Thursday, June 28, 2007

Selamat Ulang Tahun.. silakan Klik




Lihat Kartu Ucapan Lainnya
(KapanLagi.com)



Wilujeng milang kala, 29 juni 1973-29 juni 2007

Friday, June 15, 2007

Republik Yang Menunggu

Rekan, aku luncurkan buku hasil riset sederhana terutama untuk menjawab pertanyaan “buat apa kita berbangsa dan bernegara ?”. Buku ini terdiri dari bab-bab sebagai berikut;
- Memahami Globalisasi dan Neolib
- Memahami Indonesia Sebagai Negara Miskin
- Memahami Ekonomi Pancasila
- Memahami Praksis Ekonomi Pancasila, dan
- Memahami Kebaikan Masa Lalu
Kesemuanya dianalisa dengan teori sejarah aktif dan pandangan kritis. Berikut ulasannya, Smoga bermanfaat !!! Yh.


REPUBLIK YANG MENUNGGU
@M. Yudhie Haryono
Jakarta-Indonesia
2007

Jika negara>pasar dan rakyat=otoritarianisme.
Jika pasar>negara dan rakyat=neo-kolonialisme.
Jika rakyat>pasar dan negara=neo-tribalisme
[Diktum Kesetimbangan Postkolonial, 1999]


Kita tahu, dalam sejarah kehadirannya, negara memang seperti mahluk bernyawa sejuta. Ia mati dan hidup kembali berulangkali dalam bentuk serupa tapi tak sama. Ia dirindukan sekaligus dicaci. Ia dicintai sekaligus dibenci. Karena itu sejatinya, sejarah rakyat bernegara adalah sejarah tentang perjalanan konstruksi ideologis yang enigmatis dan genap; antara yang empiris dan yang imajinatif. Kontruksi empiris dapat berupa perjuangan kemerdekaan, kesejahteraan dan keadilan. Atau dalam bahasa Declaration of Independen USA, proklamasi bangsa Amerika [1776] menjadi life, liberty and the pursuit of happiness. Karena itu, sejarah perjuangan kemerdekaan selalu merupakan hal-hal empirik berkenaan dengan kebutuhan rakyat pada yang riil.

Di sinilah peran elite sebagai pemimpin pembebasan dan revolusioner menemui faktualisasinya. Elite menjawab dan menjadi jawaban terhadap berbagai pertanyaan kebutuhan rakyatnya. Elite berusaha memenuhi rasa keadilan [hukum], rasa ketentraman [kekuasaan], rasa kesejahteraan [ekonomi], kebutuhan struktural [politik], dan rasa identitas sosial [budaya].

Sedang konstruksi yang imajinatif adalah pengetahuan akan cita-cita bersama. Pada kita adalah bhineka tunggal ika atau gemah ripah loh jinawi. Imajinasi cita-cita besar ini melahirkan imajinasi-imajinasi turunan; melindungi rakyat dan tanah air, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, melaksanakan ketertiban dunia.

Empiris dan imajinatifnya negara kemudian melahirkan kebenaran tunggal versi para pendiri suatu negara. Satu kebenaran yang sangat fokus dan sektarian karena ditentukan hanya oleh sekelompok minoritas [elite pemimpin] yang berkuasa. Sekelompok minoritas elite inilah yang memaksa dan mengatur rakyatnya secara sistematis agar menyesuaikan diri dengan tujuan-tujuan dan cita-cita bersama. Selanjutnya, penerapan kekuasaan itu sendiri menciptakan dan melahirkan obyek-obyek pengetahuan baru dan mengakumulasikan satuan-satuan informasi baru.

Elite negara dalam sejarahnya memang ditakdirkan menjadi pemilik otoritas rakyatnya. Elitlah produsen politik dan budaya yang bersifat eksternal sekaligus internal. Dengan cara bernalar, berbicara, dan bekerja tentang dunia di sekitarnya, elite mengkonstruksi rakyat dan lingkungannya. Elite mempengaruhi dan menginjeksi arah tujuan dan ideologi rakyatnya.

Persoalannya adalah mengapa elite seringkali menciderai amanat rakyat banyak? Jika ditinjau dari teori keberadaannya hal ini karena dua sebab. Pertama, kegagalan memahami watak rakyatnya. Dalam kontek Indonesia, watak rakyat kita pada umumnya dapat dikelompokkan menjadi empat; 1). Plural tetapi homogen. 2). Ramah tetapi komunalistik. 3). Toleran tetapi mudah konflik kekerasan. 4). Punya hukum nasional tetapi menghidupi hukum lokal.

Kedua, kegagalan memahami suara rakyat. Dalam hal ini suara rakyat sering tidak terepresentasi di lembaga-lembaga wakilnya [DPR]. Rakyat memang dapat melihat lahirnya sebuah putusan publik tetapi tidak dapat terlibat dalam pembuatan keputusan publik tersebut. Rakyat akhirnya merasa tidak memiliki keputusan publik yang telah disepakati oleh wakilnya.
Dua kegagalan inilah penyebab dari lahirnya dua model perilaku elite di tanah air. Pertama, elite literal [absolute]. Kelompok elite ini punya karakter melihat Negara dengan kacamata teologi imanensi. Mereka melihat Tuhan yang hadir dalam realitas dunia. Karenanya, manusia menjadi wakil Tuhan (khalifah) di bumi. Elite ini menempatkan aturan publik sebagai segalanya. Mereka sangat minimalis dalam tafsir aturan publik. Secara sosiologis melahirkan kultus dan kharisma kepemimpinan. Karenanya, mereka sangat komunalistik dan menempatkan negara sebagai cara untuk kembali ke akhirat (eskatologis). Filosofi hidupnya menjadi; elite memerintah, rakyat diperintah. Elite berkuasa, rakyat dikuasai. Elite banyak benar, rakyat sering salah.

Kedua, elite liberal [relative]. Kelompok elite ini punya karakter melihat Negara dengan kacamata teologi transendensi. Mereka melihat Tuhan tidak memiliki kaitan apa pun dengan realitas dunia ini kecuali sekadar sebagai penyebab awal. Elite manusia adalah kehendak bebas. Aturan publik tunduk di bawah kendali rasio. Elite ini banyak mengenal tafsir aturan publik. Secara sadar hidup dalam radikalisme argumentatif, karenanya bersifat liberalis dan Negara adalah cara manusia untuk memahami dunia.

Filosofi hidupnya tidak ada kebenaran mutlak di negara. Yang sakral hanyalah Tuhan, selainnya profan. Problemnya, kedua elite yang hidup di Indonesia memiliki kesamaan pandangan dalam birokrasi pemerintahan yaitu; jika dapat diundur kenapa harus sekarang; jika dapat dipersulit kenapa dipermudah. Artinya, keduanya suka menunda-nunda persoalan tanpa rasa bersalah.

Indonesia dan Globalisasi

Jika tak segera melakukan revitalisasi, negara kita akan tinggal nama. Apalagi, hantu globalisasi terus menancapkan kukunya. Terlebih dalam hipotesa William Robinson, Promoting Polyarchy: Globalization, US Intervension and Hegemony (1996) menunjukkan bahwa globalisasi terdiri dari dua proses yang saling berjalan. Pertama, adalah kulminasi dari proses yang dimulai beberapa abad yang lalu, di mana hubungan produksi kapitalis meruntuhkan dan menggantikan seluruh hubungan pra-kapitalis hampir di seluruh dunia. Itu artinya meruntuhkan struktur negara, menyempitkan kapasitas pemerintahan.

Kedua, adalah transisi lebih dari beberapa dekade hubungan bangsa-bangsa melalui pertukaran komoditas dan aliran modal dalam pasar dunia yang terintegrasi, di mana di dalamnya model produksi yang berbeda berkoeksistensi dalam formasi-formasi sosial ekonomi nasional dan regional yang lebih luas bisa lepas dari keterkaitan eksternalnya, yaitu globalisasi proses produksi itu sendiri. Itu artinya, jikalau negara hadir, ia adalah akibat, bukan sebab. Ia ada tanpa prakarsa, bukan genuisitas. Ia tanpa sengaja, bukan proyek bersama.

Jika ini yang terjadi, negara tak lagi memiliki “tanggung jawab” sebagai agen utama penerjemah cita-cita rakyatnya. Negara tinggal memiliki yang empiris tanpa imajinatif. Ada wilayah, penduduk dan pemerintahan, tapi ia tak memiliki cita-cita dan tujuan bersama. Ujungnya, seluruh elite yang menghidupi kekuasaan akan hidup untuk dirinya. Sebaliknya seluruh rakyat tidak tahu ke mana nasibnya akan ditambatkan.

Atas beberapa gejala bernegara yang sedang kita alami, diperlukan perubahan cara pandang terhadap negara dan kewajiban pengkayaan model pemahaman terhadap rakyat. Walaupun negara adalah penyakit yang ditularkan lewat imaji dan media, ia harus dimaknai sebagai peluang dan tantangan yang harus selalu ditemukan jawabannya. Negara harus diletakkan sebagai sarana sekaligus tujuan. Dengan demikian negara harus meniscayakan hadirnya motif-motif dan perasaan rakyat sebagai basis penalaran, pengetahuan dan tindakan dengan sebuah pertanyaan; untuk apa ia kita hadirkan ke dunia?

Negara Organik

Mungkin inilah jawaban bagi pengembangan reformasi yang tak kunjung menemukan solusi atas tiga masalah dasar kita semua; kemiskinan, pengangguran dan kekerasan. Negara organik sebagaimana didefinisikan oleh Stephen P. Robins [1990] adalah bentuk yang mencerminkan respon negara dan aparatusnya dalam membuat keputusan dengan cara mengorganisasikan berbagai kepentingan yang timbul dalam masyarakat demi kepentingan rakyatnya; kepentingan nasional.

Sesudah Orde Baru secara resmi berganti, kita ingin merekonstruksi kapasitas negara untuk mengelola urusan bangsa dan rakyatnya agar lebih manusiawi dan bermartabat. Selebihnya cita-cita pertumbuhan politik-ekonomi era reformasi perlu disempurnakan. Karena itu langkah pertama yang dilakukan para reformer adalah mengamandemen UUD-45. Hasilnya, berlakulah sebuah konstitusi yang menganut prinsip kemampuan [ability], akuntabilitas [akuntability], tanggungjawab [responsibility], dan hak [right] yang terjabarkan menjadi kedaulatan rakyat, supremasi hukum, trias politik, pertanggungjawaban pemerintah pada rakyat dan dihormatinya hak asasi manusia.

Sayangnya, beberapa gagasan penting yang menghadirkan hak dan tanggungjawab tersebut juga membawa bibit neolib politik-ekonomi. Munculnya demokrasi voting, perekonomian tanpa keterlibatan negara [BUMN] dan desentralisasi yang tidak diimbangi dengan grand design telah melenyapkan kapasitas negara. Atau intinya: delegitimasi negara.
Itu artinya, gagasan kita tentang demokrasi sangat bersifat neolib. Bahkan kita meyakini bahwa kekuasaan negara dan pegawai negara adalah satu-satunya jenis kekuasaan yang menjadi target demokratisasi. Tanpa pendidikan demokrasi yang menyeluruh pada setiap elemen masyarakat, wilayah eksekutif, legislatif dan yudikatif akhirnya diisi dengan logika-logika individual yang berbasis pada mediokrasi dan media, bukan meritokrasi dan capaian kerja keras.

Proyek buta ini makin diimani karena lobi dan kampanye para politisi-ekonom lulusan neolib [politic-economic hit man] yang menuntut negara harus diminimalisir dan kekuasan pasar harus dimobilisir. Pasar harus jadi penentu yang kewenangannya melebihi rakyat dan negara.

Pelajaran Masa Lalu

Jika mengacu pada warisan pembukaan UUD-45, sebenarnya Indonesia adalah sebuah cita-cita politik. Ia merupakan desain politik yang disengaja dengan kesadaran penuh. Karenanya ia bukan kondisi alamiah kita sejak zaman nenek moyang. Indonesia adalah sebuah komunitas bersama yang ingin merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur dengan membentuk negara.

Memang, Indonesia merupakan warisan proyek pembentukan komunitas politik dalam bingkai kesatuan wilayah jajahan Belanda. Tetapi fakta dan targetnya satu: terbentuknya keyakinan luas bahwa masyarakat di wilayah jajahan adalah kesatuan yang menyejarah, sebangun, secita-cita dan senusantara. Karena kesatuan historis itu sedang dipenggal oleh pemerintahan orang Belanda maka kontrol atas masyarakat dan wilayah harus direbut kembali dengan perjuangan revolusi. Kita cinta damai tetapi lebih mencintai kemerdekaan adalah bukti berikut yang kita dapati dalam sejarah perjuangan kita. Intinya, cita-cita res publica tidak terjadi di ruang vakum yang kosong, melainkan berlangsung dalam hiruk-pikuk kebutuhan dasar kita—kemiskinan, pengangguran dan kesengsaraan—yang kinerjanya punya implikasi begitu mendalam setelahnya.

Dengan demikian, nasionalisme Indonesia adalah gerakan politik untuk membuat ‘rakyat’ dan ‘negara’ menjadi identik. Karena itu, kita sebaiknya tidak melupakan cita-cita pembentukan negara begitu saja, tetapi sebaliknya merefleksikan dengan serius pengalaman yang sudah lewat agar dapat dijadikan pelajaran bagi kita semua. Tanpa pelajaran di masa lalu, kita akan masuk dalam kebingungan tanpa ujung.

Proyek negara organik sebenarnya telah dipraktekkan oleh rezim Orde Baru. Rezim ini tidak diragukan lagi memberikan banyak hal kepada masyarakat Indonesia, seperti stabilitas, keamanan, kesejahteraan, dan bisa diprediksi (predictability).
Jendral Soeharto sebagai presiden berusaha mentransformasikan Indonesia menjadi sebuah negara bangsa yang kuat, bersatu, dan bercita-cita sejahtera. Jika ditilik lebih dalam, pemerintah Orde Baru ternyata pernah menyelamatkan bangsa ini dari gelombang kehancuran akibat laju inflasi luar biasa hasil warisan rezim Orde Lama. Faktanya, indeks biaya hidup tahun 1960-1966 naik 438 kali, harga beras naik 824 kali, harga tekstil naik 717 kali, dan nilai rupiah sekarat dari Rp.160 menjadi Rp.120 ribu. Inflasi ada pada kisaran 650 persen (tahun 1966) dengan jumlah kemiskinan yang luar biasa meningkat.

Itu semua menjadi bukti ilustratif betapa malapetaka yang menghantam bangsa Indonesia saat itu demikian dahsyat. Karenanya, di tengah pergulatan elit politik nasional, penanganan masalah ekonomi terpaksa menempuh cara-cara politik.
Pada awal-awalnya, pemerintahan Orde Baru cukup progresif dengan memadukan semua komponen masyarakat dalam mengatasi persoalan bangsa. Di bidang ekonomi, para ekonom dari FE-UI di antaranya, dapat dirangkul dalam menyumbangkan konsep alternatif untuk memulihkan perekonomian nasional. Langkah politis-ekonomis ini efektif menerapkan tujuan ganda: memulihkan ekonomi sekaligus mengurangi pertikaian-pertikain politik.

Pintu masukan bagi pemerintah, juga dikukuhkan dalam hasil sidang MPRS Juni 1966. Di sini mulai dibuka kran masukan untuk merumuskan landasan komprehensif mengenai kebijakan ekonomi baru. Dengan ketetapan MPRS No. 23/66 lahirlah “pembaharuan kebijakan landasan ekonomi, keuangan, dan pembangunan.” Ketetapan ini memberi dasar bagi Kabinet Ampera (25 Juli 1966) dan Dewan Stabilisasi Ekonomi (11 Agustus 1966) untuk melakukan upaya-upaya pemulihan ekonomi nasional.

Jurus para ekonom yang diakomodir pemerintahan Orde Baru mampu menyusun program rehabilitasi dan stabilisasi ekonomi yang cukup komprehensif. Ada lima jurus yang dianggap manjur. Pertama, pengendalian inflasi melalui kebijakan anggaran berimbang, dan kebijakan moneter ketat. Kedua, pencukupan kebutuhan pangan. Ketiga, pencukupan kebutuhan sandang. Keempat, rehabilitasi berbagai sarana dan prasarana ekonomi. Kelima, peningkatan ekspor dengan mengembalikan share sepenuhnya pada eksportir. Secara bertahap pemerintah mampu keluar dari kemiskinan dan hingar politik serta belajar mengenali dunia global sebagai tantangan dan peluang, bukan ancaman yang menakutkan.

Robert E. Elson dalam, Suharto: A Political Biography [2004] menulis bahwa pada awal-awalnya, pemerintahan Orde Baru bisa dikatakan sebagai pemerintahan demokratis, terbuka, transparan, dan komunikatif. Sayangnya, menurut Frans Seda [2001], rezim ini berubah seiring dengan pesona Jendral Soeharto yang menguat. Karena itu menurutnya, Orde Baru dapat dinilai dari tiga model prestasi; yakni pemerintahan Orde Baru dan rezim Soeharto. Pemerintahan Orde Baru yang membawa semangat Pancasila dan UUD-45 secara murni dan konsekuen berkibar sampai 1975/1976, lalu antara 1976-1983 menjadi masa emas Orde Baru, sedangkan rezim Soeharto bangkit dari 1983-1998.

Dari sini, pelajaran yang harus dipetik adalah bahwa gagasan-gagasan politik-ekonomi harus sederhana dan bisa menyentuh kebutuhan rakyat, dalam arti bergerak pada alam pikir yang rasional. Selanjutnya kerja harus dengan cara mengembangkan jaringan politik-ekonomi yang luas untuk kepentingan yang berkait dengan kebutuhan mendesak; lapangan pekerjaan, kesehatan, pendidikan, jaminan sosial dan stabilitas keamanan. Negara dan aparatusnya wajib bekerja dalam skala prioritas dengan orientasi tanpa pamrih demi rakyat banyak. Dus, kebijakan politik-ekonomi harus diimbangi oleh prakarsa dan rule model [keteladanan] agar tidak terjadi ketimpangan. Singkatnya, kerja negara organik harus diiringi oleh kesadaran bahwa berbangsa dan bernegara kita sangat ditentukan oleh cita-cita kita sebagai bangsa dan negara.
***

Sebagai ilustrasi, buku ini berangkat dari keresahan penulis ketika memahami perdebatan mutakhir negara-bangsa. Dengan keinginan yang meluap-luap, buku ini meriset perdebatan di sekitar konstitusi mutakhir hasil amandemen. Kita tahu, isu ini menjadi penting karena setiap negara memiliki aturan hukum yang mengikat seluruh warga negaranya. Ada yang baku/tertulis dan ada yang lisan/tidak tertulis. Keduanya hidup dan menjadi aturan hukum bersama yang dipatuhi oleh semua pihak: pemerintah dan rakyat. Aturan hukum inilah yang disebut konstitusi. Karena itu, konstitusi pasti berasal dari kita, oleh kita dan untuk kita. Tetapi, sumbernya dapat berasal dari agama, local wisdom [kebijakan setempat], warisan nenek moyang maupun hibridasi dari pertemuan nilai-nilai di seluruh dunia.

Karena itu, konstitusi bersifat dialektik, konsensual, dan adaptif terhadap perkembangan zaman. Ia merupakan konsensus yang hidup dan menjadi pijakan kita bersama. Ia menjadi perekat [grosste gemene deler], gugus kesatuan sejarah [historical bloc], norma-norma dasar [grundsnorm], falsafah negara [weltanschauung/philosophische gronsdshlag], konsensus bersama [consensus norm] bahkan ideologi [state ideology] yang dijaga sekaligus dijadikan “pedoman [leitlinie]” karena kemampuannya menjadi ‘perekat-pembagi persekutuan terbesar’ [grooste gemene deler].

Dengan segala kekurangan dan kelebihannya, konstitusi harus berfungsi sebagai “guide” dan obor bahkan alat ukur dalam pencapaian cita-cita sebuah negara. Karenanya ia harus berbentuk potret diri dari political consensus yang subtansial, kuat, rigid, dan memotret jauh ke masa depan. Dikarenakan fungsinya yang sangat strategis, konstitusi disusun oleh, dari dan untuk semua yang hidup di negara kita maka ia harus tegas-baku tetapi terbuka-terus hidup [open and living] untuk disesuaikan zaman. Artinya, dimungkinkan untuk diamandemen dan diselaraskan dengan kepentingan semua masyarakat. Di sini diperlukan aturan ketat yang dengan sengaja memiliki jiwa hati-hati dalam semua usaha amandemen tersebut.
***

Dalam memahami globalisasi dan neolib di Indonesia, riset diawali dengan penelitian terhadap bentuk negara kita. Riset yang menghasilkan suatu hipotesa bahwa kita telah menyepakati bentuk negara Indonesia adalah kesatuan yang berbentuk republik [pasal 1/1] yang kedaulatannya berada di tangan rakyat [pasal 1/2] dan berlandaskan hukum [1/3]. Karena republik maka tafsiran yang paling tepat untuk masyarakat kita adalah kekeluargaan [integralistik] di mana eksekutif, legislatif dan yudikatif bekerjasama [partisipatif] dalam pemenuhan cita-cita rakyat. Ketiganya bersatupadu dalam usaha bersama berdasar asas gotongroyong menjadi “panitia kesejahteraan rakyat.”1 Dalam pilihan integralistik ini moral yang dibangun adalah shame culture [kebudayaan malu]. Dalam budaya ini, moral yang dikembangkan adalah “rasa hormat, reputasi, nama baik, status dan gengsi.” Itu artinya, jika subyek dalam salah satu lembaga kekuasaan publik bersalah/invalid maka “malu dan mengundurkan diri” menjadi keniscayaan-keharusan.2 Ini yang membedakannya dengan pilihan trias politicus. Dalam pilihan ini, moral yang dikembangkan adalah guilt culture [kebudayaan bersalah]. Itu artinya, jika subyek dalam salah satu lembaga kekuasaan publik bersalah/invalid maka ‘pengadilan’ menjadi keniscayaan-keharusan.

Jika dicermati sungguh-sungguh, seluruh UUD-45 dari pembukaan sampai batang tubuhnya berisi konsepsi tentang ketuhanan, kenegaraan dan pemerintahan, politik, ekonomi, pertahanan dan keamanan, pendidikan dan kesehatan, HAM, kebudayaan dan jaminan sosial. Karena itu, jika melihat pembukaan UUD-45, alinea pertama bicara hak individual [kemanusiaan] dan kolektif [keadilan]. Alinea kedua bicara merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Alinea ketiga bicara rahmat Tuhan yang menjiwai seluruh urusan bernegara. Alinea keempat bicara maksud pembentukan negara/pemerintahan yang berpancasila.

Alinea keempat inilah yang melahirkan kaidah integralistik berupa “negara harus bersifat aktif bahkan organis terhadap rakyatnya.” Karena ia adalah subjek, alat sekaligus tujuan, proyek yang disengaja serta aktor utama yang menjadi “jembatan emas” menuju masyarakat adil makmur dan sentosa [gemah ripah loh jinawi]. Ia mengada bersama rakyat dalam usaha bersama.

Konstitusi kita bernama UUD-45. Walaupun dulu dibuat tidak untuk jangka panjang dan mempraktekkan ide pembagian kekuasaan, di dalamnya sudah termaktub Pancasila, cita-cita bersama, dan penjelasan pasal-pasal yang relatif baku dan menzaman. Pembahasan mengenai perubahan dan amandemen terhadapnya telah berlangsung beberapa kali. Namun, fokus kita sekarang adalah amandemen 4 kali sejak 1999.

Setelah amandemen, UUD-45 berisi; 16 bab, 37 pasal, dan aturan peralihan plus aturan tambahan. Dan, yang paling subtansial dari amandemen 4 kali adalah masuknya pasal-pasal HAM [individual] dan dihapuskannya utusan golongan [keadilan kolektif] sebagai bagian dari MPR, penghilangan pasal penjelasan serta munculnya lembaga baru semisal MK, KY dan DPD.
Implikasinya tentu saja adalah perubahan pada sistem politik, ekonomi, pertahanan-keamanan, sosial dan bahkan agama-budaya. Mari kita lihat apa saja implikasi tersebut. Kita paham bahwa hipotesa para ahli politik memiliki kesamaan pandangan yang mengatakan “demokrasi adalah sistem yang terbaik saat ini daripada sistem lainnya. Tetapi dia bukan segala-galanya.” Sebab, melihat demokrasi neolib sebagai contoh, adalah demokrasi yang lebih menonjolkan sisi kemanusiaan karena berakar pada individualisme-utilitarianisme dengan mengenyampingkan sisi keadilan.3 Jikalau ada keadilan, itu hanya efek samping dan bukan tujuan. Untuk menguji hipotesa ini, lihatlah praksisnya. Karena itu dalam praksis-sejarahnya, negara-negara penganut demokrasi neolib dapat dikelompokkan menjadi dua. Pertama, demokratis tetapi kaya. Kedua, demokratis tetapi miskin.

Pertanyaannya, mengapa negara-negara demokratis tersebut terpola menjadi kaya dan miskin? Jika menggunakan tesis Gustav Cassell [1922] jawabannya adalah karena demokrasi neolib sangat terkait dengan kekayaan-kesejahteraan. Itu artinya di negara-negara kaya, demokrasi mudah berhasil dan ditradisikan. Sebaliknya, di negara miskin demokrasi sulit berhasil apalagi menjadi tradisi.

Dalam prakteknya, demokrasi neolib dan ekonomi neolib tidak jauh berbeda, yakni sama-sama berbiaya tinggi [high cost], beresiko tinggi [high risk] walau berkualitas tinggi [high quality]. Hal ini karena demokrasi neolib mempraktekkan engineering politic [politik rekayasa]. Dengan rekayasa, politik menjadi arena tawar menawar, voting, kontrak [perjanjian untung-rugi] bahkan jual beli.4 Ia bukan konsensus [perjanjian bersama], capaian-capaian prestasi, meritokrasi apalagi tenggang-rasa sesama [gotong-royong].

Dalam politik-ekonomi neolib, pasar bebas lebih dikedepankan guna mendapat kebebasan mencari keuntungan. Dalam konteks ini, sangat jelas bahwa kelemahan demokrasi neolib terlalu didominasi oleh ‘sila’ kemanusiaan (HAM), sehingga mengancam persatuan dan keadilan (di samping juga menunjukan adanya intervensi asing). Filsafat utamanya, kebebasan tanpa persatuan dan keadilan.

Di Indonesia, politik-ekonomi neolib ditentang kuat karena dapat menghancurkan ekonomi menengah, kecil dan koperasi. Sebalikya, politik-ekonomi neolib memenangkan para pemodal raksasa bahkan korporatokrasi [jaringan perusahaan multi nasional dengan lembaga perbankan dunia]. Menurut Steven Hiat [2007], prestasi terbesar politik-ekonomi neolib adalah menghancurkan negara-negara pengutang dengan ramuan demokrasi dan pengambilalihan SDA sebagai ganti ketidakmampuan mereka membayar hutangnya.

Untuk melihat bagaimana proses amandemen telah “meninggalkan” pembukaan UUD-45, mari ambil dua contoh. Pertama, lihat Bab II, Pasal 2 (ayat 3): MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT: Segala putusan Majelis Permusywaratan Rakyat ditetapkan dengan suara terbanyak. Kata terbanyak dalam pasal ini maksudnya pasti voting. Apa implikasi voting dalam praktek demokrasi? Berbiaya tinggi [high cost], beresiko tinggi [high risk] walau berkwalitas tinggi [high quality] dengan mempraktekkan engineering politic [politik rekayasa].
Kedua, lihat Bab XA, Pasal 28A: HAK ASASI MANUSIA: Setiap orang berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya. Maksud pasal ini adalah pengakuan hak hidup oleh pemerintah dan rakyat lainnya. Tetapi, jika mengacu pada pembukaan UUD-45 yang menempatkan negara/pemerintah sebagai subyek organis yang berperan, mestinya pasal itu berbunyi; Negara menjamin hak masyarakat untuk mempertahankan hidup dan kehidupannya].
***

Dalam memahami Indonesia sebagai negara miskin, buku ini mengawali riset dari konsep ekonomi yang telah dan sedang berkembang di tanah air. Lagi-lagi, jika kita melihat konsepsi ekonomi, UUD-45 memiliki paradigma sendiri yang membedakannya dengan ekonomi lain yaitu: tidak free fight liberalism, bukan sistem etatisme [komando] serta tidak melakukan pemusatan ekonomi pada satu kelompok dalam bentuk monopoli-oligopoli yang merugikan masyarakat-negara. Konsepsi itu disebut sistem ekonomi Pancasila yang bersumber langsung dari Pancasila sila kelima; Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dan amanat pasal 27 [2], 33-34 UUD-45.

Sila kelima ini menjelaskan bahwa semua orientasi berbangsa dan bernegara—politik ekonomi, hukum, sosial dan budaya—adalah dijiwai semangat keadilan menyeluruh dan diperuntukkan bagi seluruh rakyat Indonesia. Sila ini sekaligus sebagai nilai-nilai utama-inti [core values] dan tujuan akhir [ultimate goal] serta alat ukur yang khas terhadap jalannya pemerintahan.

Sistem ekonomi Pancasila ini diperjelas lagi dengan pasal 27 [2] berbunyi; tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Kemudian, pasal 33 berbunyi; [1] Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. [2] Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasasi oleh negara. [3] Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Lalu, dalam penjelasan pasal 33 bab kesejahteraan sosial lebih jauh dinyatakan bahwa, demokrasi ekonomi adalah produksi yang dikerjakan oleh semua, untuk semua di bawah pimpinan atau penilikan anggota-anggota masyarakat. Kemakmuran masyarakat diutamakan, bukan kemakmuran orang seorang. Sebab itu perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas usaha kekeluargaan. Bangun perusahaan yang sesuai dengan itu adalah koperasi. Perekonomian berdasar atas demokrasi ekonomi, kemakmuran bagi semua orang. Sebab itu cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak harus dikuasai oleh negara. Kalau tidak, tampuk produksi jatuh ke tangan orang yang berkuasa dan rakyat banyak akan ditindasinya. Hanya perusahaan yang tidak menguasai hajat hidup orang banyak yang boleh di tangan orang seorang. Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung dalam bumi adalah pokok-pokok kemakmuran rakyat, sebab itu harus dikuasasi oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Sedang pasal 34 berbunyi; Fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara.

Seiring dengan amandemen yang sudah empat kali dilakukan maka terdapat beberapa perubahan. Walaupun tidak fundamental tetapi yang perlu dicatat adalah; 1). Terdapat semangat untuk menggabungkan pasal penjelasan menjadi pasal yang terintegrasi dalam batang tubuh tetapi penggabungannya tidak menyeluruh dan kurang komprehensif. 2). Adanya amanat penyusunan undang-undang perekonomian nasional yang belum dilaksanakan. 3). Amandemen hanya merubah judul menjadi Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Sosial. 4). Menambah ayat, yaitu ayat 4 dan 5 tetapi penambahan ini tidak memperjelas/mempertegas sistem ekonomi nasional berdasarkan demokrasi ekonomi.

Empat alasan tersebut penulis kira layak dijadikan landasan agar hasil amandemen yang sudah ada, perlu disempurnakan dengan mempertahankan dan memperjelas rumusan konstitusional bagi perimbangan Negara-Pasar-Rakyat. Dus, melakukan amandemen kembali dengan memasukkan penjelasan [lama] yaitu semangat “kekeluargaan” dalam bentuk koperasi dan BUMN niscaya harus dilakukan. Sebab, mengutip B-Harry Priyono [2002], setiap konstitusi adalah cita-cita yang melengkapi syarat sebuah negara di luar rakyat, pemerintah dan wilayah.

Amandemen pasal ekonomi dengan demikian harus bervisi kita yang jauh tentang sebuah masa depan. Karena itu dalam cita-cita bersama, ‘masa depan’ harus menjadi variabel sentral dalam bangun ekonomi-politik. Amandemen pasal ekonomi dengan demikian harus bervisi kita yang jauh tentang sebuah masa depan. Di sinilah pentingnya rumusan eksplisit tentang peran BUMN-Koperasi-Swasta.
***

Dalam memahami ekonomi pancasila, buku ini ini mengawali riset dari hipotesa Prof. Boediono, [24/2/07] yang menulis bahwa, “tingkat kemajuan ekonomi merupakan faktor penentu bagi keberlanjutan demokrasi.”

Karena itu, menarik tesis Gustav Cassell [1922] yang menyebut bahwa, demokrasi sangat terkait dengan kesejahteraan. Di negara miskin seperti kita, demokrasi masuk dalam resiko tinggi untuk berhasil. Sebaliknya, di negara kaya, demokrasi akan masuk resiko rendah untuk gagal. Hipotesa ini dapat dibuktikan dengan menggunakan teori purchasing power parity [PPP], paritas daya beli. Sebuah teori yang bersandar pada metode keseimbangan jangka panjang dari perubahan kurs dua mata uang untuk menyamakan kekuatan pembelian mata uang [hukum satu harga].

Dengan hipotesa tersebut, pertanyaannya kemudian, apa yang harus dilakukan negara miskin yang telah memilih demokrasi? Jawabannya tentu mempercepat transisi dan konsolidasikan demokrasi ekonomi. Dua hal yang sulit karena dalam pembentukan kebijakan strategi pembangunan ekonomi, masalah yang sering timbul adalah ke mana seharusnya pembangunan ekonomi ditujukan; pertumbuhan ekonomi, pemerataan pendapatan atau pengurangan kemiskinan?

Pertanyaan selanjutnya, bagaimana usaha mengejar pertumbuhan tidak diganggu instabilitas politik? Bagaimana usaha pemerataan dapat dicapai tanpa komando negara? Bagaimana komando negara tidak menghasilkan kesewenang-wenangan dan korupsi? Bagaimana pertumbuhan-pemerataan tidak hanya menghasilkan kekayaan tetapi juga menghasilkan banyak pilihan terhadap akses ekonomi?

Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas tentu membutuhkan kecerdasan dan keteladanan. Cerdas berhubungan dengan kemampuan dalam memilih paradigma pembangunan ekonomi. Mau memilih paradigma neolib yang menuhankan pasar atau kerakyatan yang berfilosofi kekeluargaan. Mau meneruskan kebijakan lama yang masih baik atau menggantinya dengan yang sama sekali baru. Kecerdasan ini berkait dengan kemampuan melakukan komparatif dan pengakuan keberhasilan pembangunan di masa lalu serta ketajamannya dalam memilih paradigma yang cocok dengan iklim, nalar dan tradisi rakyatnya. Kecerdasan juga berhimpit dengan kemampuan memilih pembantu yang die hard, ahli dan loyal pada team work.

Sedang keteladanan dibutuhkan agar teori dan praktek tidak berjarak. Artinya, ketika paradigma sudah dipilih, maka harus dipraktekkan di lapangan. Tegasnya, tebar pesona sekaligus tebar kerja. Atau, banyak bicara sambil banyak kerja. Keteladanan berarti harus ada contoh dari pucuk pimpinan negara. Keteladanan ini berfungsi untuk menyadarkan rakyat guna bekerja lebih keras, hidup sederhana, dan mencintai produksi dalam negeri. Jika para pemimpin negara memberi teladan dengan bekerja keras, hidup sederhana, menggunakan hasil produksi dalam negeri, niscaya tak akan sulit bagi rakyat untuk mengikutinya.
***

Dalam memahami praksis ekonomi Pancasila, buku ini meriset sebab-sebab kemiskinan yang terus melanda kita. Tentu saja bukan perkara mudah menjadi kaya di tengah kemiskinan SDM, tak mudah menjadi pandai di tengah kekurangan infrastruktur dan fasilitas yang memadai. Tak mudah menjadi negara kaya [maju] secara politik-ekonomi di tengah serbuan globalisasi. Sebagaimana tak mudah menjadi negara berdaulat secara politik-ekonomi di tengah hempasan neolib.

Kita tahu, neolib berkembang melalui reduksi manusia sebagai makhluk ekonomi (homo oeconomicus). Sebagai mahluk ekonomi, manusia menjadi sering lupa dimensi sosialnya, lupa kebersamaan, dan lupa pada kode etik sebagai sesama. Kedirian menjadi lebih penting, individualisme menjadi ciri khasnya. Dalam rimba ekonomi, kekayaan menjadi tujuan, kemiskinan menjadi kutukan dan ketidakpedulian menjadi filsafat hidupnya. Visi neoliberal yang paling mutakhir kemudian direntang luas untuk diterapkan pada semua dimensi hidup manusia.

Pada gilirannya, perspektif oeconomicus itu direntang untuk menjadi prinsip pengorganisasian seluruh masyarakat; ekonomi, politik, budaya, agama, pertahanan dan keamanan bahkan sosial kemasyarakatan.

Memang, manusia pasti homo oeconomicus, tetapi homo oeconomicus pastilah bukan keseluruhan manusia. Masih banyak manusia yang bervisi ekonomi sambil bermisi manusiawi. Konsep inilah yang dalam bahasa ekonomi kita disebut dengan demokrasi ekonomi/ekonomi Pancasila. Dalam praktek dan sejarahnya, visi ekonomi Pancasila ini mengkampanyekan konsep kesetiakawanan sosial agar menjadi nilai-nilai yang sedemikian menggema untuk memperkuat interaksi dan saling peduli di antara individu dalam masyarakat. Kesetiakawanan sosial dimaksudkan untuk menggantikan peran negara dalam mengembangkan tanggung jawab pada sesama individu dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Di dalamnya mencakup simpati, empati dan gotong-royong yang berlandaskan kepercayaan sosial untuk mencapai cita-cita bersama, tanggungjawab bersama.

Dalam visi ekonomi Pancasila, kebersamaan dan kekeluargaan dijadikan dasar bagi pengambilan keputusan-keputusan penting. Hal ini didasarkan pada semangat konsensus ekonomi dan bukan pada kontrak ekonomi. Semangat konsensus ekonomi mengangankan diembannya secara bersama hal-hal terburuk yang menimpa rakyat banyak apabila sampai terjadi sesuatu yang di luar kehendak bersama. Suatu semangat yang antisipatif dengan mengambil nilai terendah dari tindakan. Artinya, kesuksesan memang tujuan, tetapi ketidaksuksesan juga harus ditanggung bersama [ringan sama dijinjing, berat sama dipikul].

Dalam visi ini pula pemerintah lahir untuk meneruskan kemerdekaan politik menjadi kemerdekaan ekonomi. Sebuah kemerdekaan yang diisi dengan membentuk negara modern yang kuat sehingga memiliki kapasitas yang luas agar gagah menghadapi pasar bebas (market fundamentalism). Sebab, tanpa negara modern yang kuat [modern state civic nationalism], kemerdekaan rakyat tidak akan terjamin. Sebaliknya, rakyat akan jadi budak dan kuli di negaranya sendiri.
***

Dalam memahami kebaikan masa lalu, buku ini berangkat dari kaidah; Almukhafadah ‘ala qadimisalih wal akhdu biljadidil aslah [mempertahankan masa lalu yang masih baik sambil mengambil (mencipta) masa depan yang lebih baik]. Hal ini karena penulis melihat begitu banyak problem yang kita hadapi tetapi belum ada jalan keluar. Tetapi, sambil menyimak pernyataan Presiden SBY yang mengharapkan bangsa ini bisa menjadi bangsa yang unggul di semua bidang, penulis yakin, rakyat Indonesia mestinya mampu memenuhinya. Terlebih, ada banyak SDA dan makin berseminya SDM yang kita miliki. Inilah keunggulan komparatif yang harus dikembangkan menjadi keunggulan kompetitif.

Di atas segalanya, meminjam teori Reiner, seorang ekonom Jerman [2006], "adalah kewajiban bagi negara yang menganut ekonomi pasar guna menguatkan negara dan menyehatkan BUMN (plus koperasi) agar mampu memantau pebisnis dengan perangkat hukumnya." Kerjasama [patnership] BUMN-Koperasi-Swasta dapat dijadikan model guna bersaing di pasar bebas. Tata kelola dan peran ketiganya perlu menjadi acuan perekonomian nasional kita. Inilah model ekonomi yang di masa Orde Baru [dengan berbagai kekurangannya] berhasil mengurangi kemiskinan secara drastis bahkan menswasembadakan beras.

Karena itu ke depan, tugas utama institusi politik-ekonomi pemerintah kita mestinya adalah penguatan pelayanan, pentradisian perlindungan dan mendorong publik sehingga memberikan rasa aman bertransaksi, berproduksi, berinvestasi dan menciptakan terminus ad quem [waktu untuk menyelesaikan problem rakyat]. Suatu prestasi yang belum dapat dicapai oleh rezim hasil reformasi.

Di tengah konsolidasi rezim pasar bebas, tidak ada pilihan bagi kita untuk merumuskan kembali politik-ekonomi yang pas dan khas Indonesia. Karena itu, konsep yang jelas mengenai politik-perekonomian nasional tanpa harus menjadi korban dari pasar bebas sangatlah penting bila Indonesia tidak ingin terus-menerus dijajah dan dijarah. Kebebasan memang menjadi kondisi nyata dalam pasar bebas, tapi tentunya kita harus bisa menyiasati persaingan supaya orang asing tidak mampu menghisap kekayaan negeri ini. Caranya, tentukan nasib bangsa dengan melihat kembali UUD-45 terutama pembukaannya dan mari jadikan pemerintah dan rakyat sebagai subyek utama pembangunan politik-ekonomi. Tingkatkan kapasitas negara/pemerintahan, sadarkan rakyat banyak dengan secara bersama-sama menjadi agen-agen penyelamat negara.[]