjadi kenaikan harga konsumsi karena naiknya harga minyak. Diperkirakan kenaikannya dari 16.6 menjadi 29 persen. Lebih gila lagi, angka kemiskinan kita jika dihitung berdasarkan pendapatan 2 dollar per hari maka akan didapati angka 42.6 persen atau sekitar 100.7juta jiwa. Tentu saja ini merupakan angka yang sangat menggelisahkan. Angka yang bila dibiarkan akan menghasilkan “gejala jenuh pada status quo.” Gejala ini lahir karena aparatus pemerintah tidak memiliki program yang kongkrit dan inovatif dalam menghabisi kemiskinan sebagai pesan dasar UUD45; memajukan kesejahteraan umum guna menciptakan keadilan dan kemoderenan.

Agar gejala ini tidak menimbulkan anarkhi, kita perlu lanskap baru yang sama sekali berbeda dari program sebelumnya. Lanskap baru tersebut adalah; Pertama, melakukan penajaman tata peran dan tata kelola pelaku ekonomi [BUMN-Koperasi-Swasta] dengan pola partnership [kerjasama berkelanjutan] untuk menanggulangi rakyat miskin dan pengangguran. BUMN-Koperasi-Swasta harus menempatkan program penanggulangan kemiskinan sebagai program utama dan unggulan.

Kedua, pemetaan dunia usaha agar kita memiliki pengetahuan di mana basis keunggulan komparatif dan di mana kita memiliki keunggulan kompetitif. Dalam hal ini pemerintah harus membentuk pusat data dan trading house yang berfungsi secara strategis menyuplai data bagi pegiat ekonomi [lokal, nasional maupun internasional]. Bagi pemerintah, pembentukan lembaga ini bukanlah hal yang sulit. Pemerintah bisa menugaskan perusahaan-perusahaan negara yang sudah mapan [Pertamina, Telkom] agar berfungsi sebagai pelopor (avant garde) pusat data tersebut. Sedang untuk usaha kecil dan menengah [UKM] pemerintah bisa menunjuk Bulog. Sebagai BUMN, Bulog adalah institusi yang paling tepat dan cepat untuk melaksanakan atau menjadi pusat data dan trading house tersebut.

Ketiga, menetapkan kebijakan redistribusi asset kepemilikan rakyat terhadap usaha hajat hidup rakyat miskin. Tanpa redistribusi asset dan pengelolaan dari, oleh dan untuk rakyat miskin, kemiskinan akan sulit ditumpas. Terlebih kita memiliki tradisi aparatus pemerintah yang koruptif.

Keempat, penetapan kebijakan fiskal yang mengkondusifkan iklim usaha. Dalam hal ini pajak dan pelayanan harus cepat dan efesien. Perlu adanya reformasi pelayanan usaha agar memudahkan pelaku ekonomi menemukan kondisi yang menyenangkan ketika membayar pajak maupun mendapat penyaluran kredit. Kita harus jeli bahwa menuntaskan kemiskinan diperlukan strategi besar yang harus dimiliki oleh aparatus birokrasi. Terlebih kita adalah salah satu negara yang terlibat dalam upaya pengentasan kemiskinan melalui Millenium Development Goal's (MDG's). Dengan MDG's ini strategi operasional untuk membangkitkan dan mengembangkan ekonomi kerakyatan guna menuntaskan kemiskinan menjadi keniscayaan. Intinya, reformasi birokrasi yang melayani adalah keniscayaan.

Kelima, penyediaan bantuan yang mempercepat perkembangan usaha. Dalam hal penyediaan kemudahan bantuan/kredit, pemerintah dapat menugaskan bank (misalnya, BRI) sebagai lembaga yang bisa menjamin seluruh usaha [terutama UKM] untuk mengatasi masalah kemiskinan. Bagaimanapun BRI merupakan lembaga keuangan yang tepat, di samping secara manajemen cukup baik. Tingkat jangkauan BRI cukup luas sampai di tingkat kecamatan dan desa. Melalui permodalan yang dilakukan oleh BRI dan memanfaatkan jaringan koperasi simpan pinjam di pedesaan diharapkan penyaluran kredit kepada masyarakat akan lebih efisien dan dana masyarakat pedesaan akan berputar di sekitar pedesan pula.

Keenam, dorongan dan perlindungan bagi segala usaha. Strategi pengentasan kemiskinan belumlah cukup tanpa didukung oleh sejumlah gerakan nasional yang harus dilakukan secara bersamaan. Misalnya gerakan mendorong masyarakat untuk menciptakan lapangan pekerjaan dan bukan mencari kerja. Kemudian gerakan efisiensi nasional atau gerakan pola hidup sederhana. Melalui gerakan ini diharapkan masyarakat tidak menjadi konsumtif, tetapi sebaliknya masyarakat lebih produktif. Dengan produktifitas yang tinggi kita akan memiliki daya tahan yang kuat terhadap krisis. Sebab, selama ini ternyata sektor-sektor informal maupun sektor formal berskala kecillah yang paling siap menghadapi krisis ekonomi. Meningkatnya sektor informal semenjak krisis memberi indikasi kuat bahwa dari sektor inilah masyarakat mencoba bertahan terhadap krisis. Karena itu pemerintah perlu memfasilitasi berkembangnya sektor-sektor ini sebagai unit penyangga ekonomi masyarakat. Bukan sebaliknya, pemerintah tidak begitu ramah terutama terhadap sektor-sektor informal.

Ketujuh, gerakan proteksi produk dalam negeri dan gerakan loyalitas konsumen dalam negeri untuk produksi dalam negeri dengan menganeka-ragamkan pilihan pangannya. Jika gerakan ini dilakukan dengan baik, maka sebenarnya sudah tersedia pasar yang cukup besar bagi seluruh hasil produksi. Misalnya hasil produksi pertanian, perkebunan dan nelayan. Sekitar 250 juta penduduk Indonesia merupakan potensi pasar yang bisa digali dalam upaya membangkitkan daya saing ekonomi rakyat. Data BPS 2007 memperlihatkan bahwa Indonesia adalah negara agraris pengimpor terbesar produk pertanian. Tentu saja upaya meningkatkan daya saing produksi dalam negeri bukanlah sesuatu yang mudah. Kuncinya terletak pada komitmen pemerintah dan kita semua untuk membangkitkan rasa percaya diri dan rasa memiliki sebagai bekal menghadapi daya saing yang lebih tinggi [globalisasi].

Kedelapan, pengendalian modal asing serta produk impor. Ini adalah turunan dari akibat globalisasi. Dinamika perekonomian yang terbuka pada perdagangan global saat ini pada titik tertentu menghancurkan ekonomi dalam negeri. Membanjirnya produk dari negara tetangga baik yang legal maupun yang ilegal telah mematikan potensi ekonomi lokal yang tengah berkembang. Banyak pabrik ditutup karena tak lagi mampu bersaing dengan dinamika perekonomian global. Para kapitalis global telah mematikan perekonomian lokal karena mereka punya segalanya; modal besar, jaringan kuat, lobi yang kuat dan SDM yang mumpuni. Karena itu, Indonesia oleh sejumlah ekonom, dinilai telah menjadi pasar yang paling liberal. Tentu saja pasar yang hanya diisi oleh kapitalis-kapitalis tingkat dunia. Pengendalian modal asing dan pengecilan volume barang-barang impor menjadi kunci bagi berkembangnya ekonomi dan produk lokal.
Pengendalian modal asing dan pengecilan volume barang-barang impor menjadi kunci bagi berkembangnya ekonomi dan produk lokal. Inilah delapan lanskap ekonomi baru yang harus segera kita lakukan. Syaratnya, strategi ini harus menjadi strategi kita semua, pemerintah dan masyarakat. Inilah yang akan menjadikan bangsa Indonesia mampu membuat blue print tentang enam hal penting bagi rakyatnya sesuai dengan pesan dasar UUD-45; mentradisikan kesehatan, menyehatkan pendidikan, menyelenggarakan kebebasan, menjalankan keadilan, mengundangkan persamaan dan menjaga kesejahteraan. Saatnya kita semua menajamkan paradigma kemerdekaan politik [welfare state] ke arah kemerdekaan ekonomi [welfare society] agar stabilitas ekonomi dan kemakmuran rakyat segera tercapai.

Di atas segalanya, visi-misi kita dalam bernegara haruslah merujuk pada keadilan dan kesejahteraan. Tetapi, harus diingat bahwa kekuatan rakyat akan mubazir tanpa kekuasaan. Kekuasaan penguasa tak dapat diwujudkan kecuali dengan penegakkan hukum. Penegakkan hukum bertujuan untuk menegakkan keadilan dan menyebarkan kesejahteraan. Penyebaran keadilan dan kesejahteraan hanya dapat dilalui dengan pembangunan. Pembangunan untuk menyejahterakan rakyat hanyalah tugas, bukan tujuan. Sebab tujuan utamanya adalah mencari ridha dan menjalankan nilai-nilai luhur yang berujung pada Tuhan, penguasa alam semesta.[]

LANSKAP POLITIK-EKONOMI KAUM MUDA MEMIMPIN

LANSKAP POLITIK-EKONOMI KAUM MUDA MEMIMPIN


Ikrar telah dibacakan, kreta telah dilecut, subyek telah dikampanyekan, lanskap politik-ekonomi telah disemai. Kini, kaum muda sedang menangkap respon, kritik dan sintesa yang sedang datang berjalan mendatanginya.
Jika di tahun 2003 menuju pemilu 2004 kaum muda mengkampanyekan ”jangan pilih politisi busuk” maka 2008 menuju 2009 kaum muda sangat serius mengkampanyekan gagasan saatnya kaum muda memimpin. Tentu saja gagasan ini berpijak pada visi penyelamatan bangsa, misi kesejahteraan rakyat dengan paradigma keadilan dan kesejahteraan. Politik keadilan dan ekonomi kesejahteraan adalah kata kunci memahami ideologi kaum muda memimpin.

Secara politik, kaum muda beriman pada demokrasi. Dan, mereka percaya bahwa demokrasi hari ini sudah pada relnya. Yang jadi tuntutan kaum muda hanya pada pendalaman dan konsolidasi kaum pro-demokrasi untuk bergerak lebih tajam dari prosedur menjadi subtansi. Jika demokrasi prosedur hanya berpijak pada angka-angka dan undang-undang yang membatasi gerak langkah kaum demokrat dalam menyelenggarakan pemerintahan sehingga melahirkan ”tirani mayoritas” maka subtansi demokrasi berjalan dalam logika sebaliknya.

Para demokrat sepakat bahwa demokrasi subtansi adalah demokrasi yang meletakkannya sebagai jalan dan nilai bagi tumbuhnya kebersamaan dan kegotongroyongan untuk sampai pada ”cita-cita” besar bangsa kita, yaitu masyarakat yang adil dan sejahtera. Dengan memahami demokrasi sebagai alat dan nilai, kaum muda menuntut praktek demokrasi tidak hanya dimiliki oleh partai politik dan sekumpulan mereka yang berduit. Praktek demokrasi subtansial adalah ”perlindungan” menyeluruh bagi semua anak bangsa dalam berpolitik dan artikulasinya dalam berbangsa, berapapun miskin dan sedikit jumlahnya. Itulah mengapa kaum muda menyepakati gagasan tampilnya perseorangan sebagai calon independen bagi pemimpin, baik bupati, gubernur maupun presiden.

Dengan visi yang clear ini, kaum muda ingin menegaskan bahwa mereka tidak anti demokrasi, anti partai, apalagi anti negara. Yang dilakukan hanyalah kampanye kesadaran bahwa ”pemerintah” adalah buah demokrasi yang punya tugas dan kewajiban besar melaksanakan konstitusi dan amanat rakyat dengan tugas utama melayani rakyat banyak, membebaskan mereka dari kemiskinan, pengangguran dan kekerasan.

Secara ekonomi, kaum muda beriman pada demokrasi ekonomi. Dalam hal ini kaum muda memilik ”paradigma berbeda” dengan elit negara. Mereka melihat bahwa elit pemerintah [eksekutif] dan elit parpol [legislatif] masih berparadigma lama, berperilaku lama. Para elit ini oleh kaum muda dianggap gagap dan gagal memaknai pesan dasar konstitusi. Sebab, partai politik dan eksekutif [presiden dan pemerintahan selanjutnya] ternyata hanya mengulangi paradigma yang sama, perilaku yang tidak berbeda dan jalan yang tidak berubah. Paradigma pro-pertumbuhan [konglomerasi], perilaku pasar bebas [market fundamentalism], jalan hutang piutang [besar pasak daripada tiang], sehingga tidak mengutamakan ekonomi kerakyatan yang pro kaum miskin.

Intinya, jika membaca pernyataan dan brosur serta tulisan yang beredar maka kaum muda menyepakati bahwa kepemimpinan nasional perlu disegarkan, dibarukan dan diganti. Tetapi tidak sekedar penyegaran orang dan subyek, melainkan juga gagasan dan visi. Dus, gagasan mereka sangat jelas, menghancurkan pemerintah yang menjadi kepanjangan tangan neolib dan merebut kepemimpinan yang akan menyelenggarakan empat hal penting; Pertama, perubahan paradigma pembangunan yang mengutamakan pemerataan, bukan pertumbuhan [politik undang-undang]. Kedua, nasionalisasi asset strategis dan SDA untuk kemakmuran rakyat [politik kesejahteraan]. Ketiga, hapus hutang lama dan tolak hutang baru [politik kemandirian]. Keempat, proteksi dan penggunaan produksi dalam negeri [politik kemodernan].

Inilah lanskap politik ekonomi kaum muda yang didesain bagi peraihan prestasi kesejahteraan rakat agar lekas datang. Dalam hal ini, kaum muda berusaha merumuskan ulang lanskap ekonomi politik baru yang lebih riil dan tegas dengan tujuan dan cara mencapainya secara brilian demi rakyat miskin, bukan untuk orang per orang apalagi sekelompok orang. Politik-ekonomi kaum muda dengan demikian adalah politik-ekonomi kaum miskin yang dimerdekakan, dimandirikan dan dimodernkan.
Gagasan politik ekonomi kaum miskin yang berbasis pedesaan dan nelayan menjadi penting karena sektor pertanian dan nelayan adalah sumber kemiskinan. Kita tahu, jumlah rakyat miskin berada paling banyak di pedesaan. Sensus BPS 2006, jumlah warga miskin di pedesaan sebesar 27.8 juta jiwa dan sebagian besar bekerja di sektor pertanian/perkebunan/perikanan/buruh.

Dus, kita harus fokus dan berparadigma yang menempatkan rakyat miskin [buruh, petani, nelayan, pekebun] sebagai sasaran utama kebijakan pembangunan eko-politik. Dengan fokusnya arah pembangunan politik-ekonomi tersebut, rakyat miskin akan dapat ikut secara maksimal dalam pembangunan politik-ekonominya.
Memang, pemerintah telah menetapkan revitalisasi pertanian sebagai bagian dari triple track strategy. Sayang, konsepnya tidak jelas dan implementasinya tidak intensif-efektif karena minimnya koordinasi antar lintas sektor yang sampai ke daerah. Saat bersamaan, pemerintah juga tidak menghasilkan pola tata niaga perekonomian sehingga kurang memberikan peran yang maksimal pada Koperasi dan BUMN.
Data BPS menunjukan bahwa pertumbuhan sektor pertanian menurun dari 4.1%/2004 menjadi 3.0%/2006. Pangsa PDB pertanian menurun dari 15.5%/2004 menjadi 13.0%/2006. Selanjutnya, produksi beras makin menurun. Tahun 2007 produksi gabah kering direncanakan hanya 53.1 juta ton atau turun 1.2 juta ton dibanding tahun 2006. Hal ini terbuktikan bahwa kinerja pertumbuhan pertanian kuartal I/2007 tercatat negatif sehingga menjadi bukti bahwa program revitalisasi pertanian tidak maksimal. Akibatnya, daya beli masyarakat miskin petani di pedesaan menjadi sangat rendah.
Sementara itu harga kebutuhan pokok semakin meningkat. Hal ini disebabkan karena terjadinya ketidakseimbangan antara produksi dan permintaan yang mengakibatkan adanya kegagalan pasar [market failure]. Bukti kegagalan pasar adalah terjadinya kenaikan harga beras dan minyak goreng yang tidak dapat diselesaikan oleh pemerintah secara tepat dan cepat. Sebaliknya pemerintah menanggulanginya secara reaktif dengan menyalahkan harga komoditas dunia. Hal ini lagi-lagi membuktikan tidak adanya pola tata niaga yang implementatif.

Koperasi dan BUMN juga tidak berperan maksimal dalam persoalan naiknya harga kebutuhan pokok tersebut. Selebihnya, peranan Koperasi menjadi sangat kecil dan peran BUMN tidak maksimal dalam menangani cabang-cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak. Hal ini dapat dilihat dari penjualan Indosat, Kebun Kelapa Sawit yang sangat besar ke PT. Gutri Peconina Indonesia (GPI) dan penjualan tambak udang terbesar di dunia, Dipasena Citra Darmaja ke swasta dan perusahaan asing.
Dengan demikian, kebijakan yang tidak fokus tersebut belum menyentuh ketahanan politik-ekonomi apalagi kedaulatan ekonomi. Padahal kedaulatan ekonomi merupakan prasyarat bagi demokratisasi. Karena itu, Menko Ekuin Prof. Boediono [24/2/07] dalam pidato pengukuhan guru besarnya di UGM mengatakan, “tingkat kemajuan ekonomi merupakan faktor penentu bagi keberlanjutan demokrasi.” Karena itu, apalah artinya semua keberhasilan pemerintah sekarang jika tidak segera melengkapinya dengan mengatasi problem “stagnasi politik-ekonomi.”

Di sinilah logika saatnya kaum muda memimpin menemukan basis argumentasinya. Yang muda, waras dan cinta Indonesia adalah harapan rakyat banyak untuk memerdekakan kembali bangsa ini, memandirikan kaum miskin dan memodernkan pemerintahan. Semoga gagasan kaum muda jika ”masuk menggenapi” dan jika ”keluar menambah” bagi pencapaian cita-cita besar bangsa kita.[]

NERAKA KAUM MISKIN

Jika negeri Bangladesh menjadi sorga kaum miskin karena ada Bank Kaum Miskin dengan GramenBank dan Yunusnya maka Indonesia adalah neraka kaum miskin. Hal ini karena bank-bank kita tidak memiliki skenario dan pemihakan yang jelas bagi orang miskin. Pemerintah juga lebih pro-konglomerat daripada kaum miskin.

Pada prakteknya, hal ini dapat dilihat pada kwalitas pertumbuhan ekonomi yang baru bergerak di sektor finansial. Sebuah pertumbuhan ekonomi yang justru merefleksikan kelas tertentu dalam masyarakat sehingga memarginalisasi rakyat miskin yang tidak memiliki akses ekonomi. Akibatnya, belum ada kepastian bahwa perbaikan ekonomi makro-mikro akan berlangsung berkelanjutan dan aman.

Pada level normatif, kita juga mencatat perbuatan elit politik kita yang lebih mementingkan konglomerat dan ekonomi asing dengan menerbitkan bermacam undang-undang yang menguntungkan mereka. UUPMA No.25/07, UU No.6/68 tentang PMDN, UU No.1/87 tentang KADIN, UU No.7/92 tentang Perbankan, UU No.22/01 tentang Migas, UU No.20/02 tentang Swastanisasi Listrik, UU No.7/04 tentang Swastanisasi Air, adalah buktinya.

Orang miskin pada akhirnya menjadi paria di negeri merdeka. Orang miskin menjadi anak tiri bangsa ini. Kaum miskin bagai ”anak ayam yang mati di lumbung padi.” Padahal kemiskinan bukan takdir yang genetik. Ia hanya akibat dari pergumulan internal dan eksternal kemanusiaan. Ia adalah kondisi yang dapat dirubah dan dimusnahkan. Ia dapat dimusiumkan, kata Muhamad Yunus [2007]. Ia adalah tantangan sekaligus peluang yang dapat dilalui guna mencapai kesejahteraan dan keadilan agar mendapat kebahagiaan.

Kemiskinan sendiri adalah absennya seluruh hak asasi manusia, kata Muhamad Yunus dalam pidato penghargaan Nobel Ekonomi pada tahun 2006 yang lalu. Frustasi, permusuhan dan kemarahan yang disebabkan oleh kemiskinan akut tidak bisa memupuk perdamaian dalam masyarakat manapun. Untuk membangun perdamaian yang stabil kita harus mencari cara-cara menyediakan peluang bagi rakyat untuk bisa hidup layak. Dus, dunia tanpa kemiskinan adalah dunia di mana setiap orang bisa mengatasi kebutuhan dasarnya.

Dunia tanpa kaum miskin juga dapat dinamai dengan dunia yang merdeka karena berdaulat dalam politik, berdikari dalam ekonomi dan berkepribadian dalam budaya serta berpluralisme dalam beragama.

Masing-masing dari filosofi itu dapat diterjekamkan dengan; Pertama, memantapkan visi demokrasi sebagai alat menciptakan kesetimbangan tiga kekuasaan; eksekutif, legislatif dan yudikatif. Pembangunan politik dan demokratisasi menjadi prioritas dan acuan keberhasilan kita dalam bernegara. Artinya, pembangunan politik dilakukan secara bertahap dan melalui mekanisme konsensus agar kestabilan politik segera dapat tercapai. Konsensus-konsensus politik membuat demokrasi menjadi hulu sekaligus hilir bagi seluruh tahap pengjawantahan pemerintahan dari, oleh dan untuk rakyat.

Kedua, yaitu gagasan bahwa pemerataan yang menumbuhkan ekonomi merupakan jawaban atas kemiskinan dan pengangguran dan kemudian menjadi syarat mutlak bagi lahirnya stabilitas politik. Singkatnya, kemiskinan ekonomi adalah sumber terjadinya instabilitas politik yang dialami oleh banyak orang. Kemiskinan dijawab dengan pembangunan berkeadilan yang menempatkan orang miskin sebagai subyek utamanya sehingga menghasilkan visi negara kesejahteraan [welfare state] yang ditopang oleh pemerintahan yang kuat. Visi ini berangkat dari pertanyaan, apa makna merdeka jika masih menderita. Bukankah kemerdekaan adalah terpenuhinya kebutuhan dasar demi meningkatkan kemampuan diri agar mampu bersaing dengan belahan dunia lainnya. Sejahtera dengan demikian adalah manusia seutuhnya. Manusia ideal Indonesia, manusia yang mewarnai kemerdekaannya dengan kehidupan seterusnya dalam keadilan, kemakmuran dan kesentosaan.

Ketiga, visi budaya yang produktif non konsumeris. Dalam visi ini seluruh akal dan kebudayaan kita diorientasikan bagi uamt demi kemajuan yang menghasilkan kemartabatan. Budaya Indonesia dengan demikian dapat dimaknai sebagai kultur hibrida yang menyesintesakan semua kebudayaan-kebudayaan dunia dengan tetap ramah pada kebijakan lokal.

Keempat, visi agama pluralis yang menghargai dan melindungi semua kepercayaan kepada Tuhan karena kesadarannya bahwa agama bersifat profan sebab yang sakral hanya Tuhan, inti dari semua kepercayaan. Pada visi ini dikembangkan sikap toleran dan kerjasama pada siapa saja tanpa memandang agama, bahkan pada yang tidak berama sekalipun. Dengan landasan sejarah par Nabi yang menyuruh manusia mempercayai Tuhan bukan agama maka visi ini direntang sebagai agama pembebasan yang bertugas membebaskan manusia dari kekufuran karena kemiskinan yng menimpa mereka. Agamanya dengan demikian adalah agama kesejahteraan [welfare religion] yang menjadi motif bagi lahirnya masyarakat sejahtera [welfare society].

Dengan empat penjelasan tersebut maka demokrasi politik kita adalah juga demokrasi ekonomi, budaya dan agama yang kesemua tujuannya adalah kemakmuran rakyat secara keseluruhan, di mana rakyat mempunyai hak untuk memiliki peluang politik, ekonomi, budaya dan agama yang sama dan terlibat langsung dalam proses produksi maupun dalam menikmati serta memiliki hasil-hasilnya.

Dalam demokrasi yang berkeadilan ini semua bergerak dan bekerja dalam tujuan yang sama yaitu memaknai kemerdekaan dan hak asasi hidupnya untuk menyingkap kerja abadi yang misterius. Sebuah demokrasi yang membedakannya dengan tafsir Thomas Jefferson [1776] ketika mengatakan bahwa demokrasi hanyalah aturan kerumunan agar menjadi barisan sehingga yang 51% suara dapat memerintah 49% suara lainnya.

Kita harus selalu ingat dan tak boleh lupa bahwa para pendiri republik ini telah meletakan dasar-dasar yang jelas dalam cita-citanya tentang negara kita di masa depan. Dilihat dari faktor sejarah, bahwa para pendiri negara ini merumuskan dasar-dasar negara dilatarbelakangi oleh situasi adanya kesenjangan yang dalam antara lapisan atas yang lebih beruntung dengan sejumlah besar lapisan bawah yang kurang beruntung pada waktu itu. Tugas kita adalah menafsirkan kembali dan menterjemahkan rumusan dasar tersebut dalam bentuk aksi-aksi kekinian sesuai masalah-masalah yang dihadapi oleh bangsa ini. Dalam hal ini tentu kita tidak dapat menghindar diri dari tugas untuk memusatkan perhatian kita pada perbaikan nasib rakyat banyak yang kurang beruntung itu. Hal ini membawa konsekuensi, baik strategi maupun program pembangunan yang harus memusatkan dana dan daya pada perbaikan nasib rakyat yang berada dalam keadaan materiil maupun spirituil masih terbelakang.

Kemiskinan yang menimpa mereka sehingga terbelakang merupakan asal-muasal dari problem-problem lanjutan yang menimpa kemudian. Problem kesehatan yang tidak stabil, pendidikan yang rendah mutunya, pengetahuan yang minim adalah hilir atau lanjutan dari problem kemiskinan yang mereka rasakan. Dengan demikian, jika kita mampu menyelesaikan problem kemiskinan, akan sangat besar kemungkinan bagi kita mengurangi bahkan menghapus problem mereka selanjutnya.

Dus, menjadikan masyarakat Indonesia sebagai masyarakat kaya dan sejahtera dengan sikap yang merdeka, mandiri, serta moderen sehingga berwibawa tetapi bertumpu pada demokrasi merupakan sebuah tuntutan yang perlu segera dijawab oleh semua komponen bangsa.

Jika kesadaran ini belum menyentuh para aparatus pemerintah dan kita semua maka benar kata para Indonesianis yang sering mencap negeri kita sebagai negeri yang selalu ”kehilangan kesempatan.” Tentu saja kesempatan merubah dari neraka kaum miskin menjadi sorga bagi siapa saja.[]

KE MANA DEMOKRASI KITA?

http://www.seputar-indonesia.com/kamis/20/12/2007/p.7

KE MANA DEMOKRASI KITA?
M. Yudhie Haryono

Di dalam sejarah, di luar sorga, manusia kecewa (GM/07). Menurut Sancho Panza (1996) hal itu karena, manusia menentukan, Tuhan mengecewakan. Hipotesa inilah yang sekarang sedang berlangsung di tengah drama demokrasi [liberal] yang kita pilih. Sulastomo [14/12] menulis dengan satir dalam “Quo Vadis Demokrasi Kita.” Menurutnya, pilihan demokrasi [liberal] saat ini ternyata sangat padat modal, berbiaya tinggi dan “belum tentu menghasilkan yang terbaik.” Dengan merujuk pada biaya pemilu 2009 yang diperkirakan menelan Rp. 47 triliun, menunjukan dengan jelas bahwa demokrasi yang kita pilih adalah demokrasi yang mahal. Apalagi disertai absennya jaminan kualitas bagi pemenang dan penyelenggaraannya. Kasus korupsi KPU pada pemilu 2004 adalah bukti nyata yang tidak bisa diganggu gugat.

Untuk menajamkan hipotesa ini, Schumpeter [1976] pernah menulis bahwa, “yang paling mengerikan dari demokrasi [liberal] dalah terbentuknya pemerintahan yang terdiri dari orang-orang tidak layak memerintah.” Sebuah kumpulan elite dari hasil pemilu demokratis yang “gagal” menjalankan amanat konstitusi dan janji kampanye sehingga tumpul dalam menjalankan roda pemerintahan. Mengapa hal itu sampai terjadi? David Held [2006] menjawab, ‘karena pemerintahan yang lahir tidak menjalankan empat hal penting dari pesan demokrasi.’ Keempat hal itu adalah, pertama, pemerintahan baru tidak mengedepankan fakta melainkan bermain pada retorika dan tebar pesona. Kedua, aparatusnya tidak berorientasi jangka panjang, sebaliknya romantis pada kemenangan pemilu bukan pada “pembangunan pasca kemenangan.” Ketiga, pemerintahan baru lebih memihak kepentingan orang-perorang atau kelompoknya tanpa memihak kepentingan umum yang berisikan rakyat kebanyakan. Keempat, aparatusnya tidak memperbaharui dengan cepat filosofi pembangunan masa lalu yang telah terbukti gagal dan tidak menetapkan target-target yang berdimensi kesejahteraan rakyat banyak.

Jika melihat pada hipotesa di atas, kita sepertinya sedang menyaksikan “stagnasi demokrasi kita.” Demokrasi yang kita pilih bukan hanya menjadi status quo tetapi bahkan menghancurkan “capaian-capaian” masa lalu yang masih baik serta membuyarkan harapan-harapan akan kehidupan yang lebih manusiawi. Demokrasi yang kita pilih tidak pernah bertumpu pada teori manapun kecuali pada madzab “daulat kuasa” segelintir orang yang tak bercita-cita kerakyatan. Sebuah demokrasi yang rapuh di tingkat teoritik dan tak berdaya di lapangan Indonesia.

Memang, memilih demokrasi adalah memilih pada proses, nilai-nilai, alat sekaligus paradigma. Karena itu, jika ada istilah yang bercitra indah melampaui fakta aktualnya, itulah demokrasi. Kesadaran ini menghasilkan sikap kita untuk selalu terjaga. Sebab, yang menyangka ada jalan pintas dalam demokrasi akan temukan jalan buntu. Yang yakin ada tangan Tuhan dalam demokrasi akan temukan penyesalan seumur hidup. Yang beriman ada “kuasa alam raya” dalam demokrasi akan dongkol dan putus asa.

Karena itu, kata Ariel Heryanto [16/12], memang demokrasi merupakan pilihan bernegara yang terbaik dari yang ada, tetapi demokrasi tidak boleh dikeramatkan. Sebaliknya, ia harus selalu ditempatkan pada kaidah yang sesuai dengan nilai-nilai luhur kita. Sebuah nilai yang berangkat dari Pancasila dan pembukaan UUD45. Itu artinya seluruh prosedur dan tata cara dalam berdemokrasi kita harus merujuk pada dua nilai fundamental tersebut. Jika ingin menambahkan, kita dapat memberi tafsir berupa keinginan mempertahankan warisan masa lalu yang masih baik dan relevan sambil menambah dan memperbaharui dengan yang lebih baik di masa depan.

Dengan jujur harus diakui bahwa warisan Pancasila dan UUD45 adalah warisan yang sangat berharga. Keduanya digali dari lubuk hati yang sangat dalam oleh para pendiri republik. Kedunya menjadi saksi sejarah pikiran, perasaan dan angan-angan yang dicanangkan untuk membangun negara kita bersama. Sejarah keduanya adalah sejarah tentang perjalanan konstruksi ideologis yang enigmatis dan genap; antara yang empiris dan yang imajinatif. Kontruksi empirisnya berupa perjuangan kemerdekaan, perjuangan mencapai kesejahteraan, perjuangan menegakkan keadilan dan perjuangan menerima nilai-nilai modernitas. Singkatnya adalah perjuangan untuk merdeka, mandiri dan modern. Atau dalam bahasa Declaration of Independen USA, proklamasi bangsa Amerika [1776] menjadi life, liberty and the persuit of happiness. Karena itu, sejarah perjuangan kemerdekaan selalu merupakan hal-hal empirik sekaligus imajinatif berkenaan dengan kebutuhan dan harapan rakyat pada yang riil sekaligus yang abstrak.

Sedang konstruksi yang imajinatif adalah pengetahuan akan cita-cita bersama. Pada kita adalah bhineka tunggal ika atau gemah ripah loh jinawi. Imajinasi cita-cita besar ini melahirkan imajinasi-imajinasi turunan; melindungi rakyat dan tanah air, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, melaksanakan ketertiban dunia.

Dengan melihat dan merasakan hasil [sementara] demokrasi liberal yang telah kita pilih maka tak ada pilihan lain bagi kita kecuali untuk menyadari bahwa negara Indonesia adalah ‘konsepsi politik’ tentang sebuah entitas yang tumbuh berdasarkan kesadaran politik untuk merdeka dengan meletakkan individu ke dalam kerangka kerakyatan. Dalam kerangka ini, setiap rakyat dipertautkan dalam suatu komunitas politik yang berkedudukan sederajat di depan hukum, dengan operasi atas prinsip kekariban dan keadilan serta dalam naungan filosofi kekeluargaan. Sedang reformasi adalah usaha nalar sadar waktu sekaligus wahyu untuk selalu memperbaiki perbuatan di masa lalu yang salah sambil meneruskan yang benar serta menambah yang lebih baik.
Kesadaran tersebut akan menghadapkan kita dengan kondisi-kondisi epistemologis, yaitu proses pembentukan sebuah bangsa. Pertama, pembentukan sebuah bangsa mengandung momen identifikasi yang melahirkan dominasi. Proses epistemis ini adalah mengenali diri sambil mendefinisikannya bahwa bangsa ini dilahirkan demi dan atas nama anti penjajahan [old-liberalism]. Kita merdeka sebab kita tidak ingin dijajah bangsa lain sehingga bisa menjadi tuan di negeri sendiri. Kedua, pembentukan sebuah bangsa mengandung rasionalisasi atas cita-cita lanjutan yang kemudian terumuskan dalam pembukaan UUD-45 yang menjadi cita-cita mulia dan menghasilkan konsensus bahwa apapun amandemen yang kita lakukan, kita tidak akan mengubah pesan dasarnya.

Selanjutnya kita berhadapan dengan kondisi antropologis. Yaitu sebuah sikap cinta tanah air sebagai sesuatu yang bernilai. Karena itu, menemukan bagaimana sebuah sistem nilai memotivasi manusia untuk melakukan cinta terhadap bangsanya adalah langkah penting untuk menemukan pemenuhan cita-cita bangsanya di masa depan. Hasilnya, kita merindukan akan kepastian tentang kehidupan yang aman dan sentosa. Karena itu kita bersemboyan bhineka tunggal ika dan menjauhi fanatisme, radikalisme, atau ekstremisme.

Yang terakhir, kita berhadapan dengan kondisi sosiologis. Kita tahu, pertumbuhan dan konsentrasi modal di dalam masyarakat modern menimbulkan luapan populasi. Timbunan individu-individu dari berbagai kelompok di satu tempat akan mengaburkan struktur-struktur sosial dan politis masyarakat itu. Dalam timbunan populasi yang terkonsentrasi pada kegiatan akumulasi modal seperti itu, terjadi defisit partisipasi politis karena batas-batas publik dan privat diterjang oleh desakan kekuasaan modal. Timbunan populasi semacam itu menghasilkan individu yang depolitis, yaitu steril dari partisipasi demokratis. Karenanya diperlukan revitalisasi kondisi dan nalar epistemologis, antropologis, dan sosiologis agar menghasilkan manusia baru yang bervisi Indonesia Baru tetapi tetap bertumpu pada Pancasila dan UUD45.
Inilah road map [peta jalan] bagi demokrasi politik-ekonomi kita. Sebuah demokrasi yang berwatak “gotong royong” dan bersemangat “kekeluargaan” serta bernalar keindonesiaan karena nyantol dengan Pancasila dan UUD45. Sebuah demokrasi yang pada awalnya oleh para pendiri republik kita dulu dibuat badan semacam MPR yang berguna menjadi wadah bagi bertemunya para “negarawan” dari seluruh tanah air dalam rangka menjawab “problem” bangsa yang lebih besar di masa depan. Sebuah wadah untuk mengantisipasi luas dan lebarnya negara, banyaknya kaum miskin, serta antisipasi bagi munculnya “biaya tinggi” sehingga demokrasi mudah dibajak oleh para plutokrat yang kekuasaan dan kapitalnya maha luas plus anti rakyat.[]

HILANGNYA KEPERCAYAAN

Sartono Kartodirjo [1997:74] menulis bahwa, ”musuh yang paling ditakuti dan sangat keras pada Belanda saat penjajahan adalah mereka yang [justru] dididik oleh Belanda.” Ini yang membedakannya dengan hasil didikan USA yang sering menjadi ekonom-politisi hit-man. Jika lulusan Belanda masa perjuangan menghasilkan ”anak durhaka” karena perlawanannya pada orang tua angkatnya, sebaliknya lulusan USA lebih memilih bekerjasama bahkan berucap, Amerika adalah tanah air saya yang kedua.
Karena alasan tersebut, Steven Hiat, dalam A Game as Old Empire [2007:45] menyebut mereka yang bersedia menjadi ”mitra dan pekerja ekonomi-politik Amerika” sebagai manusia-manusia ”antek” yang oportunistik karena lebih suka mengabdi pada bangsa asing daripada bangsa sendiri. Hal ini karena Amerika selalu berbahasa ganda; teriak demokrasi tetapi menggunakan kudeta militer, teriak perdamaian tetapi melanggengkan perang dan mengggunakan ”instrumen-instrumen” internasional yang harusnya netral menjadi ”berpihak.”

John Perkins [2004:34] menyebut mereka sebagai kumpulan ilmuwan yang berideologi neolib dan bekerja menuntut peran negara/pemerintahan di negara-negara berkembang harus diminimalisir dan kekuasan pasar harus dimobilisir. Pasar harus jadi penentu yang kewenangannya melebihi rakyat dan negara/pemerintah. Para antek inilah subjek penting yang menjual bangsanya demi karir pribadi dan kelompoknya.

Tentu ini hipotesa yang layak direnungkan oleh kita semua. Terutama ketika bangsa ini belum menjadi bangsa yang mandiri dan modern. Sebab, walau sudah merdeka, kita masih sangat tergantung dan menggantungkan diri dengan ”tangan-tangan asing.” Dan, renungan ini akan lebih bermakna ketika kita sedih karena sedang terpuruk akibat 10 tahun krisis yang belum berujung. Di luar itu juga karena kebahagiaan sering membuat kita lupa, membuat kita terlena. Hasil renungan orang yang sedang ”kalah” biasanya akan jernih, menghasilkan sikap konsekwen dan membuat sikap untuk terus-menerus berbenah dan istiqamah.

Agar kita tak kehilangan kesempatan dan kepercayaan, alangkah bijak jika kita mulai dengan pertanyaan; apa arti kehadiran ilmu eko-politik dan kepada siapa para ekonom-politisi harus berpihak. Jawabannya tentu beragam, tetapi dalam konteks keindonesiaan ketika problem bangsa ini masih berputar pada 3 hal fundamental berupa kemiskinan, pengangguran dan kekerasan maka hadirnya ilmu eko-politik adalah untuk mengentaskan problem tersebut. Lalu, tentu saja para ekonom-politisi tersebut harus bahu-membahu bersama orang-orang miskin menyelesaikan problemnya. Sebab menyelesaikan problem mereka adalah menyelesaikan tugas besar dan menyelesaikan 50% problem bangsa. Itu artinya gagasan menghadirkan ilmu eko-politik dan menjelaskan fungsi ekonom-politisi yang berideologi nasionalis-kerakyatan menjadi salah satu cara jitu mengatasi ”stagnasi ekonomi-politik yang sedang kita hadapi.”
Amartya Sen [1999] menulis, menyembulnya gagasan ”bersama kaum miskin” adalah munculnya ”dekonstruksi” terhadap struktur ekonomi-politik lama yang cenderung despotik. Karena itu, ia tidak merujuk pada gelar kesarjanaan dan di mana mereka mendapatkannya, melainkan pada progresifitas gagasan sebagai subtansi pesannya. Tetapi, syarat ekonom-politisi ini haruslah menguasai masa lalu [sejarahnya] dan membuka seluasnya pada masa depan. Dengan begini, ia haruslah seorang ”pembelajar” yang progresif dan mengapresiasi pembaruan dalam program ekonomi-politiknya. Ia menerjemahkan kaidah ”mempertahankan [sejarah] masa lalu yang masih baik, menerima dan mencipta sesuatu yang baru yang lebih baik [sejarah baru]. George Orwell [1974] menyebutnya sebagai ”orang yang menyimpang dari arus utama” karena kemampuannya untuk tidak memperkaya diri dan ”setia” pada arus idealisme yang ditinggalkan banyak orang.

Secara psikologis, gagasan ekonom-politisi menyimpang (crank) memiliki dua dimensi pemaknaan; anti libidinal [tidak tertarik secara membabi buta pada lawan jenis] dan anti kapital [asketis, tidak tertarik secara membabi buta pada kekayaan material]. Ekonom-politisi ini dengan demikian lahir menjadi ”karnal” karena mencintai yang tak lazim; intelektual, spiritual dan kaum miskin.
Memang, krisis ekonomi-politik hasil terapan ekonom-politisi lama pastilah menghadirkan sebuah momentum perubahan. Tetapi ia tidak cukup agar menjadi ”perubahan yang diinginkan.” Karenanya, ia masih memerlukan ikon kepemimpinan: seorang pemimpin berkarakter yang punya kharisma, dengan pandangan dan kepedulian yang menyimpang dari kelaziman. “Just as every convictions begins as a whim,” ujar Heywood Broun [1988], “so does every emancipator serve his apprenticeship as a crank. A fanatic is a great leader who is just entering the room.” Seorang pemimpin yang keluar dari keumuman karena bermental muda dan tidak tersandra oleh masa lalunya. Seorang yang mampu merubah kerumunan menjadi barisan.
Dan, dalam hal kepemimpinan transisi, model kepemimpinan yang dibutuhkan bangsa ini adalah kepemimpinan yang kuat, berkarakter, mendengar dan kerja keras sambil menggalang kerjasama dengan lingkup internasional. Dialah pemimpin yang tebar kerja, bukan hanya tebar pesona. Dialah pemimpin yang bekerja cepat, tepat, terkordinasi hingga sampai pada targetnya. Dialah sumber inspirasi rakyat untuk bekerja dan berprestasi.

Harus diakui, transisi politik-ekonomi sering mendatangkan “luapan perasaan” tak terkira. Banyak orang menganggap transisi adalah demokrasi. Lalu berharap demokrasi adalah kesejahteraan dan kestabilan. Padahal ketiganya dalam posisi masing-masing yang sangat berbeda. Intinya, transisi hanyalah keadaan dari zaman tidak demokratis menuju demokratis. Ia merupakan suasana yang harus dilewati. Sedang demokrasi hanyalah alat, bukan kesejahteraan itu sendiri.
Singkatnya, demokrasi baru akan berbuah jika dijalankan, bukan dibicarakan. Nah, untuk menjalankan dan mempraktekkannya diperlukan pemain-pemain baru, aktor-aktor baru bahkan pemimpin-pemimpin baru. Tentu saja akan lebih baik jika muda dan energik sehingga terbebas dari ”dosa masa lalu.”

Di atas segalanya jika kita tak segera menampilkan, memilih dan bersama ekonom-politisi yang mampu jadi pemimpin bangsanya di atas kepemimpinan diri dan golongannya maka hilangnya kepercayaan di antara kita dalam menuntaskan kemiskinan, pengangguran dan kekerasan akan jadi kenyataan. Selanjutnya akan melahirkan suatu model distrust society yang menggerus modal sosial kita sebagai bangsa. Hilanglah kesempatan, hilanglah harapan menjadi Indonesia seperti yang tertulis dalam Pancasila dan UUD-45.[]

GAGASAN EKONOMI BARU KAUM MUDA

M. Yudhie Haryono

Hiruk pikuk bulan oktober kemarin ternyata
menghasilkan kebangkitan kembali kaum muda. Lewat
ikrar ’saatnya kaum muda memimpin’ dan peringatan
sumpah pemuda di berbagai kota, kaum muda sepertinya
sedang merasa terpanggil untuk melengkapi gerakan
cinta tanah airnya secara lebih lengkap. Lalu, dengan
pertemuan dan ikrar yang meluas, kesadaran kebangkitan
bangsa terasa dipanggul kembali oleh mereka. Kaum muda
merasa wajib menghadirkan reformasi politik dan
ekonomi sebagai jawaban atas kelambanan pemerintah
dalam menyelesaikan problem rakyat banyak. Jika 1908,
1945, 1966, 1974, 1998 dan 2002 kaum muda lebih tajam
pada tuntutan politik, gerakan kaum muda tahun ini
mulai mewacanakan ”reformasi ekonomi.”
Kesadaran ini menguat karena mereka merasa ada yang
kurang dari gerakan kaum muda yang telah berlangsung.
Menyadari akan ”absennya” gagasan reformasi ekonomi
pada tiap angkatan, kaum muda mengingat salah satu
wawancara serius yang dilakukan Indonesianis terkemuka
Benedict ROG Anderson di salah satu media terkemuka
pada 15/8/07. Anderson mengungkapkan bahwa, “yang
menghancurkan demokrasi [liberal] bukanlah masyarakat
luas, tetapi ambisi dan kerakusan kuasa dari tentara
[TNI], Bung Karno dan sebagian elit politik lainnya.”
Hal ini karena tentara dan Bung Karno tidak melihat
demokrasi sebagai tantangan dan peluang, sebaliknya
sebagai ancaman yang menakutkan kekuasaan mereka.
Demokrasi menjadi musuh yang menghambat dan
menakut-nakuti kekuasaan mereka. Dengan ketakutan yang
berlebihan pada demokrasi, gagasan reformasi ekonomi
yang bertujuan ”mensejahterakan rakyat banyak” menjadi
terbengkalai bahkan tenggelam. Satu peristiwa yang
selanjutnya membuat presiden Soeharto merusaknya
dengan mengharamkan demokrasi dan menggantinya dengan
ekonomi [neolib] sebagai panglima. Persoalannya,
presiden Soeharto yang menyadari kebutuhan ekonomi
riil bagi terciptanya stabilitas ekonomi agar
melahirkan kesejahteraan, ternyata juga ”gagal total.”
Hal ini karena menurut kaum muda, presiden Soeharto
lebih beriman pada ekonomi pasar yang dihidupi dari
”hutang-piutang,” pro-pertumbuhan dan tidak berbasis
pada ekonomi riil, ekonomi kerakyatan.
Dalam sejarahnya, kaum muda menyadari sepenuhnya bahwa
kata Indonesia berasal dari dua kata bahasa Yunani,
yaitu Indos yang berarti "India" dan nesos yang
berarti "pulau." Jadi, kata Indonesia berarti
kepulauan India, atau kepulauan yang berada di wilayah
India. Tetapi, karena nama yang “impor” inilah,
[almarhum] Umar Kayam menyebut Indonesia sebagai
bangsa “salah kedaden” disebabkan tidak memiliki
cita-cita dan praktek riil untuk merdeka secara
ekonomi. Yang ada hanya kesadaran dan praktek merdeka
secara politik.
Walaupun begitu, Indonesia adalah negara yang sangat
kaya [terlengkap di dunia] SDAnya. Memiliki hutan
terluas di dunia [121 juta hektar] dan terkaya ketiga
setelah Brasil dan Konggo dalam mega biodiversity.
Selanjutnya kita memiliki jumlah pulau 17.504 pulau
[sampai 2004] tetapi belum seluruhnya diverifikasi dan
diberi nama berdasarkan definisi pulau. Jumlah
penghuninya adalah 211.000.598 yang menurut
perhitungan nanti pada tahun 2015 diperkirakan
mencapai 250 juta jiwa dan tahun 2050 bisa mencapai
290 juta. Sayangnya, secara sosiologis kita dapat
menyebut Indonesia sebagai “bangsa kaya” yang “miskin”
karena hidup kekurangan sehingga hutang tiap tahun.
Proyek hutang-piutang inilah awal mula penjajahan baru
secara sosial, politik, ekonomi dan budaya.
Tragisnya, presiden dan pemerintahan selanjutnya
ternyata mengulangi jalan yang sama, perilaku yang
tidak berbeda dan paradigma yang tidak berubah; jalan
hutang piutang, perilaku pasar bebas dan paradigma
bukan ekonomi kerakyatan yang pro kaum miskin. Karena
hal tersebut di atas dan mengingat prestasi
kesejahteraan rakat yang tak kunjung datang maka kaum
muda kemudian merumuskan ulang lanskap ekonomi baru
yang lebih riil dan tegas dengan tujuan dan cara
mencapainya secara brilian demi rakyat miskin.

Intinya, jika dilihat dan diamati pernyataan dan
brosur serta tulisan yang beredar, kaum muda
menyepakati bahwa kepemimpinan nasional perlu
disegarkan. Tetapi tidak sekedar penyegaran orang dan
subyek, melainkan juga gagasan dan visi. Dus, gagasan
mereka sangat jelas, merebut kepemimpinan yang akan
menyelenggarakan empat hal penting; Pertama, perubahan
paradigma pembangunan yang mengutamakan pemerataan,
bukan pertumbuhan [politik undang-undang]. Kedua,
nasionalisasi asset strategis dan SDA untuk kemakmuran
rakyat [politik kesejahteraan]. Ketiga, hapus hutang
lama dan tolak hutang baru [politik kemandirian].
Keempat, proteksi produksi dalam negeri [politik
kemodernan].

Empat visi di atas dikedepankan karena bagi kaum
muda, problem yang lain hanya turunan dari empat babon
problem bangsa kita. Itu artinya, siapapun presidennya
nanti akan berhadapan dengan empat problem besar yang
jika diselesaikan maka separo lebih persoalan bangsa
kita akan teratasi.

Karena itu, gagasan ekonomi baru yang dibawa kaum
muda ini memberikan pembobotan serius agar gerakan dan
gagasan kaum muda memimpin bukan angin lalu yang
“kosong” tanpa isi dan misi yang jelas. Dengan
kesadaran sejarah dan kajian sosiologis, riset
lapangan dan perpustakaan, gerakan kaum muda ingin
mengatakan bahwa “rizki, kemakmuran, kemartabatan,
kecerdasan, kemerdekaan dan kemodernan” bukan hanya
mukjizat dari langit. Mereka merupakan produk sejarah
yang harus direbut dan dibagikan. Tanpa itu, kita tak
akan jadi mutiara yang dahsyat. Tak akan jadi negara
yang disegani. Inilah laskap ekonomi baru kaum muda
dalam menjalankan dan menunaikan politik keindonesiaan
dalam bingkai kerakyatan dan kebinekaan.[]