Monday, May 21, 2007

NEGARA ADALAH PENYAKIT

M. Yudhie Haryono

Sepintas judul di atas pasti dianggap mengada-ada. Tetapi jika direnungkan lebih mendalam, selayaknya hipotesa tersebut banyak mengandung kebenarannya.

Dalam sejarah kehadirannya, negara memang seperti mahluk bernyawa sejuta. Ia mati dan hidup kembali berulangkali dalam bentuk serupa tapi tak sama. Ia dirindukan sekaligus dicaci. Ia dicintai sekaligus dibenci. Karena itu sejatinya, sejarah rakyat bernegara adalah sejarah tentang perjalanan konstruksi ideologis yang enigmatis dan genap; antara yang empiris dan yang imajinatif. Kontruksi empiris dapat berupa perjuangan kemerdekaan, kesejahteraan dan keadilan. Atau dalam bahasa Declaration of Independen USA, proklamasi bangsa Amerika [1776] menjadi life, liberty and the persuit of happiness. Karena itu, sejarah perjuangan kemerdekaan selalu merupakan hal-hal empirik berkenaan dengan kebutuhan rakyat pada yang riil.

Di sinilah peran elite sebagai pemimpin pembebasan dan revolusioner menemui faktualisasinya. Elite menjawab dan menjadi jawaban terhadap berbagai pertanyaan kebutuhan rakyatnya. Elite berusaha memenuhi rasa keadilan [hukum], rasa ketentraman [kekuasaan], rasa kesejahteraan [ekonomi], kebutuhan struktural [politik], dan rasa identitas sosial [budaya].
Sedang konstruksi yang imajinatif adalah pengetahuan akan cita-cita bersama. Pada kita adalah bhineka tunggal ika atau gemah ripah loh jinawi. Imajinasi cita-cita besar ini melahirkan imajinasi-imajinasi turunan; melindungi rakyat dan tanah air, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, melaksanakan ketertiban dunia.

Empiris dan imajinatifnya negara kemudian melahirkan kebenaran tunggal versi para pendiri suatu negara. Satu kebenaran yang sangat fokus dan sektarian karena ditentukan hanya oleh sekelompok minoritas [elite pemimpin] yang berkuasa. Sekelompok minoritas elite inilah yang memaksa dan mengatur rakyatnya secara sistematis agar menyesuaikan diri dengan tujuan-tujuan dan cita-cita bersama. Selanjutnya, penerapan kekuasaan itu sendiri menciptakan dan melahirkan obyek-obyek pengetahuan baru dan mengakumulasikan satuan-satuan informasi baru.

Elite negara dalam sejarahnya memang ditakdirkan menjadi pemilik otoritas rakyatnya. Elitlah produsen politik dan budaya yang bersifat eksternal sekaligus internal. Dengan cara bernalar, berbicara, dan bekerja tentang dunia di sekitarnya, elite mengkonstruksi rakyat dan lingkungannya. Elite mempengaruhi dan menginjeksi arah tujuan dan ideologi rakyatnya.
Persoalannya adalah mengapa elite seringkali menciderai amanat rakyat banyak? Jika ditinjau dari teori keberadaannya hal ini karena dua sebab. Pertama, kegagalan memahami watak rakyatnya. Dalam kontek Indonesia, watak rakyat kita pada umumnya dapat dikelompokkan menjadi empat; 1). Plural tetapi homogen. 2). Ramah tetapi komunalistik. 3). Toleran tetapi mudah konflik kekerasan. 4). Punya hukum nasional tetapi menghidupi hukum lokal.

Kedua, kegagalan memahami suara rakyat. Dalam hal ini suara rakyat sering tidak terepresentasi di lembaga-lembaga wakilnya [DPR]. Rakyat memang dapat melihat lahirnya sebuah putusan publik tetapi tidak dapat terlibat dalam pembuatan keputusan publik tersebut. Rakyat akhirnya merasa tidak memiliki keputusan publik yang telah disepakati oleh wakilnya.
Dua kegagalan inilah penyebab dari lahirnya dua model perilaku elite di tanah air. Pertama, elite literal [absolute]. Kelompok elite ini punya karakter melihat Negara dengan kacamata teologi imanensi. Mereka melihat Tuhan yang hadir dalam realitas dunia. Karenanya, manusia menjadi wakil Tuhan (khalifah) di bumi. Elite ini menempatkan aturan publik sebagai segalanya. Mereka sangat minimalis dalam tafsir aturan publik. Secara sosiologis melahirkan kultus dan kharisma kepemimpinan. Karenanya, mereka sangat komunalistik dan menempatkan negara sebagai cara untuk kembali ke akhirat (eskatologis). Filosofi hidupnya menjadi; elite memerintah, rakyat diperintah. Elite berkuasa, rakyat dikuasai. Elite banyak benar, rakyat sering salah.

Kedua, elite liberal [relative]. Kelompok elite ini punya karakter melihat Negara dengan kacamata teologi transendensi. Mereka melihat Tuhan tidak memiliki kaitan apa pun dengan realitas dunia ini kecuali sekadar sebagai penyebab awal. Elite manusia adalah kehendak bebas. Aturan publik tunduk di bawah kendali rasio. Elite ini banyak mengenal tafsir aturan publik. Secara sadar hidup dalam radikalisme argumentatif, karenanya bersifat liberalis dan Negara adalah cara manusia untuk memahami dunia.

Filosofi hidupnya tidak ada kebenaran mutlak di negara. Yang sakral hanyalah Tuhan, selainnya profan. Problemnya, kedua elite yang hidup di Indonesia memiliki kesamaan pandangan dalam birokrasi pemerintahan yaitu; jika dapat diundur kenapa harus sekarang; jika dapat dipersulit kenapa dipermudah. Artinya, keduanya suka menunda-nunda persoalan tanpa rasa bersalah.

Negara dan Globalisasi
Jika tak segera melakukan revitalisasi, negara kita akan tinggal nama. Apalagi, hantu globalisasi terus menancapkan kukunya. Terlebih dalam hipotesa William Robinson, Promoting Polyarchy: Globalization, US Intervension and Hegemony (1996) menunjukkan bahwa globalisasi terdiri dari dua proses yang saling berjalan. Pertama, adalah kulminasi dari proses yang dimulai beberapa abad yang lalu, di mana hubungan produksi kapitalis meruntuhkan dan menggantikan seluruh hubungan pra-kapitalis hampir di seluruh dunia. Itu artinya meruntuhkan struktur negara, menyempitkan kapasitas pemerintahan.

Kedua, adalah transisi lebih dari beberapa dekade hubungan bangsa-bangsa melalui pertukaran komoditas dan aliran modal dalam pasar dunia yang terintegrasi, di mana di dalamnya model produksi yang berbeda berkoeksistensi dalam formasi-formasi sosial ekonomi nasional dan regional yang lebih luas bisa lepas dari keterkaitan eksternalnya, yaitu globalisasi proses produksi itu sendiri. Itu artinya, jikalau negara hadir, ia adalah akibat, bukan sebab. Ia ada tanpa prakarsa, bukan genuisitas. Ia tanpa sengaja, bukan proyek bersama.
Jika ini yang terjadi, negara tak lagi memiliki “tanggung jawab” sebagai agen utama penerjemah cita-cita rakyatnya. Negara tinggal memiliki yang empiris tanpa imajinatif. Ada wilayah, penduduk dan pemerintahan, tapi ia tak memiliki cita-cita dan tujuan bersama. Ujungnya, seluruh elite yang menghidupi kekuasaan akan hidup untuk dirinya. Sebaliknya seluruh rakyat tidak tahu ke mana nasibnya akan ditambatkan.

Atas beberapa gejala bernegara yang sedang kita alami, diperlukan perubahan cara pandang terhadap negara dan kewajiban pengkayaan model pemahaman terhadap rakyat. Walaupun negara adalah penyakit yang ditularkan lewat imaji dan media, ia harus dimaknai sebagai peluang dan tantangan yang harus selalu ditemukan jawabannya. Negara harus diletakkan sebagai sarana sekaligus tujuan. Dengan demikian negara harus meniscayakan hadirnya motif-motif dan perasaan rakyat sebagai basis penalaran, pengetahuan dan tindakan dengan sebuah pertanyaan; untuk apa ia kita hadirkan ke dunia?[]

GENEOLOGI EKONOMI NEOLIB

M. Yudhie Haryono

Mungkin sebuah kebetulan, atau agar kita kembali belajar. Ketika Prof. Sarbini Sumawinata meninggalkan kita semua, Prof. Widjojo Nitisastro meluncurkan dua bukunya sekaligus. Kita tahu, kedua profesor ini pada awalnya merupakan staf pribadi Presiden Soeharto pada awal Orde Baru dibentuk. Menurut Prof. Soebroto [2007:34], sejak tanggal 12 September 1966, keduanya diminta memberi masukan pada pemerintah berkenaan dengan nasib negara ke depan pasca tumbangnya Orde Lama. Sayangnya, keduanya kemudian menemukan dunia yang berbeda. Sebab, dalam perjalanan sejarahnya nanti, Widjojo menjadi andalan dan kepercayaan Presiden Soeharto, sebaliknya Sarbini berada di ujung berbeda karena sangat kritis pada pemerintah.

Jika pemikiran Sarbini beririsan dengan sedikit ekonom semisal, Prof. Mubyarto, Dawam Rahardjo, Sri-Edi Swasono, Subiakto Tjakrawerdaja, Adi Sasono, Muslimin Nasution, Tawang Alun, Revrison Baswir, Iman Sugema, Hendri Satorini, Rizal Ramli, Bini Buchory, Ichsanudin Nursi, Tobi Mutis, dan Bustanil Arifin. Sebaliknya, Widjojo punya pengikut yang menyebar di hampir tiap departemen yang beririsan dengan ekonomi. Dalam disertasi Rizal [1999], Widjojo kemudian menjadi salah satu begawan ekonom pembaharu terkemuka—sebagai kompetitor dari ekonom kerakyatan/Pancasila—yang berhasil menegakkan liberalisasi pembangunan ekonomi nasional. Widjojo kemudian disebut sebagai “Don Barkeley” yang sangat berpengaruh karena melahirkan sejumlah kader yang secara bergantian duduk di kabinet dan pemerintahan Presiden Soeharto.

Di antara ekonom yang pemikirannya beririsan dengan Widjojo adalah, Ali Wardana, Emil Salim, Mohammad Sadli, Subroto, Rachmat Saleh, Arifin Siregar, Radius Prawiro, JB Sumarlin, Saleh Afif, Soedrajat Djiwandono, Adrianus Mooy, Radinal Mochtar, Bustanul Arifin, Ginanjar Kartasasmita, Purnomo Yusgiantoro, Boediono, Sri Mulyani, Mari Pengestu.
Kaderisasi kemudian dilanjutkan dengan memberi kesempatan akademis bagi generasi selanjutnya. Sebut saja, Iwan Jaya Aziz, Barli Halim, Wagiono Ismangili, Sri Adiningsih, Rizal Malarangeng, Ikhsan, Chatib Basri, Lie Cin Wei, Anggito Abimanyu, Arsjad Anwar, Aris Ananta, Ari Kuncoro, Zulkiflimansyah, dkk.

Para kader Widjojo nanti dikenal sebagai mafia atau geng Berkeley. Mereka membentuk jaringan pemikir neolib hasil didikan alumni Universitas Berkeley, California. Dalam sejarahnya, kelompok “Mafia Berkeley” tersebut dipersiapkan secara sistematis oleh kekuatan luar Indonesia, sebagai bagian dari strategi perang dingin menghadapi kekuatan progresif di kawasan Asia. Bahkan, David Ransom (1970), menggolongkan kelompok ini sebagai mereka yang tercekoki ilmu pengetahuan liberal dalam rangka peng-Amerika-an, ketika mereka belajar di Berkeley dan universitas lain seperti Cornell, MIT, dan Harvard atas biaya dari The Ford Fondation.

Dalam prakteknya para ekonom ini meniti karirnya dengan mengembangkan jaringan internasional yang sangat kuat dan meluas seperti USAID, IMF, Bank Dunia, Ford dan Bank Pembangunan Asia. Sementara di tanah air, jejaring mereka diperluas melalui lembaga-lembaga seperti LPM UI dan Freedom Institute. Lembaga-lembaga ini menopang gagasan ekonomi neolib melalui beberapa kegiatan riset, penerbitan buku, seminar-seminar, pemberian award/penghargaan, pelatihan-pelatihan bahkan penyediaan beasiswa secara signifikan.
Tidak mengherankan nantinya jika produk hasil riset dan penelitian serta rekomendasi kebijakan [policy pappers] mereka sejalan dan seirama dengan rekomendasi para ekonom liberal yang bermarkas di Washington. Akhirnya, ibarat masakan, resep neolib sudah lengkap diracik di Indonesia dan disinergikan dengan Washington Plan, lalu disajikan secara apik, lezat dan ready to use ke seluruh pengambil kebijakan dan rakyat Indonesia.

Lalu, apa sejatinya agenda ekonom neolib di Indonesia? Mengacu pada definisinya, neolib adalah madzab ekonomi yang beriman pada fundamentalisme pasar dengan filosofi ekonomi-politik mengurangi atau menolak campur tangan pemerintah [state] dalam ekonomi domestik. Paham berpijak pada perilaku bisnis dan hak-hak milik pribadi.

Ekonomi neolib berangkat dari asumsi dasar bahwa pasar merupakan pengambil keputusan yang paling sah berdasarkan hak kepemilikan individu. Karena itu prakteknya, madzab neolib bergerak dalam praksis the rule of the market, anti subsidi, deregulasi, prifatisasi sehingga kesejahteraan bersama [welfare state-society] bukan tujuan, sebaliknya hanya sebagai akibat. Mereka menolak gotong royong dan kebersamaan dalam pengelolaan, kepemilikan dan tanggungjawab bersama dalam kebangkrutan, kepailitan bahkan kemiskinan.

Karena itu lanjutannya adalah kinerja ekonomi pasar dikawal dengan seperangkat aturan yang membuat relasi antara modal dan tenaga-kerja tidak selalu berakhir dengan subordinasi labour pada capital. Seperti tata ekonomi seabad lalu, neoliberalisme cenderung diikuti dengan gejala lepasnya kinerja modal dari kawalan, tetapi dalam bentuk yang lebih ekstrem. Apabila liberalisme klasik lebih menitikberatkan pada globalisasi pasar, maka neolib menitikberatkan pada globalisasi kapital. Liberalisme klasik ala Adam Smits itulah yang kemudian menelurkan imperialisme di tanah Asia hingga Afrika, yang dikenal dengan kolonialisasi. Sedangkan, neolib menelurkan imperialisme yang diperbarui, yakni kapitalisme global. Dalam prakteknya kemudian, IMF dan Bank dunia dikenal sebagai dokter spesialis yang punya resep yaitu liberalisasi dan deregulasi sektor keuangan, perdagangan, pendidikan, kesehatan, politik, sosial bahkan agama. Mengutip tesis Susana Sattoli (2000), resep liberalisasi dan deregulasi tersebut menjelma menjadi empat pilar utama. Keempatnya adalah 1). Kompensasi bagi biaya sosial dalam rangka restrukturisasi makroekonomi, 2). selektivitas pengeluaran biaya, 3). privatisasi pelayanan dasar, dan 4). desentralisasi sebagai tanggung jawab negara.

Di Indonesia, keempat ajaran neolib sudah lama dijajakan pada pemerintah. Tetapi mulai menjadi acuan dan diterapkan sejak krisis moneter tahun 1997. Sejak saat itu, IMF memaksakan kebijakan “reformasi struktural” kepada Pemerintah Indonesia, sebagai jawaban atas pembangunan ekonomi yang menguatkan kapasitas pemerintahan Orde Baru. Reformasi ekonomi ini berisi liberalisasi sektor keuangan, yang mencakup pengurangan anggaran publik dalam bidang pendidikan, kesehatan, pupuk, bahan bakar minyak, listrik, hingga deregulasi perdagangan.

Kebijakan-kebijakan ekonomi neolib masih berlanjut di masa reformasi, bahkan semakin menggila. Pada pemerintahan SBY-JK, ekonom neolibpun semakin menancapkan kukunya. Walau sejak awal, banyak kalangan optimis dan berharap dengan menilik desertasi SBY yang pro-poor dan pertanian, namun hal itu pupus tatkala SBY menempatkan figur-figur yang memiliki karakter neolib. Setelah berjalan selama dua tahun, banyak kebijakan pemerintah yang pro-pelaku bisnis daripada pro-rakyat. Lucunya, dalam praktek ekonomi neolib, banyak perusahaan yang ketika bangkrut meminta pertolongan pemerintah, tetapi ketika jaya, mereka lupa bayar pajak. Kasus BLBI dan Lapindo merupakan bukti tak terbantahkan tentang praktek ekonomi neolib di pemerintahan SBY-JK.

Semakin hari para ekonom neolib semakin kuat dan tangguh karena topangan sumberdaya manusia, modal, jaringan nasional dan internasional yang luas. Proyek terbesar mereka adalah menempatkan Indonesia bukan sebagai sebuah kesengajaan. Meminjam hipotesa B-Harry Priyono [2006], para agen neolib meletakkan negara Indonesia sebagai akibat dari bekerjanya pasar berkelanjutan. Inilah logika pasar mengatasi segalanya, mengatasi Indonesia dan seribu problemnya.

Kekuatan ini semakin luas-menggurita juga karena para ekonom kerakyatan/Pancasila mulai hidup tidak sebagai “barisan.” Mereka membiarkan idealisme kerakyatan ditenggelamkan oleh amuk dan hempasan globalisasi. Meminjam terminologi Perkins [2005], mereka membiarkan negara dikelola oleh para economic hitman yang lebih peduli pada tuan di luar negeri dan bersengaja membiarkan rakyat menjadi kuli di negeri sendiri. Akankah ini menjadi babak NKRI sebagai negara kuli republik Indonesia? Semoga tidak.[]

BANGSA YANG SEDANG MENUNGGU

M. Yudhie Haryono

Mengapa kita memperdebatkan kembali konstitusi bangsa ini? Pertanyaan penting ini menyimpan ketakjuban. Ketakjuban adalah sebuah sikap yang timbul saat seseorang menghadapi sesuatu yang mencengangkan. Mengapa mencengangkan? Sebab, sesungguhnya amandemen UUD-45 yang sudah empat kali dilakukan telah mengubah dasar-dasar konsensus dalam penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara baik pada tataran suprastruktur maupun infrasrtuktur politik.

Amandemen UUD-45 kemudian memberikan ruang diterbitkannya berbagai peraturan perundangan di bidang politik. Sebagai penjabarannya telah dirumuskan format politik baru bagi kelembagaan demokrasi. Amandemen UUD-45 telah secara tegas menata kembali kewenangan kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif termasuk di dalamnya kekuasaan dari lembaga-lembaga yang baru seperti Mahkamah Konstitusi, Komisi Yudisial, dan Dewan Perwakilan Daerah. Selanjutnya, konsensus baru hubungan sipil-militer yang menunjung supremasi sipil dan hubungan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dengan Kepolisian Republik Indonesia (Polri) juga kita temukan.

Dengan penataan ini bukankah amandemen telah memberikan peluang bagi terwujudnya keseimbangan kekuasaan? Bukankah amandemen telah sejiwa dengan reformasi? Banyak orang menjawabannya dengan kata "belum." Sebab, amandemen tersebut ternyata juga membawa beberapa cacat bawaan.

Memang, pasca pemilu demokratis 2004, beberapa capaian tersebut sangat menggembirakan kita semua. Pembangunan budaya, politik dan sosial sudah meningkat. Bidang budaya mengalami kemajuan dengan ditandai oleh meningkatnya pemahaman terhadap keragaman budaya, pentingnya toleransi, dan pentingnya sosialisasi penyelesaian masalah tanpa kekerasan, serta mulai berkembangnya interaksi antarbudaya.

Namun, di sisi lain upaya pembangunan jatidiri bangsa Indonesia, seperti: penghargaan pada nilai budaya dan bahasa, nilai-nilai solidaritas sosial, kekeluargaan, dan rasa cinta tanah air dirasakan semakin memudar. Hal tersebut disebabkan antara lain oleh belum optimalnya upaya pembentukan karakter bangsa, kurangnya keteladanan para pemimpin, lemahnya budaya patuh pada hukum, cepatnya penyerapan budaya global yang negatif, dan kurang mampunya menyerap budaya global yang lebih sesuai dengan karakter bangsa, serta ketidakmerataan kondisi sosial dan ekonomi masyarakat.

Pembangunan politik juga terlihat dengan berkembang kesadaran-kesadaran terhadap hak-hak dasar masyarakat dalam kehidupan politik. Perkembangan ini diharapkan mampu menstimulasi masyarakat lebih jauh untuk makin aktif berpartisipasi dalam mengambil inisiatif bagi pengelolaan urusan-urusan publik. Perkembangan ini tidak terlepas dari berkembangnya peran partai politik dan masyarakat sipil. Di samping itu, kebebasan pers dan media juga telah jauh berkembang. Hal ini ditandai dengan adanya peran aktif pers dan media dalam menyuarakan aspirasi masyarakat dan melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan.
Pembangunan sosial juga terlihat dalam upaya membangun kualitas hidup manusia. Kita tahu sumber daya manusia (SDM) merupakan subyek dan obyek pembangunan sejak masih dalam kandungan hingga mati. Menurut laporan World Economic Forum, SDM negara kita berada pada urutan ke 50 dari 125 negara yang disurvei. Secara rinci rangking tersebut merupakan komposit dari Angka Harapan Hidup saat lahir sebesar 66,6 tahun, angka melek aksara penduduk usia 15 tahun ke atas sebesar 87,9 persen, dan gabungan angka partisipasi kasar jenjang pendidikan dasar sampai dengan pendidikan tinggi sebesar 65 persen dan Pendapatan Domestik Bruto per kapita yang dihitung berdasarkan paritas daya beli (purchasing power parity) sebesar US$ 3.230.

Konstitusi Bervisi Keindonesiaan
Nah, yang belum dijawab oleh amandemen UUD-45 adalah masalah ideal berkenaan dengan sikap dasar dalam berpolitik dan berekonomi. Politik sebagai proses memenuhi cita-cita rakyat belum sepenuhnya tercermin dari hasil amandemen. Padahal, untuk menjadi politik yang sehat, rakyat banyak harus dilibatkan dalam proses amandemen yang rasional dan sehat. Sehingga proses amandemen tidak lagi diputuskan secara privat hanya oleh DPR. Dengan kata lain, amandemen bukan hanya keputusan sepihak, ia membutuhkan legitimasi rakyat banyak.
Pembangunan ekonomi juga tidak banyak menyerap tenaga kerja [pengangguran], mengurangi kemiskinan, mengurangi kesenjangan sosial yang tinggi dan tidak menyejahterakan banyak orang. Sebab, kenyataannya, semua butuh kesejahteraan tetapi tidak semua mempunyai kemampuan untuk mencapainya.

Apa akar masalahnya? Ternyata jawabannya adalah amandemen UUD-45 membawa gagasan politik dan ekonomi neo-liberalisme yang tidak sesuai dengan watak asli bangsa ini. Politik-ekonomi neo-liberal membawa sikap individualisme yang lebih memihak elit kaya sambil melemahkan fungsi dan kapasitas negara.

Di sini kita berhadapan dengan kondisi-kondisi epistemologis, yaitu proses pembentukan sebuah bangsa. Pertama, pembentukan sebuah bangsa mengandung momen identifikasi yang melahirkan dominasi. Proses epistemis ini adalah mengenali diri sambil mendefinisikannya bahwa bangsa ini dilahirkan demi dan atas nama anti penjajahan [old-liberalism]. Kita merdeka sebab kita tidak ingin dijajah bangsa lain sehingga bisa menjadi tuan di negeri sendiri. Kedua, pembentukan sebuah bangsa mengandung rasionalisasi atas cita-cita lanjutan yang kemudian terumuskan dalam pembukaan UUD-45; (1) melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia; (2) memajukan kesejahteraaan umum; (3) mencerdaskan kehidupan bangsa; dan (4) ikut menciptakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Sebuah cita-cita mulia yang menghasilkan konsensus bahwa apapun amandemen yang kita lakukan, kita tidak akan mengubahnya.

Selanjutnya kita berhadapan dengan kondisi antropologis. Yaitu sebuah sikap cinta tanah air sebagi sesuatu yang bernilai. Karena itu, menemukan bagaimana sebuah sistem nilai memotivasi manusia untuk melakukan cinta terhadap bangsanya adalah langkah penting untuk menemukan pemenuhan cita-cita bangsanya di masa depan. Hasilnya, kita merindukan akan kepastian tentang kehidupan yang aman dan sentosa. Karena itu kita bersemboyan bhineka tunggal ika dan menjauhi fanatisme, radikalisme, atau ekstremisme.

Yang terakhir, kita berhadapan dengan kondisi sosiologis. Kita tahu, pertumbuhan dan konsentrasi modal di dalam masyarakat modern menimbulkan luapan populasi. Timbunan individu-individu dari berbagai kelompok di satu tempat akan mengaburkan struktur-struktur sosial dan politis masyarakat itu. Dalam timbunan populasi yang terkonsentrasi pada kegiatan akumulasi modal seperti itu, terjadi defisit partisipasi politis karena batas-batas publik dan privat diterjang oleh desakan kekuasaan modal. Timbunan populasi semacam itu menghasilkan individu yang depolitis, yaitu steril dari partisipasi demokratis.

Depolitisasi sebagai ekses konsentrasi kegiatan ekonomis ini dapat menimbulkan pengalaman isolasi dalam ego karena ego merasa tercerabut dari komunitasnya. Dalam ketercerabutannya, manusia mengembangkan neo tribalism. Yaitu lahirnya situasi from national society to tribal society atau pergerakan terbalik dari minal-syu'ub wal qaibal ilal umma, menjadi minnal-umma ilal syu'ub wal qabail, sebagaimana ditulis Daniel Bell (1978). Sebuah gerakan yang berayun dari nasionalisme ke arah sukuisme. Atau munculnya sikap dan perilaku loyalitas kenegaraan (seseorang) yang dibangun berdasarkan perasaan kesukuan (al-daulah al-badawah). Tuntutan kemerdekaan dan kekerasan antara suku adalah buktinya.

Ke depan hemat penulis, amandemen UUD-45 harus mengagungkan kembali kemajemukan dengan semboyan E Pluribus Unum, ’bersatu dalam perbedaan.’ Kita harus menghasilkan UUD yang mendesain etika solidaritas kekeluargaan sebagai sarana sekaligus hasil sebuah ranah publik yang sehat. Disebut sarana karena melaluinya ranah publik menjadi sungguh-sungguh publik, bukan sekadar ajang perjuangan kepentingan jangka pendek/diri/golongan/suku/ras. Dalam hal ini, ranah publik berfungsi mendesektarianisasi nilai-nilai privat. Di lain pihak, ranah publik yang sehat menghasilkan etika kekeluargaan yang kuat. Saat segala urusan dibicarakan secara fair dalam semangat kekeluargaan guna menjamin kesetaraan dan kebebasan, lambat laun sebuah bangunan etika kekeluargaan dan nasionalisme yang kokoh akan tegak. Mari kita tunggu bersama hasilnya.[]

BEYOND REFORMASI

M. Yudhie Haryono

Saatnya melakukan transformasi negara. Inilah sebenarnya pesan utama reformasi 1998. Negara transformatif, kata Stiglitz [2001], adalah negara yang dalam perspektif pembangunannya menjadi aktif dalam kebijakan ekonomi dan menguatkan sambil mempromosikan industri nasional, pembangunan teknologi, dan jaminan sosial yang tidak bisa dicapai melalui mekanisme pasar liberal. Negara transformatif juga melakukan nasionalisasi asset produksi strategis yang diperuntukkan bagi rakyat banyak, menjauhi praktek privatisasi sambil mengelola pasar liberal menjadi pasar sosial.

Mengapa negara harus melakukan transformasi menjadi pelaku aktif? Jawabannya karena di penghujung kekuasaan Orde Baru, ekonomi konglomerasilah yang dipilih pemerintah. Sebuah pilihan yang menghasilkan kebijakan BLBI sehingga menghasilkan efek lanjut berupa krisis ekonomi berkepanjangan. Saat yang bersamaan, kita dihempas oleh sapuan globalisasi. Sebuah energi pasar liberal yang mengandung satu lompatan kualitas perluasan kekuasaan ekonomi-politik seperti yang telah berlangsung berabad-abad. Sebuah perluasan yang didorong oleh persaingan antar fraksi di tengah kelas berkuasa untuk memperebutkan kekuasaan dan hak eksploitasi atas rakyat miskin.

Kita menyadari bahwa globalisasi hanyalah satu bentuk yang lebih dahsyat dari imperialisme kuno. Sebab, ia memberi dimensi penghisapan yang lebih kuat pada penghancuran lingkungan. Ia juga menghadirkan perang sebagai cara menciptakan "pasar baru." Karena itu, kita menjadi sulit memercayai kenyataan bahwa negara besar seperti AS, di abad ke-21 yang katanya beradab ini, tanpa alasan yang jelas menyerang dan menduduki negara Irak. Suatu hal yang tidak mungkin terjadi kecuali karena Irak kaya minyak, ladang SDA sekaligus pasar baru. Akibatnya, kekerasan dan peperangan serta kesenjangan antar-bangsa yang ditimbulkannya menjadi jauh lebih besar, lebih lebar.

Sejarah mencatat bahwa kekayaan yang diakumulasi di Eropa diambil dari SDA di Asia, Afrika, dan Amerika Latin. Karena itu, tanpa perusakan industri tekstil India yang kaya, tanpa pengambilalihan perdagangan rempah-rempah, tanpa pembunuhan besar-besaran terhadap suku asli Amerika, tanpa perbudakan terhadap orang-orang Afrika, revolusi industri tidak akan mendatangkan kekayaan bagi Eropa maupun Amerika Serikat [Manurung, 2002].

Tentu saja, peristiwa tersebut merupakan pengambilalihan SDA dan pasar lokal secara paksa di negara-negara Selatan sehingga membuat kaya negara-negara Utara. Suatu proses berkelanjutan yang menciptakan kemiskinan di negara-negara Selatan. Sejarah negara-negara Utara yang kaya atau saat ini disebut sebagai negara maju adalah sejarah imperialisme yang mempromosikan demokrasi. Dengan demokrasi yang kuat sehingga menghasilkan negara kuat [strong state] mereka melakukan penetrasi ekonomi-politik terhadap negara lain. Karena itu, hipotesa bahwa peran negara menjadi sangat penting untuk mencapai kekayaan dan kesejahteraan seperti yang dicapainya sekarang, terbukti di lapangan [DeSoto, 2003].

Negara Inggris misalnya, pada abad ke-16, menerapkan proteksi terhadap industri wool-nya sehingga mereka menjadi negara produsen wool terbesar di jamannya. Kebijakan proteksionistis itu berlangsung sampai abad ke-19 ketika Inggris mulai meliberalisasi pasarnya. Pada saat itu, Inggris telah menjadi negara industri yang dominan. Amerika Serikat pun menunjukkan sejarah yang sama. Bahkan sebagian alasan terjadinya Civil War adalah perihal perselisihan tentang tarif antara negara-negara bagian di utara dan selatan. Barulah ketika Amerika Serikat telah menjadi kekuatan dunia yang dominan pasca Perang Dunia II, ia melangkah memasuki rejim pasar liberal.

Karena itu, negara-negara Selatan menjadi miskin bukan karena mereka malas, birokrasi yang inefesien atau pemerintah mereka korup. Mereka miskin karena kekayaan mereka diambilalih, kemampuan mereka untuk menciptakan kekayaan dimusnahkan serta pasar sosial mereka dirusak dengan pasar liberal.

Reformasi adalah Transformasi Negara
Negara Indonesia adalah ‘konsepsi politik’ tentang sebuah entitas yang tumbuh berdasarkan kesadaran politik untuk merdeka dengan meletakkan individu ke dalam kerangka kerakyatan. Dalam kerangka ini, setiap rakyat dipertautkan dalam suatu komunitas politik yang berkedudukan sederajat di depan hukum, dengan operasi atas prinsip kekariban dan keadilan serta dalam naungan filosofi kekeluargaan. Sedang reformasi adalah usaha nalar sadar waktu sekaligus wahyu untuk selalu memperbaiki pembangunan di masa lalu yang salah sambil meneruskan yang benar.

Sayangnya, pasca sembilan tahun reformasi kita jalankan, yang hadir di tengah rakyat justru non government individual. Sebuah keadaan absennya negara sehingga melahirkan semangat warga biasa yang mengambil alih langkah-langkah negara dalam melakukan gerakan kemanusiaan, pembangunan bahkan ketertiban [BBC, 4/6/06].

Karena alasan itulah, debat tentang peranan negara dalam pasar liberal, menjadi penting dilakukan. Apalagi, ketika pemerintah kita kini dipimpin oleh presiden dan wakil presiden yang dipilih langsung oleh rakyat. Dengan kondisi yang seperti itu, mereka memiliki legitimasi yang jauh lebih kuat untuk mengambil langkah strategis sekaligus tanggung jawab menyangkut keberhasilan dan kegagalan negara dan pemerintahannya. Mereka diharapkan mampu menjabarkan secara konkret konstitusi ke dalam tindakan-tindakan yang berpihak kepada rakyat (affirmative actions policy).

Sungguh sayang jika demokrasi dan reformasi yang telah susah payah kita perjuangkan hanya diisi oleh program koalisi konglomerat politik dan konglomerat ekonomi. Konglomerat politik adalah mereka yang merasa punya kekuasaan penuh karena dipilih langsung oleh rakyat sehingga anti kritik dan banyak tebar pesona. Konglomerat ekonomi [kita] adalah pelaku ekonomi yang hanya mengandalkan proyek dari pemerintah dengan cara KKN, bukan karena capaian-capaian bisnis yang panjang dan kuat.

Singkatnya, untuk menjadi konglomerat politik, ia harus pandai merangkul konglomerat ekonomi sehingga melahirkan kebijakan pro-konglomerat, bukan pro-rakyat. Lahirlah politik kapitalis dan kapitalis politik. Sebuah adonan dan efek samping dari demokrasi liberal yang berbiaya tinggi sehingga harus kita jauhi.

Di sinilah logika transformasi negara dan para pelakunya menemukan argumentasinya. Sebuah perilaku transformatif yang membangun semangat konsensus ekonomi-politik dan bukan pada kontrak ekonomi-politik. Semangat konsensus ekonomi-politik mengangankan diembannya secara bersama hal-hal terburuk yang menimpa negara ini apabila sampai terjadi sesuatu yang di luar kehendak bersama. Suatu semangat yang antisipatif dengan mengambil nilai terendah dari tindakan. Artinya, kesuksesan memang tujuan, tetapi ketidaksuksesan juga harus ditanggung bersama [ringan sama dijinjing, berat sama dipikul].

Transformasi negara dengan demikian memberi pesan jelas pada kita; kuatkan negaramu, baru panggil pasar [liberal] semaumu. Kuatkan kapasitas pemerintahanmu, baru kita masuk arena global dengan menegakkan dada. Inilah pesan reformasi yang masih dapat kita perjuangkan.[]

Monday, May 14, 2007

Joint

Pada akhirnya satu bayi lagi lahir detik ini.. 'alo cemuanya'