Friday, December 28, 2007

Kutukan Sumber Daya Alam

Oleh M. Yudhie Haryono

Direktur Nusantara Centre

Dalam berbagai artikel, buku, wawancara maupun ceramahnya, mantan bandit ekonomi [economic hit-man], John Perkins mengatakan bahwa multinational corporation (MNC) melalui IMF dan Bank Dunia selalu membungkus tindakannya dengan kalimat-kalimat yang mulia.

Kalimat itu menjadi mantera yang ampuh seperti, memajukan peradaban, menyebarkan demokrasi, merangsang pertumbuhan ekonomi, menerangi jalan kemajuan-tetapi tidak diragukan lagi mereka adalah penjajah yang berniat menjarah. Mereka layak disebut diktator finansial [John Perkins, 2007:85].

Hipotesis ini kemudian mendapatkan pembenarannya oleh telaah akademik Stiglitz [pemenang Nobel ekonomi] yang menulis bahwa "agar program-program IMF berjalan dan angka-angka bertambah terus, perkiraan ekonomi harus disesuaikan.

Banyak orang yang menggunakan angka-angka ini tidak menyadari perbedaannya dari perkiraan biasa. Dalam contoh-contoh ini, perkiraan GDP tidak dibuat berdasarkan model statistik yang canggih. Bahkan bukan merupakan estimasi terbaik dari orang yang memahami ekonomi. Akan tetapi sekadar angka-angka hasil negosiasi sebagai bagian dari program IMF [Stiglitz, 2003:232].

Jika dua tesis di atas digunakan sebagai analisis keadaan ekonomi-politik kita, dapat dimengerti bahwa sampai hari ini negara Indonesia belum beranjak menuju zona aman ekonomi, sebaliknya menuju a nation in collapse.

Hal ini karena paradigma pembangunan ekonomi kita belum beranjak dari paradigma pertumbuhan. Juga berbagai tindakan yang belum sepenuhnya sadar akan "intervensi asing" dalam pengelolaan SDA.

Sebagai bukti, dalam pidato presiden Agustus 2007, asumsi pemasukan APBN kita hanya berasal dari pajak, privatisasi BUMN, SUN dan migas.

Padahal, kita dapat memasukkan sektor pertambangan sebagai sumber utama APBN. Sebab, jika dilihat angka-angka yang harusnya dapat diperoleh dari pertambangan cukup mencengangkan. Dalam riset yang dilakukan oleh Drajat Wibowo terhadap PT Freeport kita hanya mendapat Rp14 triliun atau menyumbang APBN 2007 sebesar 0,09%.

Hal ini karena kontrak karya yang salah dan kepemilikan pertambangan oleh perusahaan MNC. Padahal, kita seharusnya bisa mendapatkan pemasukan sebesar Rp20,7 triliun. Itu pun baru dari satu kontrak karya pertambangan.

Artinya, jika dilakukan secara menyeluruh terhadap proses renegosiasi kontrak karya sebagaimana diusulkan Stiglitz dan Perkins dengan melihat kebutuhan APBN negara-negara miskin maka akan terlihat bahwa sektor pertambangan adalah primadona yang seharusnya kita nikmati bersama.

Dengan melihat kontrak karya yang tidak adil maka kita sadar bahwa sudah lama negeri ini kehilangan kapasitas-kapasitas domestiknya akibat hubungan yang mendalam dan berkelanjutan dengan MNC dan dengan rezim kapitalis global [USA].

Secara empiris, hanya sedikit cerita sukses dari sebuah pemerintahan yang mendasarkan diri pada utang dan resep-resep IMF. Kebanyakan justru masuk dalam debt trap berkepanjangan dan kemudian memengaruhi berbagai program pembangunan yang pilihannya adalah meninggalkan rakyat sebagai pemilik sah SDA dan negaranya.

Dalam sejarahnya, kita memang selalu ada dalam konteks pertumbuhan kapitalisme dan sejarah penjajahan. Dalam perjuangan merebut ataupun mempertahankan kemerdekaan itu pula kita tetap dalam ruang sejarah kapitalisme yang menjajah.

Karena itu, tidak ada jalan lain kecuali menempatkan kapitalisme sebagai sebuah imperatif sejarah (historical imperrative) di samping juga menyadari keberadaannya dalam interdependensi global yang ditandai oleh "integrasi dan resistensi relatif."

Artinya, melakukan integrasi secara penuh akan dengan mudah menjebak negara ke dalam lingkar dependensi global yang lebih mendalam sementara melakukan perlawanan terhadap kapitalisme dunia hanya akan melahirkan nasionalisme yang terlampau eksotik. Karena itu pilihannya adalah interdependen.

Posisi interdependen diandaikan sebagai konstelasi yang netral, tetapi sebenarnya ada operasi-operasi tersembunyi yang berlangsung di balik globalisasi. Sejumlah intelektual menyebut globalisasi sebagai mitos karena dalam globalisasi timbul adanya "kekuasaan yang beroperasi dalam keriangan."

Kita seolah-olah merayakan keragaman, padahal yang berlangsung sebenarnya keseragaman. Kita seakan-akan hidup dalam pertumbuhan tetapi yang terjadi adalah ketidakadilan ekonomi. Kita seakan-akan berhasil menumpas para diktator politik tetapi yang terjadi adalah menciptakan diktator ekonomi [baru] yang lebih bengis.

Lebih pro rakyat

Semakin jelas, bahwa meskipun ada agenda-agenda politik yang didesain oleh kekuatan pasar global, ia hanya sebatas pada logika-logika akumulasi kapital ketimbang akumulasi demokrasi.

Karena itu, urusan bagaimana kapitalisme dan rezim pasar global membawa berkah atau bencana, akan banyak ditentukan oleh upaya-upaya kreatif dan progresif dari setiap negara untuk lari dari posisi sebagai negara yang serba diatur (regulatory state) oleh rezim pasar global.

Dari argumen di atas, pelajarannya adalah jika negara gagal melakukan intermediasi dan gagal menjadi avatar yang organik antara pasar dan rakyat banyak maka kita akan bergantung pada struktur modal internasional sehingga menyeret bangsa kita pada posisi sebagai aparat pasar (market apparatus).

Dus, selama agenda-agenda besar negara lebih banyak mengakomodasi ruang pasar dan menihilkan hak rakyat, negara tersebut akan jatuh pada hamba kapitalisme yang berkepanjangan.

Sebagai market apparatus, regulasi yang dibuat negara akan senantiasa memberi pelayanan pada rezim pasar global. Terlebih, sampai kapan pun, kekuatan modal internasional tidak pernah bisa diharapkan membasmi kebocoran anggaran, korupsi dan juga mendesak dihukumnya pejabat publik yang KKN.

Tidak ada pilihan lain kecuali bahwa kita harus mendesain ekonomi nasional di zaman demokrasi ini harus lebih mengikuti kaidah-kaidah pro-rakyat yang menitikberatkan pada pemerataan dan kesejahteraan guna menghasilkan keadilan.

Ekonomi nasional harus mewujudkan good governance yang prinsip-prinsipnya adalah aksesibilitas, transparansi dan akuntabilitas dalam semua aspek, termasuk [renegosiasi] kontrak karya.

Di atas segalanya, kita harus memahami arti globalisasi dan liberalisasi ekonomi yang tidak mungkin dielakkan lagi oleh Indonesia. Artinya, kita akan mengundang modal asing untuk datang ke Indonesia sebanyak-banyaknya, akan tetapi dengan syarat-syarat yang menjamin keuntungan bagi kedua belah pihak.

Kekayaan alam sebagai karunia Tuhan harus dipelihara dan dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran dan kepentingan rakyat.

Perusahaan dan modal asing dipersilahkan untuk beroperasi di seluruh nusantara, tetapi, sekali lagi, atas dasar saling menguntungkan dan berlandaskan asas kepantasan dan keadilan. Jika hal ini dapat segera kita lakukan, kutukan SDA bisa berubah menjadi berkah SDA.

LANSKAP BARU PERANGI KEMISKINAN

LANSKAP BARU PERANGI KEMISKINAN

BPS melaporkan bahwa dewasa ini jumlah rakyat miskin sekitar 37.2 juta jiwa. Tetapi akan segera berlipat jika terjadi kenaikan harga konsumsi karena naiknya harga minyak. Diperkirakan kenaikannya dari 16.6 menjadi 29 persen. Lebih gila lagi, angka kemiskinan kita jika dihitung berdasarkan pendapatan 2 dollar per hari maka akan didapati angka 42.6 persen atau sekitar 100.7juta jiwa. Tentu saja ini merupakan angka yang sangat menggelisahkan. Angka yang bila dibiarkan akan menghasilkan “gejala jenuh pada status quo.” Gejala ini lahir karena aparatus pemerintah tidak memiliki program yang kongkrit dan inovatif dalam menghabisi kemiskinan sebagai pesan dasar UUD45; memajukan kesejahteraan umum guna menciptakan keadilan dan kemoderenan.

Agar gejala ini tidak menimbulkan anarkhi, kita perlu lanskap baru yang sama sekali berbeda dari program sebelumnya. Lanskap baru tersebut adalah; Pertama, melakukan penajaman tata peran dan tata kelola pelaku ekonomi [BUMN-Koperasi-Swasta] dengan pola partnership [kerjasama berkelanjutan] untuk menanggulangi rakyat miskin dan pengangguran. BUMN-Koperasi-Swasta harus menempatkan program penanggulangan kemiskinan sebagai program utama dan unggulan.

Kedua, pemetaan dunia usaha agar kita memiliki pengetahuan di mana basis keunggulan komparatif dan di mana kita memiliki keunggulan kompetitif. Dalam hal ini pemerintah harus membentuk pusat data dan trading house yang berfungsi secara strategis menyuplai data bagi pegiat ekonomi [lokal, nasional maupun internasional]. Bagi pemerintah, pembentukan lembaga ini bukanlah hal yang sulit. Pemerintah bisa menugaskan perusahaan-perusahaan negara yang sudah mapan [Pertamina, Telkom] agar berfungsi sebagai pelopor (avant garde) pusat data tersebut. Sedang untuk usaha kecil dan menengah [UKM] pemerintah bisa menunjuk Bulog. Sebagai BUMN, Bulog adalah institusi yang paling tepat dan cepat untuk melaksanakan atau menjadi pusat data dan trading house tersebut.

Ketiga, menetapkan kebijakan redistribusi asset kepemilikan rakyat terhadap usaha hajat hidup rakyat miskin. Tanpa redistribusi asset dan pengelolaan dari, oleh dan untuk rakyat miskin, kemiskinan akan sulit ditumpas. Terlebih kita memiliki tradisi aparatus pemerintah yang koruptif.

Keempat, penetapan kebijakan fiskal yang mengkondusifkan iklim usaha. Dalam hal ini pajak dan pelayanan harus cepat dan efesien. Perlu adanya reformasi pelayanan usaha agar memudahkan pelaku ekonomi menemukan kondisi yang menyenangkan ketika membayar pajak maupun mendapat penyaluran kredit. Kita harus jeli bahwa menuntaskan kemiskinan diperlukan strategi besar yang harus dimiliki oleh aparatus birokrasi. Terlebih kita adalah salah satu negara yang terlibat dalam upaya pengentasan kemiskinan melalui Millenium Development Goal's (MDG's). Dengan MDG's ini strategi operasional untuk membangkitkan dan mengembangkan ekonomi kerakyatan guna menuntaskan kemiskinan menjadi keniscayaan. Intinya, reformasi birokrasi yang melayani adalah keniscayaan.

Kelima, penyediaan bantuan yang mempercepat perkembangan usaha. Dalam hal penyediaan kemudahan bantuan/kredit, pemerintah dapat menugaskan bank (misalnya, BRI) sebagai lembaga yang bisa menjamin seluruh usaha [terutama UKM] untuk mengatasi masalah kemiskinan. Bagaimanapun BRI merupakan lembaga keuangan yang tepat, di samping secara manajemen cukup baik. Tingkat jangkauan BRI cukup luas sampai di tingkat kecamatan dan desa. Melalui permodalan yang dilakukan oleh BRI dan memanfaatkan jaringan koperasi simpan pinjam di pedesaan diharapkan penyaluran kredit kepada masyarakat akan lebih efisien dan dana masyarakat pedesaan akan berputar di sekitar pedesan pula.

Keenam, dorongan dan perlindungan bagi segala usaha. Strategi pengentasan kemiskinan belumlah cukup tanpa didukung oleh sejumlah gerakan nasional yang harus dilakukan secara bersamaan. Misalnya gerakan mendorong masyarakat untuk menciptakan lapangan pekerjaan dan bukan mencari kerja. Kemudian gerakan efisiensi nasional atau gerakan pola hidup sederhana. Melalui gerakan ini diharapkan masyarakat tidak menjadi konsumtif, tetapi sebaliknya masyarakat lebih produktif. Dengan produktifitas yang tinggi kita akan memiliki daya tahan yang kuat terhadap krisis. Sebab, selama ini ternyata sektor-sektor informal maupun sektor formal berskala kecillah yang paling siap menghadapi krisis ekonomi. Meningkatnya sektor informal semenjak krisis memberi indikasi kuat bahwa dari sektor inilah masyarakat mencoba bertahan terhadap krisis. Karena itu pemerintah perlu memfasilitasi berkembangnya sektor-sektor ini sebagai unit penyangga ekonomi masyarakat. Bukan sebaliknya, pemerintah tidak begitu ramah terutama terhadap sektor-sektor informal.

Ketujuh, gerakan proteksi produk dalam negeri dan gerakan loyalitas konsumen dalam negeri untuk produksi dalam negeri dengan menganeka-ragamkan pilihan pangannya. Jika gerakan ini dilakukan dengan baik, maka sebenarnya sudah tersedia pasar yang cukup besar bagi seluruh hasil produksi. Misalnya hasil produksi pertanian, perkebunan dan nelayan. Sekitar 250 juta penduduk Indonesia merupakan potensi pasar yang bisa digali dalam upaya membangkitkan daya saing ekonomi rakyat. Data BPS 2007 memperlihatkan bahwa Indonesia adalah negara agraris pengimpor terbesar produk pertanian. Tentu saja upaya meningkatkan daya saing produksi dalam negeri bukanlah sesuatu yang mudah. Kuncinya terletak pada komitmen pemerintah dan kita semua untuk membangkitkan rasa percaya diri dan rasa memiliki sebagai bekal menghadapi daya saing yang lebih tinggi [globalisasi].

Kedelapan, pengendalian modal asing serta produk impor. Ini adalah turunan dari akibat globalisasi. Dinamika perekonomian yang terbuka pada perdagangan global saat ini pada titik tertentu menghancurkan ekonomi dalam negeri. Membanjirnya produk dari negara tetangga baik yang legal maupun yang ilegal telah mematikan potensi ekonomi lokal yang tengah berkembang. Banyak pabrik ditutup karena tak lagi mampu bersaing dengan dinamika perekonomian global. Para kapitalis global telah mematikan perekonomian lokal karena mereka punya segalanya; modal besar, jaringan kuat, lobi yang kuat dan SDM yang mumpuni. Karena itu, Indonesia oleh sejumlah ekonom, dinilai telah menjadi pasar yang paling liberal. Tentu saja pasar yang hanya diisi oleh kapitalis-kapitalis tingkat dunia. Pengendalian modal asing dan pengecilan volume barang-barang impor menjadi kunci bagi berkembangnya ekonomi dan produk lokal.
Pengendalian modal asing dan pengecilan volume barang-barang impor menjadi kunci bagi berkembangnya ekonomi dan produk lokal. Inilah delapan lanskap ekonomi baru yang harus segera kita lakukan. Syaratnya, strategi ini harus menjadi strategi kita semua, pemerintah dan masyarakat. Inilah yang akan menjadikan bangsa Indonesia mampu membuat blue print tentang enam hal penting bagi rakyatnya sesuai dengan pesan dasar UUD-45; mentradisikan kesehatan, menyehatkan pendidikan, menyelenggarakan kebebasan, menjalankan keadilan, mengundangkan persamaan dan menjaga kesejahteraan. Saatnya kita semua menajamkan paradigma kemerdekaan politik [welfare state] ke arah kemerdekaan ekonomi [welfare society] agar stabilitas ekonomi dan kemakmuran rakyat segera tercapai.

Di atas segalanya, visi-misi kita dalam bernegara haruslah merujuk pada keadilan dan kesejahteraan. Tetapi, harus diingat bahwa kekuatan rakyat akan mubazir tanpa kekuasaan. Kekuasaan penguasa tak dapat diwujudkan kecuali dengan penegakkan hukum. Penegakkan hukum bertujuan untuk menegakkan keadilan dan menyebarkan kesejahteraan. Penyebaran keadilan dan kesejahteraan hanya dapat dilalui dengan pembangunan. Pembangunan untuk menyejahterakan rakyat hanyalah tugas, bukan tujuan. Sebab tujuan utamanya adalah mencari ridha dan menjalankan nilai-nilai luhur yang berujung pada Tuhan, penguasa alam semesta.[]

LANSKAP POLITIK-EKONOMI KAUM MUDA MEMIMPIN

LANSKAP POLITIK-EKONOMI KAUM MUDA MEMIMPIN


Ikrar telah dibacakan, kreta telah dilecut, subyek telah dikampanyekan, lanskap politik-ekonomi telah disemai. Kini, kaum muda sedang menangkap respon, kritik dan sintesa yang sedang datang berjalan mendatanginya.
Jika di tahun 2003 menuju pemilu 2004 kaum muda mengkampanyekan ”jangan pilih politisi busuk” maka 2008 menuju 2009 kaum muda sangat serius mengkampanyekan gagasan saatnya kaum muda memimpin. Tentu saja gagasan ini berpijak pada visi penyelamatan bangsa, misi kesejahteraan rakyat dengan paradigma keadilan dan kesejahteraan. Politik keadilan dan ekonomi kesejahteraan adalah kata kunci memahami ideologi kaum muda memimpin.

Secara politik, kaum muda beriman pada demokrasi. Dan, mereka percaya bahwa demokrasi hari ini sudah pada relnya. Yang jadi tuntutan kaum muda hanya pada pendalaman dan konsolidasi kaum pro-demokrasi untuk bergerak lebih tajam dari prosedur menjadi subtansi. Jika demokrasi prosedur hanya berpijak pada angka-angka dan undang-undang yang membatasi gerak langkah kaum demokrat dalam menyelenggarakan pemerintahan sehingga melahirkan ”tirani mayoritas” maka subtansi demokrasi berjalan dalam logika sebaliknya.

Para demokrat sepakat bahwa demokrasi subtansi adalah demokrasi yang meletakkannya sebagai jalan dan nilai bagi tumbuhnya kebersamaan dan kegotongroyongan untuk sampai pada ”cita-cita” besar bangsa kita, yaitu masyarakat yang adil dan sejahtera. Dengan memahami demokrasi sebagai alat dan nilai, kaum muda menuntut praktek demokrasi tidak hanya dimiliki oleh partai politik dan sekumpulan mereka yang berduit. Praktek demokrasi subtansial adalah ”perlindungan” menyeluruh bagi semua anak bangsa dalam berpolitik dan artikulasinya dalam berbangsa, berapapun miskin dan sedikit jumlahnya. Itulah mengapa kaum muda menyepakati gagasan tampilnya perseorangan sebagai calon independen bagi pemimpin, baik bupati, gubernur maupun presiden.

Dengan visi yang clear ini, kaum muda ingin menegaskan bahwa mereka tidak anti demokrasi, anti partai, apalagi anti negara. Yang dilakukan hanyalah kampanye kesadaran bahwa ”pemerintah” adalah buah demokrasi yang punya tugas dan kewajiban besar melaksanakan konstitusi dan amanat rakyat dengan tugas utama melayani rakyat banyak, membebaskan mereka dari kemiskinan, pengangguran dan kekerasan.

Secara ekonomi, kaum muda beriman pada demokrasi ekonomi. Dalam hal ini kaum muda memilik ”paradigma berbeda” dengan elit negara. Mereka melihat bahwa elit pemerintah [eksekutif] dan elit parpol [legislatif] masih berparadigma lama, berperilaku lama. Para elit ini oleh kaum muda dianggap gagap dan gagal memaknai pesan dasar konstitusi. Sebab, partai politik dan eksekutif [presiden dan pemerintahan selanjutnya] ternyata hanya mengulangi paradigma yang sama, perilaku yang tidak berbeda dan jalan yang tidak berubah. Paradigma pro-pertumbuhan [konglomerasi], perilaku pasar bebas [market fundamentalism], jalan hutang piutang [besar pasak daripada tiang], sehingga tidak mengutamakan ekonomi kerakyatan yang pro kaum miskin.

Intinya, jika membaca pernyataan dan brosur serta tulisan yang beredar maka kaum muda menyepakati bahwa kepemimpinan nasional perlu disegarkan, dibarukan dan diganti. Tetapi tidak sekedar penyegaran orang dan subyek, melainkan juga gagasan dan visi. Dus, gagasan mereka sangat jelas, menghancurkan pemerintah yang menjadi kepanjangan tangan neolib dan merebut kepemimpinan yang akan menyelenggarakan empat hal penting; Pertama, perubahan paradigma pembangunan yang mengutamakan pemerataan, bukan pertumbuhan [politik undang-undang]. Kedua, nasionalisasi asset strategis dan SDA untuk kemakmuran rakyat [politik kesejahteraan]. Ketiga, hapus hutang lama dan tolak hutang baru [politik kemandirian]. Keempat, proteksi dan penggunaan produksi dalam negeri [politik kemodernan].

Inilah lanskap politik ekonomi kaum muda yang didesain bagi peraihan prestasi kesejahteraan rakat agar lekas datang. Dalam hal ini, kaum muda berusaha merumuskan ulang lanskap ekonomi politik baru yang lebih riil dan tegas dengan tujuan dan cara mencapainya secara brilian demi rakyat miskin, bukan untuk orang per orang apalagi sekelompok orang. Politik-ekonomi kaum muda dengan demikian adalah politik-ekonomi kaum miskin yang dimerdekakan, dimandirikan dan dimodernkan.
Gagasan politik ekonomi kaum miskin yang berbasis pedesaan dan nelayan menjadi penting karena sektor pertanian dan nelayan adalah sumber kemiskinan. Kita tahu, jumlah rakyat miskin berada paling banyak di pedesaan. Sensus BPS 2006, jumlah warga miskin di pedesaan sebesar 27.8 juta jiwa dan sebagian besar bekerja di sektor pertanian/perkebunan/perikanan/buruh.

Dus, kita harus fokus dan berparadigma yang menempatkan rakyat miskin [buruh, petani, nelayan, pekebun] sebagai sasaran utama kebijakan pembangunan eko-politik. Dengan fokusnya arah pembangunan politik-ekonomi tersebut, rakyat miskin akan dapat ikut secara maksimal dalam pembangunan politik-ekonominya.
Memang, pemerintah telah menetapkan revitalisasi pertanian sebagai bagian dari triple track strategy. Sayang, konsepnya tidak jelas dan implementasinya tidak intensif-efektif karena minimnya koordinasi antar lintas sektor yang sampai ke daerah. Saat bersamaan, pemerintah juga tidak menghasilkan pola tata niaga perekonomian sehingga kurang memberikan peran yang maksimal pada Koperasi dan BUMN.
Data BPS menunjukan bahwa pertumbuhan sektor pertanian menurun dari 4.1%/2004 menjadi 3.0%/2006. Pangsa PDB pertanian menurun dari 15.5%/2004 menjadi 13.0%/2006. Selanjutnya, produksi beras makin menurun. Tahun 2007 produksi gabah kering direncanakan hanya 53.1 juta ton atau turun 1.2 juta ton dibanding tahun 2006. Hal ini terbuktikan bahwa kinerja pertumbuhan pertanian kuartal I/2007 tercatat negatif sehingga menjadi bukti bahwa program revitalisasi pertanian tidak maksimal. Akibatnya, daya beli masyarakat miskin petani di pedesaan menjadi sangat rendah.
Sementara itu harga kebutuhan pokok semakin meningkat. Hal ini disebabkan karena terjadinya ketidakseimbangan antara produksi dan permintaan yang mengakibatkan adanya kegagalan pasar [market failure]. Bukti kegagalan pasar adalah terjadinya kenaikan harga beras dan minyak goreng yang tidak dapat diselesaikan oleh pemerintah secara tepat dan cepat. Sebaliknya pemerintah menanggulanginya secara reaktif dengan menyalahkan harga komoditas dunia. Hal ini lagi-lagi membuktikan tidak adanya pola tata niaga yang implementatif.

Koperasi dan BUMN juga tidak berperan maksimal dalam persoalan naiknya harga kebutuhan pokok tersebut. Selebihnya, peranan Koperasi menjadi sangat kecil dan peran BUMN tidak maksimal dalam menangani cabang-cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak. Hal ini dapat dilihat dari penjualan Indosat, Kebun Kelapa Sawit yang sangat besar ke PT. Gutri Peconina Indonesia (GPI) dan penjualan tambak udang terbesar di dunia, Dipasena Citra Darmaja ke swasta dan perusahaan asing.
Dengan demikian, kebijakan yang tidak fokus tersebut belum menyentuh ketahanan politik-ekonomi apalagi kedaulatan ekonomi. Padahal kedaulatan ekonomi merupakan prasyarat bagi demokratisasi. Karena itu, Menko Ekuin Prof. Boediono [24/2/07] dalam pidato pengukuhan guru besarnya di UGM mengatakan, “tingkat kemajuan ekonomi merupakan faktor penentu bagi keberlanjutan demokrasi.” Karena itu, apalah artinya semua keberhasilan pemerintah sekarang jika tidak segera melengkapinya dengan mengatasi problem “stagnasi politik-ekonomi.”

Di sinilah logika saatnya kaum muda memimpin menemukan basis argumentasinya. Yang muda, waras dan cinta Indonesia adalah harapan rakyat banyak untuk memerdekakan kembali bangsa ini, memandirikan kaum miskin dan memodernkan pemerintahan. Semoga gagasan kaum muda jika ”masuk menggenapi” dan jika ”keluar menambah” bagi pencapaian cita-cita besar bangsa kita.[]

NERAKA KAUM MISKIN

Jika negeri Bangladesh menjadi sorga kaum miskin karena ada Bank Kaum Miskin dengan GramenBank dan Yunusnya maka Indonesia adalah neraka kaum miskin. Hal ini karena bank-bank kita tidak memiliki skenario dan pemihakan yang jelas bagi orang miskin. Pemerintah juga lebih pro-konglomerat daripada kaum miskin.

Pada prakteknya, hal ini dapat dilihat pada kwalitas pertumbuhan ekonomi yang baru bergerak di sektor finansial. Sebuah pertumbuhan ekonomi yang justru merefleksikan kelas tertentu dalam masyarakat sehingga memarginalisasi rakyat miskin yang tidak memiliki akses ekonomi. Akibatnya, belum ada kepastian bahwa perbaikan ekonomi makro-mikro akan berlangsung berkelanjutan dan aman.

Pada level normatif, kita juga mencatat perbuatan elit politik kita yang lebih mementingkan konglomerat dan ekonomi asing dengan menerbitkan bermacam undang-undang yang menguntungkan mereka. UUPMA No.25/07, UU No.6/68 tentang PMDN, UU No.1/87 tentang KADIN, UU No.7/92 tentang Perbankan, UU No.22/01 tentang Migas, UU No.20/02 tentang Swastanisasi Listrik, UU No.7/04 tentang Swastanisasi Air, adalah buktinya.

Orang miskin pada akhirnya menjadi paria di negeri merdeka. Orang miskin menjadi anak tiri bangsa ini. Kaum miskin bagai ”anak ayam yang mati di lumbung padi.” Padahal kemiskinan bukan takdir yang genetik. Ia hanya akibat dari pergumulan internal dan eksternal kemanusiaan. Ia adalah kondisi yang dapat dirubah dan dimusnahkan. Ia dapat dimusiumkan, kata Muhamad Yunus [2007]. Ia adalah tantangan sekaligus peluang yang dapat dilalui guna mencapai kesejahteraan dan keadilan agar mendapat kebahagiaan.

Kemiskinan sendiri adalah absennya seluruh hak asasi manusia, kata Muhamad Yunus dalam pidato penghargaan Nobel Ekonomi pada tahun 2006 yang lalu. Frustasi, permusuhan dan kemarahan yang disebabkan oleh kemiskinan akut tidak bisa memupuk perdamaian dalam masyarakat manapun. Untuk membangun perdamaian yang stabil kita harus mencari cara-cara menyediakan peluang bagi rakyat untuk bisa hidup layak. Dus, dunia tanpa kemiskinan adalah dunia di mana setiap orang bisa mengatasi kebutuhan dasarnya.

Dunia tanpa kaum miskin juga dapat dinamai dengan dunia yang merdeka karena berdaulat dalam politik, berdikari dalam ekonomi dan berkepribadian dalam budaya serta berpluralisme dalam beragama.

Masing-masing dari filosofi itu dapat diterjekamkan dengan; Pertama, memantapkan visi demokrasi sebagai alat menciptakan kesetimbangan tiga kekuasaan; eksekutif, legislatif dan yudikatif. Pembangunan politik dan demokratisasi menjadi prioritas dan acuan keberhasilan kita dalam bernegara. Artinya, pembangunan politik dilakukan secara bertahap dan melalui mekanisme konsensus agar kestabilan politik segera dapat tercapai. Konsensus-konsensus politik membuat demokrasi menjadi hulu sekaligus hilir bagi seluruh tahap pengjawantahan pemerintahan dari, oleh dan untuk rakyat.

Kedua, yaitu gagasan bahwa pemerataan yang menumbuhkan ekonomi merupakan jawaban atas kemiskinan dan pengangguran dan kemudian menjadi syarat mutlak bagi lahirnya stabilitas politik. Singkatnya, kemiskinan ekonomi adalah sumber terjadinya instabilitas politik yang dialami oleh banyak orang. Kemiskinan dijawab dengan pembangunan berkeadilan yang menempatkan orang miskin sebagai subyek utamanya sehingga menghasilkan visi negara kesejahteraan [welfare state] yang ditopang oleh pemerintahan yang kuat. Visi ini berangkat dari pertanyaan, apa makna merdeka jika masih menderita. Bukankah kemerdekaan adalah terpenuhinya kebutuhan dasar demi meningkatkan kemampuan diri agar mampu bersaing dengan belahan dunia lainnya. Sejahtera dengan demikian adalah manusia seutuhnya. Manusia ideal Indonesia, manusia yang mewarnai kemerdekaannya dengan kehidupan seterusnya dalam keadilan, kemakmuran dan kesentosaan.

Ketiga, visi budaya yang produktif non konsumeris. Dalam visi ini seluruh akal dan kebudayaan kita diorientasikan bagi uamt demi kemajuan yang menghasilkan kemartabatan. Budaya Indonesia dengan demikian dapat dimaknai sebagai kultur hibrida yang menyesintesakan semua kebudayaan-kebudayaan dunia dengan tetap ramah pada kebijakan lokal.

Keempat, visi agama pluralis yang menghargai dan melindungi semua kepercayaan kepada Tuhan karena kesadarannya bahwa agama bersifat profan sebab yang sakral hanya Tuhan, inti dari semua kepercayaan. Pada visi ini dikembangkan sikap toleran dan kerjasama pada siapa saja tanpa memandang agama, bahkan pada yang tidak berama sekalipun. Dengan landasan sejarah par Nabi yang menyuruh manusia mempercayai Tuhan bukan agama maka visi ini direntang sebagai agama pembebasan yang bertugas membebaskan manusia dari kekufuran karena kemiskinan yng menimpa mereka. Agamanya dengan demikian adalah agama kesejahteraan [welfare religion] yang menjadi motif bagi lahirnya masyarakat sejahtera [welfare society].

Dengan empat penjelasan tersebut maka demokrasi politik kita adalah juga demokrasi ekonomi, budaya dan agama yang kesemua tujuannya adalah kemakmuran rakyat secara keseluruhan, di mana rakyat mempunyai hak untuk memiliki peluang politik, ekonomi, budaya dan agama yang sama dan terlibat langsung dalam proses produksi maupun dalam menikmati serta memiliki hasil-hasilnya.

Dalam demokrasi yang berkeadilan ini semua bergerak dan bekerja dalam tujuan yang sama yaitu memaknai kemerdekaan dan hak asasi hidupnya untuk menyingkap kerja abadi yang misterius. Sebuah demokrasi yang membedakannya dengan tafsir Thomas Jefferson [1776] ketika mengatakan bahwa demokrasi hanyalah aturan kerumunan agar menjadi barisan sehingga yang 51% suara dapat memerintah 49% suara lainnya.

Kita harus selalu ingat dan tak boleh lupa bahwa para pendiri republik ini telah meletakan dasar-dasar yang jelas dalam cita-citanya tentang negara kita di masa depan. Dilihat dari faktor sejarah, bahwa para pendiri negara ini merumuskan dasar-dasar negara dilatarbelakangi oleh situasi adanya kesenjangan yang dalam antara lapisan atas yang lebih beruntung dengan sejumlah besar lapisan bawah yang kurang beruntung pada waktu itu. Tugas kita adalah menafsirkan kembali dan menterjemahkan rumusan dasar tersebut dalam bentuk aksi-aksi kekinian sesuai masalah-masalah yang dihadapi oleh bangsa ini. Dalam hal ini tentu kita tidak dapat menghindar diri dari tugas untuk memusatkan perhatian kita pada perbaikan nasib rakyat banyak yang kurang beruntung itu. Hal ini membawa konsekuensi, baik strategi maupun program pembangunan yang harus memusatkan dana dan daya pada perbaikan nasib rakyat yang berada dalam keadaan materiil maupun spirituil masih terbelakang.

Kemiskinan yang menimpa mereka sehingga terbelakang merupakan asal-muasal dari problem-problem lanjutan yang menimpa kemudian. Problem kesehatan yang tidak stabil, pendidikan yang rendah mutunya, pengetahuan yang minim adalah hilir atau lanjutan dari problem kemiskinan yang mereka rasakan. Dengan demikian, jika kita mampu menyelesaikan problem kemiskinan, akan sangat besar kemungkinan bagi kita mengurangi bahkan menghapus problem mereka selanjutnya.

Dus, menjadikan masyarakat Indonesia sebagai masyarakat kaya dan sejahtera dengan sikap yang merdeka, mandiri, serta moderen sehingga berwibawa tetapi bertumpu pada demokrasi merupakan sebuah tuntutan yang perlu segera dijawab oleh semua komponen bangsa.

Jika kesadaran ini belum menyentuh para aparatus pemerintah dan kita semua maka benar kata para Indonesianis yang sering mencap negeri kita sebagai negeri yang selalu ”kehilangan kesempatan.” Tentu saja kesempatan merubah dari neraka kaum miskin menjadi sorga bagi siapa saja.[]

KE MANA DEMOKRASI KITA?

http://www.seputar-indonesia.com/kamis/20/12/2007/p.7

KE MANA DEMOKRASI KITA?
M. Yudhie Haryono

Di dalam sejarah, di luar sorga, manusia kecewa (GM/07). Menurut Sancho Panza (1996) hal itu karena, manusia menentukan, Tuhan mengecewakan. Hipotesa inilah yang sekarang sedang berlangsung di tengah drama demokrasi [liberal] yang kita pilih. Sulastomo [14/12] menulis dengan satir dalam “Quo Vadis Demokrasi Kita.” Menurutnya, pilihan demokrasi [liberal] saat ini ternyata sangat padat modal, berbiaya tinggi dan “belum tentu menghasilkan yang terbaik.” Dengan merujuk pada biaya pemilu 2009 yang diperkirakan menelan Rp. 47 triliun, menunjukan dengan jelas bahwa demokrasi yang kita pilih adalah demokrasi yang mahal. Apalagi disertai absennya jaminan kualitas bagi pemenang dan penyelenggaraannya. Kasus korupsi KPU pada pemilu 2004 adalah bukti nyata yang tidak bisa diganggu gugat.

Untuk menajamkan hipotesa ini, Schumpeter [1976] pernah menulis bahwa, “yang paling mengerikan dari demokrasi [liberal] dalah terbentuknya pemerintahan yang terdiri dari orang-orang tidak layak memerintah.” Sebuah kumpulan elite dari hasil pemilu demokratis yang “gagal” menjalankan amanat konstitusi dan janji kampanye sehingga tumpul dalam menjalankan roda pemerintahan. Mengapa hal itu sampai terjadi? David Held [2006] menjawab, ‘karena pemerintahan yang lahir tidak menjalankan empat hal penting dari pesan demokrasi.’ Keempat hal itu adalah, pertama, pemerintahan baru tidak mengedepankan fakta melainkan bermain pada retorika dan tebar pesona. Kedua, aparatusnya tidak berorientasi jangka panjang, sebaliknya romantis pada kemenangan pemilu bukan pada “pembangunan pasca kemenangan.” Ketiga, pemerintahan baru lebih memihak kepentingan orang-perorang atau kelompoknya tanpa memihak kepentingan umum yang berisikan rakyat kebanyakan. Keempat, aparatusnya tidak memperbaharui dengan cepat filosofi pembangunan masa lalu yang telah terbukti gagal dan tidak menetapkan target-target yang berdimensi kesejahteraan rakyat banyak.

Jika melihat pada hipotesa di atas, kita sepertinya sedang menyaksikan “stagnasi demokrasi kita.” Demokrasi yang kita pilih bukan hanya menjadi status quo tetapi bahkan menghancurkan “capaian-capaian” masa lalu yang masih baik serta membuyarkan harapan-harapan akan kehidupan yang lebih manusiawi. Demokrasi yang kita pilih tidak pernah bertumpu pada teori manapun kecuali pada madzab “daulat kuasa” segelintir orang yang tak bercita-cita kerakyatan. Sebuah demokrasi yang rapuh di tingkat teoritik dan tak berdaya di lapangan Indonesia.

Memang, memilih demokrasi adalah memilih pada proses, nilai-nilai, alat sekaligus paradigma. Karena itu, jika ada istilah yang bercitra indah melampaui fakta aktualnya, itulah demokrasi. Kesadaran ini menghasilkan sikap kita untuk selalu terjaga. Sebab, yang menyangka ada jalan pintas dalam demokrasi akan temukan jalan buntu. Yang yakin ada tangan Tuhan dalam demokrasi akan temukan penyesalan seumur hidup. Yang beriman ada “kuasa alam raya” dalam demokrasi akan dongkol dan putus asa.

Karena itu, kata Ariel Heryanto [16/12], memang demokrasi merupakan pilihan bernegara yang terbaik dari yang ada, tetapi demokrasi tidak boleh dikeramatkan. Sebaliknya, ia harus selalu ditempatkan pada kaidah yang sesuai dengan nilai-nilai luhur kita. Sebuah nilai yang berangkat dari Pancasila dan pembukaan UUD45. Itu artinya seluruh prosedur dan tata cara dalam berdemokrasi kita harus merujuk pada dua nilai fundamental tersebut. Jika ingin menambahkan, kita dapat memberi tafsir berupa keinginan mempertahankan warisan masa lalu yang masih baik dan relevan sambil menambah dan memperbaharui dengan yang lebih baik di masa depan.

Dengan jujur harus diakui bahwa warisan Pancasila dan UUD45 adalah warisan yang sangat berharga. Keduanya digali dari lubuk hati yang sangat dalam oleh para pendiri republik. Kedunya menjadi saksi sejarah pikiran, perasaan dan angan-angan yang dicanangkan untuk membangun negara kita bersama. Sejarah keduanya adalah sejarah tentang perjalanan konstruksi ideologis yang enigmatis dan genap; antara yang empiris dan yang imajinatif. Kontruksi empirisnya berupa perjuangan kemerdekaan, perjuangan mencapai kesejahteraan, perjuangan menegakkan keadilan dan perjuangan menerima nilai-nilai modernitas. Singkatnya adalah perjuangan untuk merdeka, mandiri dan modern. Atau dalam bahasa Declaration of Independen USA, proklamasi bangsa Amerika [1776] menjadi life, liberty and the persuit of happiness. Karena itu, sejarah perjuangan kemerdekaan selalu merupakan hal-hal empirik sekaligus imajinatif berkenaan dengan kebutuhan dan harapan rakyat pada yang riil sekaligus yang abstrak.

Sedang konstruksi yang imajinatif adalah pengetahuan akan cita-cita bersama. Pada kita adalah bhineka tunggal ika atau gemah ripah loh jinawi. Imajinasi cita-cita besar ini melahirkan imajinasi-imajinasi turunan; melindungi rakyat dan tanah air, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, melaksanakan ketertiban dunia.

Dengan melihat dan merasakan hasil [sementara] demokrasi liberal yang telah kita pilih maka tak ada pilihan lain bagi kita kecuali untuk menyadari bahwa negara Indonesia adalah ‘konsepsi politik’ tentang sebuah entitas yang tumbuh berdasarkan kesadaran politik untuk merdeka dengan meletakkan individu ke dalam kerangka kerakyatan. Dalam kerangka ini, setiap rakyat dipertautkan dalam suatu komunitas politik yang berkedudukan sederajat di depan hukum, dengan operasi atas prinsip kekariban dan keadilan serta dalam naungan filosofi kekeluargaan. Sedang reformasi adalah usaha nalar sadar waktu sekaligus wahyu untuk selalu memperbaiki perbuatan di masa lalu yang salah sambil meneruskan yang benar serta menambah yang lebih baik.
Kesadaran tersebut akan menghadapkan kita dengan kondisi-kondisi epistemologis, yaitu proses pembentukan sebuah bangsa. Pertama, pembentukan sebuah bangsa mengandung momen identifikasi yang melahirkan dominasi. Proses epistemis ini adalah mengenali diri sambil mendefinisikannya bahwa bangsa ini dilahirkan demi dan atas nama anti penjajahan [old-liberalism]. Kita merdeka sebab kita tidak ingin dijajah bangsa lain sehingga bisa menjadi tuan di negeri sendiri. Kedua, pembentukan sebuah bangsa mengandung rasionalisasi atas cita-cita lanjutan yang kemudian terumuskan dalam pembukaan UUD-45 yang menjadi cita-cita mulia dan menghasilkan konsensus bahwa apapun amandemen yang kita lakukan, kita tidak akan mengubah pesan dasarnya.

Selanjutnya kita berhadapan dengan kondisi antropologis. Yaitu sebuah sikap cinta tanah air sebagai sesuatu yang bernilai. Karena itu, menemukan bagaimana sebuah sistem nilai memotivasi manusia untuk melakukan cinta terhadap bangsanya adalah langkah penting untuk menemukan pemenuhan cita-cita bangsanya di masa depan. Hasilnya, kita merindukan akan kepastian tentang kehidupan yang aman dan sentosa. Karena itu kita bersemboyan bhineka tunggal ika dan menjauhi fanatisme, radikalisme, atau ekstremisme.

Yang terakhir, kita berhadapan dengan kondisi sosiologis. Kita tahu, pertumbuhan dan konsentrasi modal di dalam masyarakat modern menimbulkan luapan populasi. Timbunan individu-individu dari berbagai kelompok di satu tempat akan mengaburkan struktur-struktur sosial dan politis masyarakat itu. Dalam timbunan populasi yang terkonsentrasi pada kegiatan akumulasi modal seperti itu, terjadi defisit partisipasi politis karena batas-batas publik dan privat diterjang oleh desakan kekuasaan modal. Timbunan populasi semacam itu menghasilkan individu yang depolitis, yaitu steril dari partisipasi demokratis. Karenanya diperlukan revitalisasi kondisi dan nalar epistemologis, antropologis, dan sosiologis agar menghasilkan manusia baru yang bervisi Indonesia Baru tetapi tetap bertumpu pada Pancasila dan UUD45.
Inilah road map [peta jalan] bagi demokrasi politik-ekonomi kita. Sebuah demokrasi yang berwatak “gotong royong” dan bersemangat “kekeluargaan” serta bernalar keindonesiaan karena nyantol dengan Pancasila dan UUD45. Sebuah demokrasi yang pada awalnya oleh para pendiri republik kita dulu dibuat badan semacam MPR yang berguna menjadi wadah bagi bertemunya para “negarawan” dari seluruh tanah air dalam rangka menjawab “problem” bangsa yang lebih besar di masa depan. Sebuah wadah untuk mengantisipasi luas dan lebarnya negara, banyaknya kaum miskin, serta antisipasi bagi munculnya “biaya tinggi” sehingga demokrasi mudah dibajak oleh para plutokrat yang kekuasaan dan kapitalnya maha luas plus anti rakyat.[]

HILANGNYA KEPERCAYAAN

Sartono Kartodirjo [1997:74] menulis bahwa, ”musuh yang paling ditakuti dan sangat keras pada Belanda saat penjajahan adalah mereka yang [justru] dididik oleh Belanda.” Ini yang membedakannya dengan hasil didikan USA yang sering menjadi ekonom-politisi hit-man. Jika lulusan Belanda masa perjuangan menghasilkan ”anak durhaka” karena perlawanannya pada orang tua angkatnya, sebaliknya lulusan USA lebih memilih bekerjasama bahkan berucap, Amerika adalah tanah air saya yang kedua.
Karena alasan tersebut, Steven Hiat, dalam A Game as Old Empire [2007:45] menyebut mereka yang bersedia menjadi ”mitra dan pekerja ekonomi-politik Amerika” sebagai manusia-manusia ”antek” yang oportunistik karena lebih suka mengabdi pada bangsa asing daripada bangsa sendiri. Hal ini karena Amerika selalu berbahasa ganda; teriak demokrasi tetapi menggunakan kudeta militer, teriak perdamaian tetapi melanggengkan perang dan mengggunakan ”instrumen-instrumen” internasional yang harusnya netral menjadi ”berpihak.”

John Perkins [2004:34] menyebut mereka sebagai kumpulan ilmuwan yang berideologi neolib dan bekerja menuntut peran negara/pemerintahan di negara-negara berkembang harus diminimalisir dan kekuasan pasar harus dimobilisir. Pasar harus jadi penentu yang kewenangannya melebihi rakyat dan negara/pemerintah. Para antek inilah subjek penting yang menjual bangsanya demi karir pribadi dan kelompoknya.

Tentu ini hipotesa yang layak direnungkan oleh kita semua. Terutama ketika bangsa ini belum menjadi bangsa yang mandiri dan modern. Sebab, walau sudah merdeka, kita masih sangat tergantung dan menggantungkan diri dengan ”tangan-tangan asing.” Dan, renungan ini akan lebih bermakna ketika kita sedih karena sedang terpuruk akibat 10 tahun krisis yang belum berujung. Di luar itu juga karena kebahagiaan sering membuat kita lupa, membuat kita terlena. Hasil renungan orang yang sedang ”kalah” biasanya akan jernih, menghasilkan sikap konsekwen dan membuat sikap untuk terus-menerus berbenah dan istiqamah.

Agar kita tak kehilangan kesempatan dan kepercayaan, alangkah bijak jika kita mulai dengan pertanyaan; apa arti kehadiran ilmu eko-politik dan kepada siapa para ekonom-politisi harus berpihak. Jawabannya tentu beragam, tetapi dalam konteks keindonesiaan ketika problem bangsa ini masih berputar pada 3 hal fundamental berupa kemiskinan, pengangguran dan kekerasan maka hadirnya ilmu eko-politik adalah untuk mengentaskan problem tersebut. Lalu, tentu saja para ekonom-politisi tersebut harus bahu-membahu bersama orang-orang miskin menyelesaikan problemnya. Sebab menyelesaikan problem mereka adalah menyelesaikan tugas besar dan menyelesaikan 50% problem bangsa. Itu artinya gagasan menghadirkan ilmu eko-politik dan menjelaskan fungsi ekonom-politisi yang berideologi nasionalis-kerakyatan menjadi salah satu cara jitu mengatasi ”stagnasi ekonomi-politik yang sedang kita hadapi.”
Amartya Sen [1999] menulis, menyembulnya gagasan ”bersama kaum miskin” adalah munculnya ”dekonstruksi” terhadap struktur ekonomi-politik lama yang cenderung despotik. Karena itu, ia tidak merujuk pada gelar kesarjanaan dan di mana mereka mendapatkannya, melainkan pada progresifitas gagasan sebagai subtansi pesannya. Tetapi, syarat ekonom-politisi ini haruslah menguasai masa lalu [sejarahnya] dan membuka seluasnya pada masa depan. Dengan begini, ia haruslah seorang ”pembelajar” yang progresif dan mengapresiasi pembaruan dalam program ekonomi-politiknya. Ia menerjemahkan kaidah ”mempertahankan [sejarah] masa lalu yang masih baik, menerima dan mencipta sesuatu yang baru yang lebih baik [sejarah baru]. George Orwell [1974] menyebutnya sebagai ”orang yang menyimpang dari arus utama” karena kemampuannya untuk tidak memperkaya diri dan ”setia” pada arus idealisme yang ditinggalkan banyak orang.

Secara psikologis, gagasan ekonom-politisi menyimpang (crank) memiliki dua dimensi pemaknaan; anti libidinal [tidak tertarik secara membabi buta pada lawan jenis] dan anti kapital [asketis, tidak tertarik secara membabi buta pada kekayaan material]. Ekonom-politisi ini dengan demikian lahir menjadi ”karnal” karena mencintai yang tak lazim; intelektual, spiritual dan kaum miskin.
Memang, krisis ekonomi-politik hasil terapan ekonom-politisi lama pastilah menghadirkan sebuah momentum perubahan. Tetapi ia tidak cukup agar menjadi ”perubahan yang diinginkan.” Karenanya, ia masih memerlukan ikon kepemimpinan: seorang pemimpin berkarakter yang punya kharisma, dengan pandangan dan kepedulian yang menyimpang dari kelaziman. “Just as every convictions begins as a whim,” ujar Heywood Broun [1988], “so does every emancipator serve his apprenticeship as a crank. A fanatic is a great leader who is just entering the room.” Seorang pemimpin yang keluar dari keumuman karena bermental muda dan tidak tersandra oleh masa lalunya. Seorang yang mampu merubah kerumunan menjadi barisan.
Dan, dalam hal kepemimpinan transisi, model kepemimpinan yang dibutuhkan bangsa ini adalah kepemimpinan yang kuat, berkarakter, mendengar dan kerja keras sambil menggalang kerjasama dengan lingkup internasional. Dialah pemimpin yang tebar kerja, bukan hanya tebar pesona. Dialah pemimpin yang bekerja cepat, tepat, terkordinasi hingga sampai pada targetnya. Dialah sumber inspirasi rakyat untuk bekerja dan berprestasi.

Harus diakui, transisi politik-ekonomi sering mendatangkan “luapan perasaan” tak terkira. Banyak orang menganggap transisi adalah demokrasi. Lalu berharap demokrasi adalah kesejahteraan dan kestabilan. Padahal ketiganya dalam posisi masing-masing yang sangat berbeda. Intinya, transisi hanyalah keadaan dari zaman tidak demokratis menuju demokratis. Ia merupakan suasana yang harus dilewati. Sedang demokrasi hanyalah alat, bukan kesejahteraan itu sendiri.
Singkatnya, demokrasi baru akan berbuah jika dijalankan, bukan dibicarakan. Nah, untuk menjalankan dan mempraktekkannya diperlukan pemain-pemain baru, aktor-aktor baru bahkan pemimpin-pemimpin baru. Tentu saja akan lebih baik jika muda dan energik sehingga terbebas dari ”dosa masa lalu.”

Di atas segalanya jika kita tak segera menampilkan, memilih dan bersama ekonom-politisi yang mampu jadi pemimpin bangsanya di atas kepemimpinan diri dan golongannya maka hilangnya kepercayaan di antara kita dalam menuntaskan kemiskinan, pengangguran dan kekerasan akan jadi kenyataan. Selanjutnya akan melahirkan suatu model distrust society yang menggerus modal sosial kita sebagai bangsa. Hilanglah kesempatan, hilanglah harapan menjadi Indonesia seperti yang tertulis dalam Pancasila dan UUD-45.[]

GAGASAN EKONOMI BARU KAUM MUDA

M. Yudhie Haryono

Hiruk pikuk bulan oktober kemarin ternyata
menghasilkan kebangkitan kembali kaum muda. Lewat
ikrar ’saatnya kaum muda memimpin’ dan peringatan
sumpah pemuda di berbagai kota, kaum muda sepertinya
sedang merasa terpanggil untuk melengkapi gerakan
cinta tanah airnya secara lebih lengkap. Lalu, dengan
pertemuan dan ikrar yang meluas, kesadaran kebangkitan
bangsa terasa dipanggul kembali oleh mereka. Kaum muda
merasa wajib menghadirkan reformasi politik dan
ekonomi sebagai jawaban atas kelambanan pemerintah
dalam menyelesaikan problem rakyat banyak. Jika 1908,
1945, 1966, 1974, 1998 dan 2002 kaum muda lebih tajam
pada tuntutan politik, gerakan kaum muda tahun ini
mulai mewacanakan ”reformasi ekonomi.”
Kesadaran ini menguat karena mereka merasa ada yang
kurang dari gerakan kaum muda yang telah berlangsung.
Menyadari akan ”absennya” gagasan reformasi ekonomi
pada tiap angkatan, kaum muda mengingat salah satu
wawancara serius yang dilakukan Indonesianis terkemuka
Benedict ROG Anderson di salah satu media terkemuka
pada 15/8/07. Anderson mengungkapkan bahwa, “yang
menghancurkan demokrasi [liberal] bukanlah masyarakat
luas, tetapi ambisi dan kerakusan kuasa dari tentara
[TNI], Bung Karno dan sebagian elit politik lainnya.”
Hal ini karena tentara dan Bung Karno tidak melihat
demokrasi sebagai tantangan dan peluang, sebaliknya
sebagai ancaman yang menakutkan kekuasaan mereka.
Demokrasi menjadi musuh yang menghambat dan
menakut-nakuti kekuasaan mereka. Dengan ketakutan yang
berlebihan pada demokrasi, gagasan reformasi ekonomi
yang bertujuan ”mensejahterakan rakyat banyak” menjadi
terbengkalai bahkan tenggelam. Satu peristiwa yang
selanjutnya membuat presiden Soeharto merusaknya
dengan mengharamkan demokrasi dan menggantinya dengan
ekonomi [neolib] sebagai panglima. Persoalannya,
presiden Soeharto yang menyadari kebutuhan ekonomi
riil bagi terciptanya stabilitas ekonomi agar
melahirkan kesejahteraan, ternyata juga ”gagal total.”
Hal ini karena menurut kaum muda, presiden Soeharto
lebih beriman pada ekonomi pasar yang dihidupi dari
”hutang-piutang,” pro-pertumbuhan dan tidak berbasis
pada ekonomi riil, ekonomi kerakyatan.
Dalam sejarahnya, kaum muda menyadari sepenuhnya bahwa
kata Indonesia berasal dari dua kata bahasa Yunani,
yaitu Indos yang berarti "India" dan nesos yang
berarti "pulau." Jadi, kata Indonesia berarti
kepulauan India, atau kepulauan yang berada di wilayah
India. Tetapi, karena nama yang “impor” inilah,
[almarhum] Umar Kayam menyebut Indonesia sebagai
bangsa “salah kedaden” disebabkan tidak memiliki
cita-cita dan praktek riil untuk merdeka secara
ekonomi. Yang ada hanya kesadaran dan praktek merdeka
secara politik.
Walaupun begitu, Indonesia adalah negara yang sangat
kaya [terlengkap di dunia] SDAnya. Memiliki hutan
terluas di dunia [121 juta hektar] dan terkaya ketiga
setelah Brasil dan Konggo dalam mega biodiversity.
Selanjutnya kita memiliki jumlah pulau 17.504 pulau
[sampai 2004] tetapi belum seluruhnya diverifikasi dan
diberi nama berdasarkan definisi pulau. Jumlah
penghuninya adalah 211.000.598 yang menurut
perhitungan nanti pada tahun 2015 diperkirakan
mencapai 250 juta jiwa dan tahun 2050 bisa mencapai
290 juta. Sayangnya, secara sosiologis kita dapat
menyebut Indonesia sebagai “bangsa kaya” yang “miskin”
karena hidup kekurangan sehingga hutang tiap tahun.
Proyek hutang-piutang inilah awal mula penjajahan baru
secara sosial, politik, ekonomi dan budaya.
Tragisnya, presiden dan pemerintahan selanjutnya
ternyata mengulangi jalan yang sama, perilaku yang
tidak berbeda dan paradigma yang tidak berubah; jalan
hutang piutang, perilaku pasar bebas dan paradigma
bukan ekonomi kerakyatan yang pro kaum miskin. Karena
hal tersebut di atas dan mengingat prestasi
kesejahteraan rakat yang tak kunjung datang maka kaum
muda kemudian merumuskan ulang lanskap ekonomi baru
yang lebih riil dan tegas dengan tujuan dan cara
mencapainya secara brilian demi rakyat miskin.

Intinya, jika dilihat dan diamati pernyataan dan
brosur serta tulisan yang beredar, kaum muda
menyepakati bahwa kepemimpinan nasional perlu
disegarkan. Tetapi tidak sekedar penyegaran orang dan
subyek, melainkan juga gagasan dan visi. Dus, gagasan
mereka sangat jelas, merebut kepemimpinan yang akan
menyelenggarakan empat hal penting; Pertama, perubahan
paradigma pembangunan yang mengutamakan pemerataan,
bukan pertumbuhan [politik undang-undang]. Kedua,
nasionalisasi asset strategis dan SDA untuk kemakmuran
rakyat [politik kesejahteraan]. Ketiga, hapus hutang
lama dan tolak hutang baru [politik kemandirian].
Keempat, proteksi produksi dalam negeri [politik
kemodernan].

Empat visi di atas dikedepankan karena bagi kaum
muda, problem yang lain hanya turunan dari empat babon
problem bangsa kita. Itu artinya, siapapun presidennya
nanti akan berhadapan dengan empat problem besar yang
jika diselesaikan maka separo lebih persoalan bangsa
kita akan teratasi.

Karena itu, gagasan ekonomi baru yang dibawa kaum
muda ini memberikan pembobotan serius agar gerakan dan
gagasan kaum muda memimpin bukan angin lalu yang
“kosong” tanpa isi dan misi yang jelas. Dengan
kesadaran sejarah dan kajian sosiologis, riset
lapangan dan perpustakaan, gerakan kaum muda ingin
mengatakan bahwa “rizki, kemakmuran, kemartabatan,
kecerdasan, kemerdekaan dan kemodernan” bukan hanya
mukjizat dari langit. Mereka merupakan produk sejarah
yang harus direbut dan dibagikan. Tanpa itu, kita tak
akan jadi mutiara yang dahsyat. Tak akan jadi negara
yang disegani. Inilah laskap ekonomi baru kaum muda
dalam menjalankan dan menunaikan politik keindonesiaan
dalam bingkai kerakyatan dan kebinekaan.[]

Thursday, June 28, 2007

Selamat Ulang Tahun.. silakan Klik




Lihat Kartu Ucapan Lainnya
(KapanLagi.com)



Wilujeng milang kala, 29 juni 1973-29 juni 2007

Friday, June 15, 2007

Republik Yang Menunggu

Rekan, aku luncurkan buku hasil riset sederhana terutama untuk menjawab pertanyaan “buat apa kita berbangsa dan bernegara ?”. Buku ini terdiri dari bab-bab sebagai berikut;
- Memahami Globalisasi dan Neolib
- Memahami Indonesia Sebagai Negara Miskin
- Memahami Ekonomi Pancasila
- Memahami Praksis Ekonomi Pancasila, dan
- Memahami Kebaikan Masa Lalu
Kesemuanya dianalisa dengan teori sejarah aktif dan pandangan kritis. Berikut ulasannya, Smoga bermanfaat !!! Yh.


REPUBLIK YANG MENUNGGU
@M. Yudhie Haryono
Jakarta-Indonesia
2007

Jika negara>pasar dan rakyat=otoritarianisme.
Jika pasar>negara dan rakyat=neo-kolonialisme.
Jika rakyat>pasar dan negara=neo-tribalisme
[Diktum Kesetimbangan Postkolonial, 1999]


Kita tahu, dalam sejarah kehadirannya, negara memang seperti mahluk bernyawa sejuta. Ia mati dan hidup kembali berulangkali dalam bentuk serupa tapi tak sama. Ia dirindukan sekaligus dicaci. Ia dicintai sekaligus dibenci. Karena itu sejatinya, sejarah rakyat bernegara adalah sejarah tentang perjalanan konstruksi ideologis yang enigmatis dan genap; antara yang empiris dan yang imajinatif. Kontruksi empiris dapat berupa perjuangan kemerdekaan, kesejahteraan dan keadilan. Atau dalam bahasa Declaration of Independen USA, proklamasi bangsa Amerika [1776] menjadi life, liberty and the pursuit of happiness. Karena itu, sejarah perjuangan kemerdekaan selalu merupakan hal-hal empirik berkenaan dengan kebutuhan rakyat pada yang riil.

Di sinilah peran elite sebagai pemimpin pembebasan dan revolusioner menemui faktualisasinya. Elite menjawab dan menjadi jawaban terhadap berbagai pertanyaan kebutuhan rakyatnya. Elite berusaha memenuhi rasa keadilan [hukum], rasa ketentraman [kekuasaan], rasa kesejahteraan [ekonomi], kebutuhan struktural [politik], dan rasa identitas sosial [budaya].

Sedang konstruksi yang imajinatif adalah pengetahuan akan cita-cita bersama. Pada kita adalah bhineka tunggal ika atau gemah ripah loh jinawi. Imajinasi cita-cita besar ini melahirkan imajinasi-imajinasi turunan; melindungi rakyat dan tanah air, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, melaksanakan ketertiban dunia.

Empiris dan imajinatifnya negara kemudian melahirkan kebenaran tunggal versi para pendiri suatu negara. Satu kebenaran yang sangat fokus dan sektarian karena ditentukan hanya oleh sekelompok minoritas [elite pemimpin] yang berkuasa. Sekelompok minoritas elite inilah yang memaksa dan mengatur rakyatnya secara sistematis agar menyesuaikan diri dengan tujuan-tujuan dan cita-cita bersama. Selanjutnya, penerapan kekuasaan itu sendiri menciptakan dan melahirkan obyek-obyek pengetahuan baru dan mengakumulasikan satuan-satuan informasi baru.

Elite negara dalam sejarahnya memang ditakdirkan menjadi pemilik otoritas rakyatnya. Elitlah produsen politik dan budaya yang bersifat eksternal sekaligus internal. Dengan cara bernalar, berbicara, dan bekerja tentang dunia di sekitarnya, elite mengkonstruksi rakyat dan lingkungannya. Elite mempengaruhi dan menginjeksi arah tujuan dan ideologi rakyatnya.

Persoalannya adalah mengapa elite seringkali menciderai amanat rakyat banyak? Jika ditinjau dari teori keberadaannya hal ini karena dua sebab. Pertama, kegagalan memahami watak rakyatnya. Dalam kontek Indonesia, watak rakyat kita pada umumnya dapat dikelompokkan menjadi empat; 1). Plural tetapi homogen. 2). Ramah tetapi komunalistik. 3). Toleran tetapi mudah konflik kekerasan. 4). Punya hukum nasional tetapi menghidupi hukum lokal.

Kedua, kegagalan memahami suara rakyat. Dalam hal ini suara rakyat sering tidak terepresentasi di lembaga-lembaga wakilnya [DPR]. Rakyat memang dapat melihat lahirnya sebuah putusan publik tetapi tidak dapat terlibat dalam pembuatan keputusan publik tersebut. Rakyat akhirnya merasa tidak memiliki keputusan publik yang telah disepakati oleh wakilnya.
Dua kegagalan inilah penyebab dari lahirnya dua model perilaku elite di tanah air. Pertama, elite literal [absolute]. Kelompok elite ini punya karakter melihat Negara dengan kacamata teologi imanensi. Mereka melihat Tuhan yang hadir dalam realitas dunia. Karenanya, manusia menjadi wakil Tuhan (khalifah) di bumi. Elite ini menempatkan aturan publik sebagai segalanya. Mereka sangat minimalis dalam tafsir aturan publik. Secara sosiologis melahirkan kultus dan kharisma kepemimpinan. Karenanya, mereka sangat komunalistik dan menempatkan negara sebagai cara untuk kembali ke akhirat (eskatologis). Filosofi hidupnya menjadi; elite memerintah, rakyat diperintah. Elite berkuasa, rakyat dikuasai. Elite banyak benar, rakyat sering salah.

Kedua, elite liberal [relative]. Kelompok elite ini punya karakter melihat Negara dengan kacamata teologi transendensi. Mereka melihat Tuhan tidak memiliki kaitan apa pun dengan realitas dunia ini kecuali sekadar sebagai penyebab awal. Elite manusia adalah kehendak bebas. Aturan publik tunduk di bawah kendali rasio. Elite ini banyak mengenal tafsir aturan publik. Secara sadar hidup dalam radikalisme argumentatif, karenanya bersifat liberalis dan Negara adalah cara manusia untuk memahami dunia.

Filosofi hidupnya tidak ada kebenaran mutlak di negara. Yang sakral hanyalah Tuhan, selainnya profan. Problemnya, kedua elite yang hidup di Indonesia memiliki kesamaan pandangan dalam birokrasi pemerintahan yaitu; jika dapat diundur kenapa harus sekarang; jika dapat dipersulit kenapa dipermudah. Artinya, keduanya suka menunda-nunda persoalan tanpa rasa bersalah.

Indonesia dan Globalisasi

Jika tak segera melakukan revitalisasi, negara kita akan tinggal nama. Apalagi, hantu globalisasi terus menancapkan kukunya. Terlebih dalam hipotesa William Robinson, Promoting Polyarchy: Globalization, US Intervension and Hegemony (1996) menunjukkan bahwa globalisasi terdiri dari dua proses yang saling berjalan. Pertama, adalah kulminasi dari proses yang dimulai beberapa abad yang lalu, di mana hubungan produksi kapitalis meruntuhkan dan menggantikan seluruh hubungan pra-kapitalis hampir di seluruh dunia. Itu artinya meruntuhkan struktur negara, menyempitkan kapasitas pemerintahan.

Kedua, adalah transisi lebih dari beberapa dekade hubungan bangsa-bangsa melalui pertukaran komoditas dan aliran modal dalam pasar dunia yang terintegrasi, di mana di dalamnya model produksi yang berbeda berkoeksistensi dalam formasi-formasi sosial ekonomi nasional dan regional yang lebih luas bisa lepas dari keterkaitan eksternalnya, yaitu globalisasi proses produksi itu sendiri. Itu artinya, jikalau negara hadir, ia adalah akibat, bukan sebab. Ia ada tanpa prakarsa, bukan genuisitas. Ia tanpa sengaja, bukan proyek bersama.

Jika ini yang terjadi, negara tak lagi memiliki “tanggung jawab” sebagai agen utama penerjemah cita-cita rakyatnya. Negara tinggal memiliki yang empiris tanpa imajinatif. Ada wilayah, penduduk dan pemerintahan, tapi ia tak memiliki cita-cita dan tujuan bersama. Ujungnya, seluruh elite yang menghidupi kekuasaan akan hidup untuk dirinya. Sebaliknya seluruh rakyat tidak tahu ke mana nasibnya akan ditambatkan.

Atas beberapa gejala bernegara yang sedang kita alami, diperlukan perubahan cara pandang terhadap negara dan kewajiban pengkayaan model pemahaman terhadap rakyat. Walaupun negara adalah penyakit yang ditularkan lewat imaji dan media, ia harus dimaknai sebagai peluang dan tantangan yang harus selalu ditemukan jawabannya. Negara harus diletakkan sebagai sarana sekaligus tujuan. Dengan demikian negara harus meniscayakan hadirnya motif-motif dan perasaan rakyat sebagai basis penalaran, pengetahuan dan tindakan dengan sebuah pertanyaan; untuk apa ia kita hadirkan ke dunia?

Negara Organik

Mungkin inilah jawaban bagi pengembangan reformasi yang tak kunjung menemukan solusi atas tiga masalah dasar kita semua; kemiskinan, pengangguran dan kekerasan. Negara organik sebagaimana didefinisikan oleh Stephen P. Robins [1990] adalah bentuk yang mencerminkan respon negara dan aparatusnya dalam membuat keputusan dengan cara mengorganisasikan berbagai kepentingan yang timbul dalam masyarakat demi kepentingan rakyatnya; kepentingan nasional.

Sesudah Orde Baru secara resmi berganti, kita ingin merekonstruksi kapasitas negara untuk mengelola urusan bangsa dan rakyatnya agar lebih manusiawi dan bermartabat. Selebihnya cita-cita pertumbuhan politik-ekonomi era reformasi perlu disempurnakan. Karena itu langkah pertama yang dilakukan para reformer adalah mengamandemen UUD-45. Hasilnya, berlakulah sebuah konstitusi yang menganut prinsip kemampuan [ability], akuntabilitas [akuntability], tanggungjawab [responsibility], dan hak [right] yang terjabarkan menjadi kedaulatan rakyat, supremasi hukum, trias politik, pertanggungjawaban pemerintah pada rakyat dan dihormatinya hak asasi manusia.

Sayangnya, beberapa gagasan penting yang menghadirkan hak dan tanggungjawab tersebut juga membawa bibit neolib politik-ekonomi. Munculnya demokrasi voting, perekonomian tanpa keterlibatan negara [BUMN] dan desentralisasi yang tidak diimbangi dengan grand design telah melenyapkan kapasitas negara. Atau intinya: delegitimasi negara.
Itu artinya, gagasan kita tentang demokrasi sangat bersifat neolib. Bahkan kita meyakini bahwa kekuasaan negara dan pegawai negara adalah satu-satunya jenis kekuasaan yang menjadi target demokratisasi. Tanpa pendidikan demokrasi yang menyeluruh pada setiap elemen masyarakat, wilayah eksekutif, legislatif dan yudikatif akhirnya diisi dengan logika-logika individual yang berbasis pada mediokrasi dan media, bukan meritokrasi dan capaian kerja keras.

Proyek buta ini makin diimani karena lobi dan kampanye para politisi-ekonom lulusan neolib [politic-economic hit man] yang menuntut negara harus diminimalisir dan kekuasan pasar harus dimobilisir. Pasar harus jadi penentu yang kewenangannya melebihi rakyat dan negara.

Pelajaran Masa Lalu

Jika mengacu pada warisan pembukaan UUD-45, sebenarnya Indonesia adalah sebuah cita-cita politik. Ia merupakan desain politik yang disengaja dengan kesadaran penuh. Karenanya ia bukan kondisi alamiah kita sejak zaman nenek moyang. Indonesia adalah sebuah komunitas bersama yang ingin merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur dengan membentuk negara.

Memang, Indonesia merupakan warisan proyek pembentukan komunitas politik dalam bingkai kesatuan wilayah jajahan Belanda. Tetapi fakta dan targetnya satu: terbentuknya keyakinan luas bahwa masyarakat di wilayah jajahan adalah kesatuan yang menyejarah, sebangun, secita-cita dan senusantara. Karena kesatuan historis itu sedang dipenggal oleh pemerintahan orang Belanda maka kontrol atas masyarakat dan wilayah harus direbut kembali dengan perjuangan revolusi. Kita cinta damai tetapi lebih mencintai kemerdekaan adalah bukti berikut yang kita dapati dalam sejarah perjuangan kita. Intinya, cita-cita res publica tidak terjadi di ruang vakum yang kosong, melainkan berlangsung dalam hiruk-pikuk kebutuhan dasar kita—kemiskinan, pengangguran dan kesengsaraan—yang kinerjanya punya implikasi begitu mendalam setelahnya.

Dengan demikian, nasionalisme Indonesia adalah gerakan politik untuk membuat ‘rakyat’ dan ‘negara’ menjadi identik. Karena itu, kita sebaiknya tidak melupakan cita-cita pembentukan negara begitu saja, tetapi sebaliknya merefleksikan dengan serius pengalaman yang sudah lewat agar dapat dijadikan pelajaran bagi kita semua. Tanpa pelajaran di masa lalu, kita akan masuk dalam kebingungan tanpa ujung.

Proyek negara organik sebenarnya telah dipraktekkan oleh rezim Orde Baru. Rezim ini tidak diragukan lagi memberikan banyak hal kepada masyarakat Indonesia, seperti stabilitas, keamanan, kesejahteraan, dan bisa diprediksi (predictability).
Jendral Soeharto sebagai presiden berusaha mentransformasikan Indonesia menjadi sebuah negara bangsa yang kuat, bersatu, dan bercita-cita sejahtera. Jika ditilik lebih dalam, pemerintah Orde Baru ternyata pernah menyelamatkan bangsa ini dari gelombang kehancuran akibat laju inflasi luar biasa hasil warisan rezim Orde Lama. Faktanya, indeks biaya hidup tahun 1960-1966 naik 438 kali, harga beras naik 824 kali, harga tekstil naik 717 kali, dan nilai rupiah sekarat dari Rp.160 menjadi Rp.120 ribu. Inflasi ada pada kisaran 650 persen (tahun 1966) dengan jumlah kemiskinan yang luar biasa meningkat.

Itu semua menjadi bukti ilustratif betapa malapetaka yang menghantam bangsa Indonesia saat itu demikian dahsyat. Karenanya, di tengah pergulatan elit politik nasional, penanganan masalah ekonomi terpaksa menempuh cara-cara politik.
Pada awal-awalnya, pemerintahan Orde Baru cukup progresif dengan memadukan semua komponen masyarakat dalam mengatasi persoalan bangsa. Di bidang ekonomi, para ekonom dari FE-UI di antaranya, dapat dirangkul dalam menyumbangkan konsep alternatif untuk memulihkan perekonomian nasional. Langkah politis-ekonomis ini efektif menerapkan tujuan ganda: memulihkan ekonomi sekaligus mengurangi pertikaian-pertikain politik.

Pintu masukan bagi pemerintah, juga dikukuhkan dalam hasil sidang MPRS Juni 1966. Di sini mulai dibuka kran masukan untuk merumuskan landasan komprehensif mengenai kebijakan ekonomi baru. Dengan ketetapan MPRS No. 23/66 lahirlah “pembaharuan kebijakan landasan ekonomi, keuangan, dan pembangunan.” Ketetapan ini memberi dasar bagi Kabinet Ampera (25 Juli 1966) dan Dewan Stabilisasi Ekonomi (11 Agustus 1966) untuk melakukan upaya-upaya pemulihan ekonomi nasional.

Jurus para ekonom yang diakomodir pemerintahan Orde Baru mampu menyusun program rehabilitasi dan stabilisasi ekonomi yang cukup komprehensif. Ada lima jurus yang dianggap manjur. Pertama, pengendalian inflasi melalui kebijakan anggaran berimbang, dan kebijakan moneter ketat. Kedua, pencukupan kebutuhan pangan. Ketiga, pencukupan kebutuhan sandang. Keempat, rehabilitasi berbagai sarana dan prasarana ekonomi. Kelima, peningkatan ekspor dengan mengembalikan share sepenuhnya pada eksportir. Secara bertahap pemerintah mampu keluar dari kemiskinan dan hingar politik serta belajar mengenali dunia global sebagai tantangan dan peluang, bukan ancaman yang menakutkan.

Robert E. Elson dalam, Suharto: A Political Biography [2004] menulis bahwa pada awal-awalnya, pemerintahan Orde Baru bisa dikatakan sebagai pemerintahan demokratis, terbuka, transparan, dan komunikatif. Sayangnya, menurut Frans Seda [2001], rezim ini berubah seiring dengan pesona Jendral Soeharto yang menguat. Karena itu menurutnya, Orde Baru dapat dinilai dari tiga model prestasi; yakni pemerintahan Orde Baru dan rezim Soeharto. Pemerintahan Orde Baru yang membawa semangat Pancasila dan UUD-45 secara murni dan konsekuen berkibar sampai 1975/1976, lalu antara 1976-1983 menjadi masa emas Orde Baru, sedangkan rezim Soeharto bangkit dari 1983-1998.

Dari sini, pelajaran yang harus dipetik adalah bahwa gagasan-gagasan politik-ekonomi harus sederhana dan bisa menyentuh kebutuhan rakyat, dalam arti bergerak pada alam pikir yang rasional. Selanjutnya kerja harus dengan cara mengembangkan jaringan politik-ekonomi yang luas untuk kepentingan yang berkait dengan kebutuhan mendesak; lapangan pekerjaan, kesehatan, pendidikan, jaminan sosial dan stabilitas keamanan. Negara dan aparatusnya wajib bekerja dalam skala prioritas dengan orientasi tanpa pamrih demi rakyat banyak. Dus, kebijakan politik-ekonomi harus diimbangi oleh prakarsa dan rule model [keteladanan] agar tidak terjadi ketimpangan. Singkatnya, kerja negara organik harus diiringi oleh kesadaran bahwa berbangsa dan bernegara kita sangat ditentukan oleh cita-cita kita sebagai bangsa dan negara.
***

Sebagai ilustrasi, buku ini berangkat dari keresahan penulis ketika memahami perdebatan mutakhir negara-bangsa. Dengan keinginan yang meluap-luap, buku ini meriset perdebatan di sekitar konstitusi mutakhir hasil amandemen. Kita tahu, isu ini menjadi penting karena setiap negara memiliki aturan hukum yang mengikat seluruh warga negaranya. Ada yang baku/tertulis dan ada yang lisan/tidak tertulis. Keduanya hidup dan menjadi aturan hukum bersama yang dipatuhi oleh semua pihak: pemerintah dan rakyat. Aturan hukum inilah yang disebut konstitusi. Karena itu, konstitusi pasti berasal dari kita, oleh kita dan untuk kita. Tetapi, sumbernya dapat berasal dari agama, local wisdom [kebijakan setempat], warisan nenek moyang maupun hibridasi dari pertemuan nilai-nilai di seluruh dunia.

Karena itu, konstitusi bersifat dialektik, konsensual, dan adaptif terhadap perkembangan zaman. Ia merupakan konsensus yang hidup dan menjadi pijakan kita bersama. Ia menjadi perekat [grosste gemene deler], gugus kesatuan sejarah [historical bloc], norma-norma dasar [grundsnorm], falsafah negara [weltanschauung/philosophische gronsdshlag], konsensus bersama [consensus norm] bahkan ideologi [state ideology] yang dijaga sekaligus dijadikan “pedoman [leitlinie]” karena kemampuannya menjadi ‘perekat-pembagi persekutuan terbesar’ [grooste gemene deler].

Dengan segala kekurangan dan kelebihannya, konstitusi harus berfungsi sebagai “guide” dan obor bahkan alat ukur dalam pencapaian cita-cita sebuah negara. Karenanya ia harus berbentuk potret diri dari political consensus yang subtansial, kuat, rigid, dan memotret jauh ke masa depan. Dikarenakan fungsinya yang sangat strategis, konstitusi disusun oleh, dari dan untuk semua yang hidup di negara kita maka ia harus tegas-baku tetapi terbuka-terus hidup [open and living] untuk disesuaikan zaman. Artinya, dimungkinkan untuk diamandemen dan diselaraskan dengan kepentingan semua masyarakat. Di sini diperlukan aturan ketat yang dengan sengaja memiliki jiwa hati-hati dalam semua usaha amandemen tersebut.
***

Dalam memahami globalisasi dan neolib di Indonesia, riset diawali dengan penelitian terhadap bentuk negara kita. Riset yang menghasilkan suatu hipotesa bahwa kita telah menyepakati bentuk negara Indonesia adalah kesatuan yang berbentuk republik [pasal 1/1] yang kedaulatannya berada di tangan rakyat [pasal 1/2] dan berlandaskan hukum [1/3]. Karena republik maka tafsiran yang paling tepat untuk masyarakat kita adalah kekeluargaan [integralistik] di mana eksekutif, legislatif dan yudikatif bekerjasama [partisipatif] dalam pemenuhan cita-cita rakyat. Ketiganya bersatupadu dalam usaha bersama berdasar asas gotongroyong menjadi “panitia kesejahteraan rakyat.”1 Dalam pilihan integralistik ini moral yang dibangun adalah shame culture [kebudayaan malu]. Dalam budaya ini, moral yang dikembangkan adalah “rasa hormat, reputasi, nama baik, status dan gengsi.” Itu artinya, jika subyek dalam salah satu lembaga kekuasaan publik bersalah/invalid maka “malu dan mengundurkan diri” menjadi keniscayaan-keharusan.2 Ini yang membedakannya dengan pilihan trias politicus. Dalam pilihan ini, moral yang dikembangkan adalah guilt culture [kebudayaan bersalah]. Itu artinya, jika subyek dalam salah satu lembaga kekuasaan publik bersalah/invalid maka ‘pengadilan’ menjadi keniscayaan-keharusan.

Jika dicermati sungguh-sungguh, seluruh UUD-45 dari pembukaan sampai batang tubuhnya berisi konsepsi tentang ketuhanan, kenegaraan dan pemerintahan, politik, ekonomi, pertahanan dan keamanan, pendidikan dan kesehatan, HAM, kebudayaan dan jaminan sosial. Karena itu, jika melihat pembukaan UUD-45, alinea pertama bicara hak individual [kemanusiaan] dan kolektif [keadilan]. Alinea kedua bicara merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Alinea ketiga bicara rahmat Tuhan yang menjiwai seluruh urusan bernegara. Alinea keempat bicara maksud pembentukan negara/pemerintahan yang berpancasila.

Alinea keempat inilah yang melahirkan kaidah integralistik berupa “negara harus bersifat aktif bahkan organis terhadap rakyatnya.” Karena ia adalah subjek, alat sekaligus tujuan, proyek yang disengaja serta aktor utama yang menjadi “jembatan emas” menuju masyarakat adil makmur dan sentosa [gemah ripah loh jinawi]. Ia mengada bersama rakyat dalam usaha bersama.

Konstitusi kita bernama UUD-45. Walaupun dulu dibuat tidak untuk jangka panjang dan mempraktekkan ide pembagian kekuasaan, di dalamnya sudah termaktub Pancasila, cita-cita bersama, dan penjelasan pasal-pasal yang relatif baku dan menzaman. Pembahasan mengenai perubahan dan amandemen terhadapnya telah berlangsung beberapa kali. Namun, fokus kita sekarang adalah amandemen 4 kali sejak 1999.

Setelah amandemen, UUD-45 berisi; 16 bab, 37 pasal, dan aturan peralihan plus aturan tambahan. Dan, yang paling subtansial dari amandemen 4 kali adalah masuknya pasal-pasal HAM [individual] dan dihapuskannya utusan golongan [keadilan kolektif] sebagai bagian dari MPR, penghilangan pasal penjelasan serta munculnya lembaga baru semisal MK, KY dan DPD.
Implikasinya tentu saja adalah perubahan pada sistem politik, ekonomi, pertahanan-keamanan, sosial dan bahkan agama-budaya. Mari kita lihat apa saja implikasi tersebut. Kita paham bahwa hipotesa para ahli politik memiliki kesamaan pandangan yang mengatakan “demokrasi adalah sistem yang terbaik saat ini daripada sistem lainnya. Tetapi dia bukan segala-galanya.” Sebab, melihat demokrasi neolib sebagai contoh, adalah demokrasi yang lebih menonjolkan sisi kemanusiaan karena berakar pada individualisme-utilitarianisme dengan mengenyampingkan sisi keadilan.3 Jikalau ada keadilan, itu hanya efek samping dan bukan tujuan. Untuk menguji hipotesa ini, lihatlah praksisnya. Karena itu dalam praksis-sejarahnya, negara-negara penganut demokrasi neolib dapat dikelompokkan menjadi dua. Pertama, demokratis tetapi kaya. Kedua, demokratis tetapi miskin.

Pertanyaannya, mengapa negara-negara demokratis tersebut terpola menjadi kaya dan miskin? Jika menggunakan tesis Gustav Cassell [1922] jawabannya adalah karena demokrasi neolib sangat terkait dengan kekayaan-kesejahteraan. Itu artinya di negara-negara kaya, demokrasi mudah berhasil dan ditradisikan. Sebaliknya, di negara miskin demokrasi sulit berhasil apalagi menjadi tradisi.

Dalam prakteknya, demokrasi neolib dan ekonomi neolib tidak jauh berbeda, yakni sama-sama berbiaya tinggi [high cost], beresiko tinggi [high risk] walau berkualitas tinggi [high quality]. Hal ini karena demokrasi neolib mempraktekkan engineering politic [politik rekayasa]. Dengan rekayasa, politik menjadi arena tawar menawar, voting, kontrak [perjanjian untung-rugi] bahkan jual beli.4 Ia bukan konsensus [perjanjian bersama], capaian-capaian prestasi, meritokrasi apalagi tenggang-rasa sesama [gotong-royong].

Dalam politik-ekonomi neolib, pasar bebas lebih dikedepankan guna mendapat kebebasan mencari keuntungan. Dalam konteks ini, sangat jelas bahwa kelemahan demokrasi neolib terlalu didominasi oleh ‘sila’ kemanusiaan (HAM), sehingga mengancam persatuan dan keadilan (di samping juga menunjukan adanya intervensi asing). Filsafat utamanya, kebebasan tanpa persatuan dan keadilan.

Di Indonesia, politik-ekonomi neolib ditentang kuat karena dapat menghancurkan ekonomi menengah, kecil dan koperasi. Sebalikya, politik-ekonomi neolib memenangkan para pemodal raksasa bahkan korporatokrasi [jaringan perusahaan multi nasional dengan lembaga perbankan dunia]. Menurut Steven Hiat [2007], prestasi terbesar politik-ekonomi neolib adalah menghancurkan negara-negara pengutang dengan ramuan demokrasi dan pengambilalihan SDA sebagai ganti ketidakmampuan mereka membayar hutangnya.

Untuk melihat bagaimana proses amandemen telah “meninggalkan” pembukaan UUD-45, mari ambil dua contoh. Pertama, lihat Bab II, Pasal 2 (ayat 3): MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT: Segala putusan Majelis Permusywaratan Rakyat ditetapkan dengan suara terbanyak. Kata terbanyak dalam pasal ini maksudnya pasti voting. Apa implikasi voting dalam praktek demokrasi? Berbiaya tinggi [high cost], beresiko tinggi [high risk] walau berkwalitas tinggi [high quality] dengan mempraktekkan engineering politic [politik rekayasa].
Kedua, lihat Bab XA, Pasal 28A: HAK ASASI MANUSIA: Setiap orang berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya. Maksud pasal ini adalah pengakuan hak hidup oleh pemerintah dan rakyat lainnya. Tetapi, jika mengacu pada pembukaan UUD-45 yang menempatkan negara/pemerintah sebagai subyek organis yang berperan, mestinya pasal itu berbunyi; Negara menjamin hak masyarakat untuk mempertahankan hidup dan kehidupannya].
***

Dalam memahami Indonesia sebagai negara miskin, buku ini mengawali riset dari konsep ekonomi yang telah dan sedang berkembang di tanah air. Lagi-lagi, jika kita melihat konsepsi ekonomi, UUD-45 memiliki paradigma sendiri yang membedakannya dengan ekonomi lain yaitu: tidak free fight liberalism, bukan sistem etatisme [komando] serta tidak melakukan pemusatan ekonomi pada satu kelompok dalam bentuk monopoli-oligopoli yang merugikan masyarakat-negara. Konsepsi itu disebut sistem ekonomi Pancasila yang bersumber langsung dari Pancasila sila kelima; Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dan amanat pasal 27 [2], 33-34 UUD-45.

Sila kelima ini menjelaskan bahwa semua orientasi berbangsa dan bernegara—politik ekonomi, hukum, sosial dan budaya—adalah dijiwai semangat keadilan menyeluruh dan diperuntukkan bagi seluruh rakyat Indonesia. Sila ini sekaligus sebagai nilai-nilai utama-inti [core values] dan tujuan akhir [ultimate goal] serta alat ukur yang khas terhadap jalannya pemerintahan.

Sistem ekonomi Pancasila ini diperjelas lagi dengan pasal 27 [2] berbunyi; tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Kemudian, pasal 33 berbunyi; [1] Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. [2] Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasasi oleh negara. [3] Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Lalu, dalam penjelasan pasal 33 bab kesejahteraan sosial lebih jauh dinyatakan bahwa, demokrasi ekonomi adalah produksi yang dikerjakan oleh semua, untuk semua di bawah pimpinan atau penilikan anggota-anggota masyarakat. Kemakmuran masyarakat diutamakan, bukan kemakmuran orang seorang. Sebab itu perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas usaha kekeluargaan. Bangun perusahaan yang sesuai dengan itu adalah koperasi. Perekonomian berdasar atas demokrasi ekonomi, kemakmuran bagi semua orang. Sebab itu cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak harus dikuasai oleh negara. Kalau tidak, tampuk produksi jatuh ke tangan orang yang berkuasa dan rakyat banyak akan ditindasinya. Hanya perusahaan yang tidak menguasai hajat hidup orang banyak yang boleh di tangan orang seorang. Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung dalam bumi adalah pokok-pokok kemakmuran rakyat, sebab itu harus dikuasasi oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Sedang pasal 34 berbunyi; Fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara.

Seiring dengan amandemen yang sudah empat kali dilakukan maka terdapat beberapa perubahan. Walaupun tidak fundamental tetapi yang perlu dicatat adalah; 1). Terdapat semangat untuk menggabungkan pasal penjelasan menjadi pasal yang terintegrasi dalam batang tubuh tetapi penggabungannya tidak menyeluruh dan kurang komprehensif. 2). Adanya amanat penyusunan undang-undang perekonomian nasional yang belum dilaksanakan. 3). Amandemen hanya merubah judul menjadi Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Sosial. 4). Menambah ayat, yaitu ayat 4 dan 5 tetapi penambahan ini tidak memperjelas/mempertegas sistem ekonomi nasional berdasarkan demokrasi ekonomi.

Empat alasan tersebut penulis kira layak dijadikan landasan agar hasil amandemen yang sudah ada, perlu disempurnakan dengan mempertahankan dan memperjelas rumusan konstitusional bagi perimbangan Negara-Pasar-Rakyat. Dus, melakukan amandemen kembali dengan memasukkan penjelasan [lama] yaitu semangat “kekeluargaan” dalam bentuk koperasi dan BUMN niscaya harus dilakukan. Sebab, mengutip B-Harry Priyono [2002], setiap konstitusi adalah cita-cita yang melengkapi syarat sebuah negara di luar rakyat, pemerintah dan wilayah.

Amandemen pasal ekonomi dengan demikian harus bervisi kita yang jauh tentang sebuah masa depan. Karena itu dalam cita-cita bersama, ‘masa depan’ harus menjadi variabel sentral dalam bangun ekonomi-politik. Amandemen pasal ekonomi dengan demikian harus bervisi kita yang jauh tentang sebuah masa depan. Di sinilah pentingnya rumusan eksplisit tentang peran BUMN-Koperasi-Swasta.
***

Dalam memahami ekonomi pancasila, buku ini ini mengawali riset dari hipotesa Prof. Boediono, [24/2/07] yang menulis bahwa, “tingkat kemajuan ekonomi merupakan faktor penentu bagi keberlanjutan demokrasi.”

Karena itu, menarik tesis Gustav Cassell [1922] yang menyebut bahwa, demokrasi sangat terkait dengan kesejahteraan. Di negara miskin seperti kita, demokrasi masuk dalam resiko tinggi untuk berhasil. Sebaliknya, di negara kaya, demokrasi akan masuk resiko rendah untuk gagal. Hipotesa ini dapat dibuktikan dengan menggunakan teori purchasing power parity [PPP], paritas daya beli. Sebuah teori yang bersandar pada metode keseimbangan jangka panjang dari perubahan kurs dua mata uang untuk menyamakan kekuatan pembelian mata uang [hukum satu harga].

Dengan hipotesa tersebut, pertanyaannya kemudian, apa yang harus dilakukan negara miskin yang telah memilih demokrasi? Jawabannya tentu mempercepat transisi dan konsolidasikan demokrasi ekonomi. Dua hal yang sulit karena dalam pembentukan kebijakan strategi pembangunan ekonomi, masalah yang sering timbul adalah ke mana seharusnya pembangunan ekonomi ditujukan; pertumbuhan ekonomi, pemerataan pendapatan atau pengurangan kemiskinan?

Pertanyaan selanjutnya, bagaimana usaha mengejar pertumbuhan tidak diganggu instabilitas politik? Bagaimana usaha pemerataan dapat dicapai tanpa komando negara? Bagaimana komando negara tidak menghasilkan kesewenang-wenangan dan korupsi? Bagaimana pertumbuhan-pemerataan tidak hanya menghasilkan kekayaan tetapi juga menghasilkan banyak pilihan terhadap akses ekonomi?

Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas tentu membutuhkan kecerdasan dan keteladanan. Cerdas berhubungan dengan kemampuan dalam memilih paradigma pembangunan ekonomi. Mau memilih paradigma neolib yang menuhankan pasar atau kerakyatan yang berfilosofi kekeluargaan. Mau meneruskan kebijakan lama yang masih baik atau menggantinya dengan yang sama sekali baru. Kecerdasan ini berkait dengan kemampuan melakukan komparatif dan pengakuan keberhasilan pembangunan di masa lalu serta ketajamannya dalam memilih paradigma yang cocok dengan iklim, nalar dan tradisi rakyatnya. Kecerdasan juga berhimpit dengan kemampuan memilih pembantu yang die hard, ahli dan loyal pada team work.

Sedang keteladanan dibutuhkan agar teori dan praktek tidak berjarak. Artinya, ketika paradigma sudah dipilih, maka harus dipraktekkan di lapangan. Tegasnya, tebar pesona sekaligus tebar kerja. Atau, banyak bicara sambil banyak kerja. Keteladanan berarti harus ada contoh dari pucuk pimpinan negara. Keteladanan ini berfungsi untuk menyadarkan rakyat guna bekerja lebih keras, hidup sederhana, dan mencintai produksi dalam negeri. Jika para pemimpin negara memberi teladan dengan bekerja keras, hidup sederhana, menggunakan hasil produksi dalam negeri, niscaya tak akan sulit bagi rakyat untuk mengikutinya.
***

Dalam memahami praksis ekonomi Pancasila, buku ini meriset sebab-sebab kemiskinan yang terus melanda kita. Tentu saja bukan perkara mudah menjadi kaya di tengah kemiskinan SDM, tak mudah menjadi pandai di tengah kekurangan infrastruktur dan fasilitas yang memadai. Tak mudah menjadi negara kaya [maju] secara politik-ekonomi di tengah serbuan globalisasi. Sebagaimana tak mudah menjadi negara berdaulat secara politik-ekonomi di tengah hempasan neolib.

Kita tahu, neolib berkembang melalui reduksi manusia sebagai makhluk ekonomi (homo oeconomicus). Sebagai mahluk ekonomi, manusia menjadi sering lupa dimensi sosialnya, lupa kebersamaan, dan lupa pada kode etik sebagai sesama. Kedirian menjadi lebih penting, individualisme menjadi ciri khasnya. Dalam rimba ekonomi, kekayaan menjadi tujuan, kemiskinan menjadi kutukan dan ketidakpedulian menjadi filsafat hidupnya. Visi neoliberal yang paling mutakhir kemudian direntang luas untuk diterapkan pada semua dimensi hidup manusia.

Pada gilirannya, perspektif oeconomicus itu direntang untuk menjadi prinsip pengorganisasian seluruh masyarakat; ekonomi, politik, budaya, agama, pertahanan dan keamanan bahkan sosial kemasyarakatan.

Memang, manusia pasti homo oeconomicus, tetapi homo oeconomicus pastilah bukan keseluruhan manusia. Masih banyak manusia yang bervisi ekonomi sambil bermisi manusiawi. Konsep inilah yang dalam bahasa ekonomi kita disebut dengan demokrasi ekonomi/ekonomi Pancasila. Dalam praktek dan sejarahnya, visi ekonomi Pancasila ini mengkampanyekan konsep kesetiakawanan sosial agar menjadi nilai-nilai yang sedemikian menggema untuk memperkuat interaksi dan saling peduli di antara individu dalam masyarakat. Kesetiakawanan sosial dimaksudkan untuk menggantikan peran negara dalam mengembangkan tanggung jawab pada sesama individu dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Di dalamnya mencakup simpati, empati dan gotong-royong yang berlandaskan kepercayaan sosial untuk mencapai cita-cita bersama, tanggungjawab bersama.

Dalam visi ekonomi Pancasila, kebersamaan dan kekeluargaan dijadikan dasar bagi pengambilan keputusan-keputusan penting. Hal ini didasarkan pada semangat konsensus ekonomi dan bukan pada kontrak ekonomi. Semangat konsensus ekonomi mengangankan diembannya secara bersama hal-hal terburuk yang menimpa rakyat banyak apabila sampai terjadi sesuatu yang di luar kehendak bersama. Suatu semangat yang antisipatif dengan mengambil nilai terendah dari tindakan. Artinya, kesuksesan memang tujuan, tetapi ketidaksuksesan juga harus ditanggung bersama [ringan sama dijinjing, berat sama dipikul].

Dalam visi ini pula pemerintah lahir untuk meneruskan kemerdekaan politik menjadi kemerdekaan ekonomi. Sebuah kemerdekaan yang diisi dengan membentuk negara modern yang kuat sehingga memiliki kapasitas yang luas agar gagah menghadapi pasar bebas (market fundamentalism). Sebab, tanpa negara modern yang kuat [modern state civic nationalism], kemerdekaan rakyat tidak akan terjamin. Sebaliknya, rakyat akan jadi budak dan kuli di negaranya sendiri.
***

Dalam memahami kebaikan masa lalu, buku ini berangkat dari kaidah; Almukhafadah ‘ala qadimisalih wal akhdu biljadidil aslah [mempertahankan masa lalu yang masih baik sambil mengambil (mencipta) masa depan yang lebih baik]. Hal ini karena penulis melihat begitu banyak problem yang kita hadapi tetapi belum ada jalan keluar. Tetapi, sambil menyimak pernyataan Presiden SBY yang mengharapkan bangsa ini bisa menjadi bangsa yang unggul di semua bidang, penulis yakin, rakyat Indonesia mestinya mampu memenuhinya. Terlebih, ada banyak SDA dan makin berseminya SDM yang kita miliki. Inilah keunggulan komparatif yang harus dikembangkan menjadi keunggulan kompetitif.

Di atas segalanya, meminjam teori Reiner, seorang ekonom Jerman [2006], "adalah kewajiban bagi negara yang menganut ekonomi pasar guna menguatkan negara dan menyehatkan BUMN (plus koperasi) agar mampu memantau pebisnis dengan perangkat hukumnya." Kerjasama [patnership] BUMN-Koperasi-Swasta dapat dijadikan model guna bersaing di pasar bebas. Tata kelola dan peran ketiganya perlu menjadi acuan perekonomian nasional kita. Inilah model ekonomi yang di masa Orde Baru [dengan berbagai kekurangannya] berhasil mengurangi kemiskinan secara drastis bahkan menswasembadakan beras.

Karena itu ke depan, tugas utama institusi politik-ekonomi pemerintah kita mestinya adalah penguatan pelayanan, pentradisian perlindungan dan mendorong publik sehingga memberikan rasa aman bertransaksi, berproduksi, berinvestasi dan menciptakan terminus ad quem [waktu untuk menyelesaikan problem rakyat]. Suatu prestasi yang belum dapat dicapai oleh rezim hasil reformasi.

Di tengah konsolidasi rezim pasar bebas, tidak ada pilihan bagi kita untuk merumuskan kembali politik-ekonomi yang pas dan khas Indonesia. Karena itu, konsep yang jelas mengenai politik-perekonomian nasional tanpa harus menjadi korban dari pasar bebas sangatlah penting bila Indonesia tidak ingin terus-menerus dijajah dan dijarah. Kebebasan memang menjadi kondisi nyata dalam pasar bebas, tapi tentunya kita harus bisa menyiasati persaingan supaya orang asing tidak mampu menghisap kekayaan negeri ini. Caranya, tentukan nasib bangsa dengan melihat kembali UUD-45 terutama pembukaannya dan mari jadikan pemerintah dan rakyat sebagai subyek utama pembangunan politik-ekonomi. Tingkatkan kapasitas negara/pemerintahan, sadarkan rakyat banyak dengan secara bersama-sama menjadi agen-agen penyelamat negara.[]

Monday, May 21, 2007

NEGARA ADALAH PENYAKIT

M. Yudhie Haryono

Sepintas judul di atas pasti dianggap mengada-ada. Tetapi jika direnungkan lebih mendalam, selayaknya hipotesa tersebut banyak mengandung kebenarannya.

Dalam sejarah kehadirannya, negara memang seperti mahluk bernyawa sejuta. Ia mati dan hidup kembali berulangkali dalam bentuk serupa tapi tak sama. Ia dirindukan sekaligus dicaci. Ia dicintai sekaligus dibenci. Karena itu sejatinya, sejarah rakyat bernegara adalah sejarah tentang perjalanan konstruksi ideologis yang enigmatis dan genap; antara yang empiris dan yang imajinatif. Kontruksi empiris dapat berupa perjuangan kemerdekaan, kesejahteraan dan keadilan. Atau dalam bahasa Declaration of Independen USA, proklamasi bangsa Amerika [1776] menjadi life, liberty and the persuit of happiness. Karena itu, sejarah perjuangan kemerdekaan selalu merupakan hal-hal empirik berkenaan dengan kebutuhan rakyat pada yang riil.

Di sinilah peran elite sebagai pemimpin pembebasan dan revolusioner menemui faktualisasinya. Elite menjawab dan menjadi jawaban terhadap berbagai pertanyaan kebutuhan rakyatnya. Elite berusaha memenuhi rasa keadilan [hukum], rasa ketentraman [kekuasaan], rasa kesejahteraan [ekonomi], kebutuhan struktural [politik], dan rasa identitas sosial [budaya].
Sedang konstruksi yang imajinatif adalah pengetahuan akan cita-cita bersama. Pada kita adalah bhineka tunggal ika atau gemah ripah loh jinawi. Imajinasi cita-cita besar ini melahirkan imajinasi-imajinasi turunan; melindungi rakyat dan tanah air, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, melaksanakan ketertiban dunia.

Empiris dan imajinatifnya negara kemudian melahirkan kebenaran tunggal versi para pendiri suatu negara. Satu kebenaran yang sangat fokus dan sektarian karena ditentukan hanya oleh sekelompok minoritas [elite pemimpin] yang berkuasa. Sekelompok minoritas elite inilah yang memaksa dan mengatur rakyatnya secara sistematis agar menyesuaikan diri dengan tujuan-tujuan dan cita-cita bersama. Selanjutnya, penerapan kekuasaan itu sendiri menciptakan dan melahirkan obyek-obyek pengetahuan baru dan mengakumulasikan satuan-satuan informasi baru.

Elite negara dalam sejarahnya memang ditakdirkan menjadi pemilik otoritas rakyatnya. Elitlah produsen politik dan budaya yang bersifat eksternal sekaligus internal. Dengan cara bernalar, berbicara, dan bekerja tentang dunia di sekitarnya, elite mengkonstruksi rakyat dan lingkungannya. Elite mempengaruhi dan menginjeksi arah tujuan dan ideologi rakyatnya.
Persoalannya adalah mengapa elite seringkali menciderai amanat rakyat banyak? Jika ditinjau dari teori keberadaannya hal ini karena dua sebab. Pertama, kegagalan memahami watak rakyatnya. Dalam kontek Indonesia, watak rakyat kita pada umumnya dapat dikelompokkan menjadi empat; 1). Plural tetapi homogen. 2). Ramah tetapi komunalistik. 3). Toleran tetapi mudah konflik kekerasan. 4). Punya hukum nasional tetapi menghidupi hukum lokal.

Kedua, kegagalan memahami suara rakyat. Dalam hal ini suara rakyat sering tidak terepresentasi di lembaga-lembaga wakilnya [DPR]. Rakyat memang dapat melihat lahirnya sebuah putusan publik tetapi tidak dapat terlibat dalam pembuatan keputusan publik tersebut. Rakyat akhirnya merasa tidak memiliki keputusan publik yang telah disepakati oleh wakilnya.
Dua kegagalan inilah penyebab dari lahirnya dua model perilaku elite di tanah air. Pertama, elite literal [absolute]. Kelompok elite ini punya karakter melihat Negara dengan kacamata teologi imanensi. Mereka melihat Tuhan yang hadir dalam realitas dunia. Karenanya, manusia menjadi wakil Tuhan (khalifah) di bumi. Elite ini menempatkan aturan publik sebagai segalanya. Mereka sangat minimalis dalam tafsir aturan publik. Secara sosiologis melahirkan kultus dan kharisma kepemimpinan. Karenanya, mereka sangat komunalistik dan menempatkan negara sebagai cara untuk kembali ke akhirat (eskatologis). Filosofi hidupnya menjadi; elite memerintah, rakyat diperintah. Elite berkuasa, rakyat dikuasai. Elite banyak benar, rakyat sering salah.

Kedua, elite liberal [relative]. Kelompok elite ini punya karakter melihat Negara dengan kacamata teologi transendensi. Mereka melihat Tuhan tidak memiliki kaitan apa pun dengan realitas dunia ini kecuali sekadar sebagai penyebab awal. Elite manusia adalah kehendak bebas. Aturan publik tunduk di bawah kendali rasio. Elite ini banyak mengenal tafsir aturan publik. Secara sadar hidup dalam radikalisme argumentatif, karenanya bersifat liberalis dan Negara adalah cara manusia untuk memahami dunia.

Filosofi hidupnya tidak ada kebenaran mutlak di negara. Yang sakral hanyalah Tuhan, selainnya profan. Problemnya, kedua elite yang hidup di Indonesia memiliki kesamaan pandangan dalam birokrasi pemerintahan yaitu; jika dapat diundur kenapa harus sekarang; jika dapat dipersulit kenapa dipermudah. Artinya, keduanya suka menunda-nunda persoalan tanpa rasa bersalah.

Negara dan Globalisasi
Jika tak segera melakukan revitalisasi, negara kita akan tinggal nama. Apalagi, hantu globalisasi terus menancapkan kukunya. Terlebih dalam hipotesa William Robinson, Promoting Polyarchy: Globalization, US Intervension and Hegemony (1996) menunjukkan bahwa globalisasi terdiri dari dua proses yang saling berjalan. Pertama, adalah kulminasi dari proses yang dimulai beberapa abad yang lalu, di mana hubungan produksi kapitalis meruntuhkan dan menggantikan seluruh hubungan pra-kapitalis hampir di seluruh dunia. Itu artinya meruntuhkan struktur negara, menyempitkan kapasitas pemerintahan.

Kedua, adalah transisi lebih dari beberapa dekade hubungan bangsa-bangsa melalui pertukaran komoditas dan aliran modal dalam pasar dunia yang terintegrasi, di mana di dalamnya model produksi yang berbeda berkoeksistensi dalam formasi-formasi sosial ekonomi nasional dan regional yang lebih luas bisa lepas dari keterkaitan eksternalnya, yaitu globalisasi proses produksi itu sendiri. Itu artinya, jikalau negara hadir, ia adalah akibat, bukan sebab. Ia ada tanpa prakarsa, bukan genuisitas. Ia tanpa sengaja, bukan proyek bersama.
Jika ini yang terjadi, negara tak lagi memiliki “tanggung jawab” sebagai agen utama penerjemah cita-cita rakyatnya. Negara tinggal memiliki yang empiris tanpa imajinatif. Ada wilayah, penduduk dan pemerintahan, tapi ia tak memiliki cita-cita dan tujuan bersama. Ujungnya, seluruh elite yang menghidupi kekuasaan akan hidup untuk dirinya. Sebaliknya seluruh rakyat tidak tahu ke mana nasibnya akan ditambatkan.

Atas beberapa gejala bernegara yang sedang kita alami, diperlukan perubahan cara pandang terhadap negara dan kewajiban pengkayaan model pemahaman terhadap rakyat. Walaupun negara adalah penyakit yang ditularkan lewat imaji dan media, ia harus dimaknai sebagai peluang dan tantangan yang harus selalu ditemukan jawabannya. Negara harus diletakkan sebagai sarana sekaligus tujuan. Dengan demikian negara harus meniscayakan hadirnya motif-motif dan perasaan rakyat sebagai basis penalaran, pengetahuan dan tindakan dengan sebuah pertanyaan; untuk apa ia kita hadirkan ke dunia?[]

GENEOLOGI EKONOMI NEOLIB

M. Yudhie Haryono

Mungkin sebuah kebetulan, atau agar kita kembali belajar. Ketika Prof. Sarbini Sumawinata meninggalkan kita semua, Prof. Widjojo Nitisastro meluncurkan dua bukunya sekaligus. Kita tahu, kedua profesor ini pada awalnya merupakan staf pribadi Presiden Soeharto pada awal Orde Baru dibentuk. Menurut Prof. Soebroto [2007:34], sejak tanggal 12 September 1966, keduanya diminta memberi masukan pada pemerintah berkenaan dengan nasib negara ke depan pasca tumbangnya Orde Lama. Sayangnya, keduanya kemudian menemukan dunia yang berbeda. Sebab, dalam perjalanan sejarahnya nanti, Widjojo menjadi andalan dan kepercayaan Presiden Soeharto, sebaliknya Sarbini berada di ujung berbeda karena sangat kritis pada pemerintah.

Jika pemikiran Sarbini beririsan dengan sedikit ekonom semisal, Prof. Mubyarto, Dawam Rahardjo, Sri-Edi Swasono, Subiakto Tjakrawerdaja, Adi Sasono, Muslimin Nasution, Tawang Alun, Revrison Baswir, Iman Sugema, Hendri Satorini, Rizal Ramli, Bini Buchory, Ichsanudin Nursi, Tobi Mutis, dan Bustanil Arifin. Sebaliknya, Widjojo punya pengikut yang menyebar di hampir tiap departemen yang beririsan dengan ekonomi. Dalam disertasi Rizal [1999], Widjojo kemudian menjadi salah satu begawan ekonom pembaharu terkemuka—sebagai kompetitor dari ekonom kerakyatan/Pancasila—yang berhasil menegakkan liberalisasi pembangunan ekonomi nasional. Widjojo kemudian disebut sebagai “Don Barkeley” yang sangat berpengaruh karena melahirkan sejumlah kader yang secara bergantian duduk di kabinet dan pemerintahan Presiden Soeharto.

Di antara ekonom yang pemikirannya beririsan dengan Widjojo adalah, Ali Wardana, Emil Salim, Mohammad Sadli, Subroto, Rachmat Saleh, Arifin Siregar, Radius Prawiro, JB Sumarlin, Saleh Afif, Soedrajat Djiwandono, Adrianus Mooy, Radinal Mochtar, Bustanul Arifin, Ginanjar Kartasasmita, Purnomo Yusgiantoro, Boediono, Sri Mulyani, Mari Pengestu.
Kaderisasi kemudian dilanjutkan dengan memberi kesempatan akademis bagi generasi selanjutnya. Sebut saja, Iwan Jaya Aziz, Barli Halim, Wagiono Ismangili, Sri Adiningsih, Rizal Malarangeng, Ikhsan, Chatib Basri, Lie Cin Wei, Anggito Abimanyu, Arsjad Anwar, Aris Ananta, Ari Kuncoro, Zulkiflimansyah, dkk.

Para kader Widjojo nanti dikenal sebagai mafia atau geng Berkeley. Mereka membentuk jaringan pemikir neolib hasil didikan alumni Universitas Berkeley, California. Dalam sejarahnya, kelompok “Mafia Berkeley” tersebut dipersiapkan secara sistematis oleh kekuatan luar Indonesia, sebagai bagian dari strategi perang dingin menghadapi kekuatan progresif di kawasan Asia. Bahkan, David Ransom (1970), menggolongkan kelompok ini sebagai mereka yang tercekoki ilmu pengetahuan liberal dalam rangka peng-Amerika-an, ketika mereka belajar di Berkeley dan universitas lain seperti Cornell, MIT, dan Harvard atas biaya dari The Ford Fondation.

Dalam prakteknya para ekonom ini meniti karirnya dengan mengembangkan jaringan internasional yang sangat kuat dan meluas seperti USAID, IMF, Bank Dunia, Ford dan Bank Pembangunan Asia. Sementara di tanah air, jejaring mereka diperluas melalui lembaga-lembaga seperti LPM UI dan Freedom Institute. Lembaga-lembaga ini menopang gagasan ekonomi neolib melalui beberapa kegiatan riset, penerbitan buku, seminar-seminar, pemberian award/penghargaan, pelatihan-pelatihan bahkan penyediaan beasiswa secara signifikan.
Tidak mengherankan nantinya jika produk hasil riset dan penelitian serta rekomendasi kebijakan [policy pappers] mereka sejalan dan seirama dengan rekomendasi para ekonom liberal yang bermarkas di Washington. Akhirnya, ibarat masakan, resep neolib sudah lengkap diracik di Indonesia dan disinergikan dengan Washington Plan, lalu disajikan secara apik, lezat dan ready to use ke seluruh pengambil kebijakan dan rakyat Indonesia.

Lalu, apa sejatinya agenda ekonom neolib di Indonesia? Mengacu pada definisinya, neolib adalah madzab ekonomi yang beriman pada fundamentalisme pasar dengan filosofi ekonomi-politik mengurangi atau menolak campur tangan pemerintah [state] dalam ekonomi domestik. Paham berpijak pada perilaku bisnis dan hak-hak milik pribadi.

Ekonomi neolib berangkat dari asumsi dasar bahwa pasar merupakan pengambil keputusan yang paling sah berdasarkan hak kepemilikan individu. Karena itu prakteknya, madzab neolib bergerak dalam praksis the rule of the market, anti subsidi, deregulasi, prifatisasi sehingga kesejahteraan bersama [welfare state-society] bukan tujuan, sebaliknya hanya sebagai akibat. Mereka menolak gotong royong dan kebersamaan dalam pengelolaan, kepemilikan dan tanggungjawab bersama dalam kebangkrutan, kepailitan bahkan kemiskinan.

Karena itu lanjutannya adalah kinerja ekonomi pasar dikawal dengan seperangkat aturan yang membuat relasi antara modal dan tenaga-kerja tidak selalu berakhir dengan subordinasi labour pada capital. Seperti tata ekonomi seabad lalu, neoliberalisme cenderung diikuti dengan gejala lepasnya kinerja modal dari kawalan, tetapi dalam bentuk yang lebih ekstrem. Apabila liberalisme klasik lebih menitikberatkan pada globalisasi pasar, maka neolib menitikberatkan pada globalisasi kapital. Liberalisme klasik ala Adam Smits itulah yang kemudian menelurkan imperialisme di tanah Asia hingga Afrika, yang dikenal dengan kolonialisasi. Sedangkan, neolib menelurkan imperialisme yang diperbarui, yakni kapitalisme global. Dalam prakteknya kemudian, IMF dan Bank dunia dikenal sebagai dokter spesialis yang punya resep yaitu liberalisasi dan deregulasi sektor keuangan, perdagangan, pendidikan, kesehatan, politik, sosial bahkan agama. Mengutip tesis Susana Sattoli (2000), resep liberalisasi dan deregulasi tersebut menjelma menjadi empat pilar utama. Keempatnya adalah 1). Kompensasi bagi biaya sosial dalam rangka restrukturisasi makroekonomi, 2). selektivitas pengeluaran biaya, 3). privatisasi pelayanan dasar, dan 4). desentralisasi sebagai tanggung jawab negara.

Di Indonesia, keempat ajaran neolib sudah lama dijajakan pada pemerintah. Tetapi mulai menjadi acuan dan diterapkan sejak krisis moneter tahun 1997. Sejak saat itu, IMF memaksakan kebijakan “reformasi struktural” kepada Pemerintah Indonesia, sebagai jawaban atas pembangunan ekonomi yang menguatkan kapasitas pemerintahan Orde Baru. Reformasi ekonomi ini berisi liberalisasi sektor keuangan, yang mencakup pengurangan anggaran publik dalam bidang pendidikan, kesehatan, pupuk, bahan bakar minyak, listrik, hingga deregulasi perdagangan.

Kebijakan-kebijakan ekonomi neolib masih berlanjut di masa reformasi, bahkan semakin menggila. Pada pemerintahan SBY-JK, ekonom neolibpun semakin menancapkan kukunya. Walau sejak awal, banyak kalangan optimis dan berharap dengan menilik desertasi SBY yang pro-poor dan pertanian, namun hal itu pupus tatkala SBY menempatkan figur-figur yang memiliki karakter neolib. Setelah berjalan selama dua tahun, banyak kebijakan pemerintah yang pro-pelaku bisnis daripada pro-rakyat. Lucunya, dalam praktek ekonomi neolib, banyak perusahaan yang ketika bangkrut meminta pertolongan pemerintah, tetapi ketika jaya, mereka lupa bayar pajak. Kasus BLBI dan Lapindo merupakan bukti tak terbantahkan tentang praktek ekonomi neolib di pemerintahan SBY-JK.

Semakin hari para ekonom neolib semakin kuat dan tangguh karena topangan sumberdaya manusia, modal, jaringan nasional dan internasional yang luas. Proyek terbesar mereka adalah menempatkan Indonesia bukan sebagai sebuah kesengajaan. Meminjam hipotesa B-Harry Priyono [2006], para agen neolib meletakkan negara Indonesia sebagai akibat dari bekerjanya pasar berkelanjutan. Inilah logika pasar mengatasi segalanya, mengatasi Indonesia dan seribu problemnya.

Kekuatan ini semakin luas-menggurita juga karena para ekonom kerakyatan/Pancasila mulai hidup tidak sebagai “barisan.” Mereka membiarkan idealisme kerakyatan ditenggelamkan oleh amuk dan hempasan globalisasi. Meminjam terminologi Perkins [2005], mereka membiarkan negara dikelola oleh para economic hitman yang lebih peduli pada tuan di luar negeri dan bersengaja membiarkan rakyat menjadi kuli di negeri sendiri. Akankah ini menjadi babak NKRI sebagai negara kuli republik Indonesia? Semoga tidak.[]