Monday, May 21, 2007

NEGARA ADALAH PENYAKIT

M. Yudhie Haryono

Sepintas judul di atas pasti dianggap mengada-ada. Tetapi jika direnungkan lebih mendalam, selayaknya hipotesa tersebut banyak mengandung kebenarannya.

Dalam sejarah kehadirannya, negara memang seperti mahluk bernyawa sejuta. Ia mati dan hidup kembali berulangkali dalam bentuk serupa tapi tak sama. Ia dirindukan sekaligus dicaci. Ia dicintai sekaligus dibenci. Karena itu sejatinya, sejarah rakyat bernegara adalah sejarah tentang perjalanan konstruksi ideologis yang enigmatis dan genap; antara yang empiris dan yang imajinatif. Kontruksi empiris dapat berupa perjuangan kemerdekaan, kesejahteraan dan keadilan. Atau dalam bahasa Declaration of Independen USA, proklamasi bangsa Amerika [1776] menjadi life, liberty and the persuit of happiness. Karena itu, sejarah perjuangan kemerdekaan selalu merupakan hal-hal empirik berkenaan dengan kebutuhan rakyat pada yang riil.

Di sinilah peran elite sebagai pemimpin pembebasan dan revolusioner menemui faktualisasinya. Elite menjawab dan menjadi jawaban terhadap berbagai pertanyaan kebutuhan rakyatnya. Elite berusaha memenuhi rasa keadilan [hukum], rasa ketentraman [kekuasaan], rasa kesejahteraan [ekonomi], kebutuhan struktural [politik], dan rasa identitas sosial [budaya].
Sedang konstruksi yang imajinatif adalah pengetahuan akan cita-cita bersama. Pada kita adalah bhineka tunggal ika atau gemah ripah loh jinawi. Imajinasi cita-cita besar ini melahirkan imajinasi-imajinasi turunan; melindungi rakyat dan tanah air, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, melaksanakan ketertiban dunia.

Empiris dan imajinatifnya negara kemudian melahirkan kebenaran tunggal versi para pendiri suatu negara. Satu kebenaran yang sangat fokus dan sektarian karena ditentukan hanya oleh sekelompok minoritas [elite pemimpin] yang berkuasa. Sekelompok minoritas elite inilah yang memaksa dan mengatur rakyatnya secara sistematis agar menyesuaikan diri dengan tujuan-tujuan dan cita-cita bersama. Selanjutnya, penerapan kekuasaan itu sendiri menciptakan dan melahirkan obyek-obyek pengetahuan baru dan mengakumulasikan satuan-satuan informasi baru.

Elite negara dalam sejarahnya memang ditakdirkan menjadi pemilik otoritas rakyatnya. Elitlah produsen politik dan budaya yang bersifat eksternal sekaligus internal. Dengan cara bernalar, berbicara, dan bekerja tentang dunia di sekitarnya, elite mengkonstruksi rakyat dan lingkungannya. Elite mempengaruhi dan menginjeksi arah tujuan dan ideologi rakyatnya.
Persoalannya adalah mengapa elite seringkali menciderai amanat rakyat banyak? Jika ditinjau dari teori keberadaannya hal ini karena dua sebab. Pertama, kegagalan memahami watak rakyatnya. Dalam kontek Indonesia, watak rakyat kita pada umumnya dapat dikelompokkan menjadi empat; 1). Plural tetapi homogen. 2). Ramah tetapi komunalistik. 3). Toleran tetapi mudah konflik kekerasan. 4). Punya hukum nasional tetapi menghidupi hukum lokal.

Kedua, kegagalan memahami suara rakyat. Dalam hal ini suara rakyat sering tidak terepresentasi di lembaga-lembaga wakilnya [DPR]. Rakyat memang dapat melihat lahirnya sebuah putusan publik tetapi tidak dapat terlibat dalam pembuatan keputusan publik tersebut. Rakyat akhirnya merasa tidak memiliki keputusan publik yang telah disepakati oleh wakilnya.
Dua kegagalan inilah penyebab dari lahirnya dua model perilaku elite di tanah air. Pertama, elite literal [absolute]. Kelompok elite ini punya karakter melihat Negara dengan kacamata teologi imanensi. Mereka melihat Tuhan yang hadir dalam realitas dunia. Karenanya, manusia menjadi wakil Tuhan (khalifah) di bumi. Elite ini menempatkan aturan publik sebagai segalanya. Mereka sangat minimalis dalam tafsir aturan publik. Secara sosiologis melahirkan kultus dan kharisma kepemimpinan. Karenanya, mereka sangat komunalistik dan menempatkan negara sebagai cara untuk kembali ke akhirat (eskatologis). Filosofi hidupnya menjadi; elite memerintah, rakyat diperintah. Elite berkuasa, rakyat dikuasai. Elite banyak benar, rakyat sering salah.

Kedua, elite liberal [relative]. Kelompok elite ini punya karakter melihat Negara dengan kacamata teologi transendensi. Mereka melihat Tuhan tidak memiliki kaitan apa pun dengan realitas dunia ini kecuali sekadar sebagai penyebab awal. Elite manusia adalah kehendak bebas. Aturan publik tunduk di bawah kendali rasio. Elite ini banyak mengenal tafsir aturan publik. Secara sadar hidup dalam radikalisme argumentatif, karenanya bersifat liberalis dan Negara adalah cara manusia untuk memahami dunia.

Filosofi hidupnya tidak ada kebenaran mutlak di negara. Yang sakral hanyalah Tuhan, selainnya profan. Problemnya, kedua elite yang hidup di Indonesia memiliki kesamaan pandangan dalam birokrasi pemerintahan yaitu; jika dapat diundur kenapa harus sekarang; jika dapat dipersulit kenapa dipermudah. Artinya, keduanya suka menunda-nunda persoalan tanpa rasa bersalah.

Negara dan Globalisasi
Jika tak segera melakukan revitalisasi, negara kita akan tinggal nama. Apalagi, hantu globalisasi terus menancapkan kukunya. Terlebih dalam hipotesa William Robinson, Promoting Polyarchy: Globalization, US Intervension and Hegemony (1996) menunjukkan bahwa globalisasi terdiri dari dua proses yang saling berjalan. Pertama, adalah kulminasi dari proses yang dimulai beberapa abad yang lalu, di mana hubungan produksi kapitalis meruntuhkan dan menggantikan seluruh hubungan pra-kapitalis hampir di seluruh dunia. Itu artinya meruntuhkan struktur negara, menyempitkan kapasitas pemerintahan.

Kedua, adalah transisi lebih dari beberapa dekade hubungan bangsa-bangsa melalui pertukaran komoditas dan aliran modal dalam pasar dunia yang terintegrasi, di mana di dalamnya model produksi yang berbeda berkoeksistensi dalam formasi-formasi sosial ekonomi nasional dan regional yang lebih luas bisa lepas dari keterkaitan eksternalnya, yaitu globalisasi proses produksi itu sendiri. Itu artinya, jikalau negara hadir, ia adalah akibat, bukan sebab. Ia ada tanpa prakarsa, bukan genuisitas. Ia tanpa sengaja, bukan proyek bersama.
Jika ini yang terjadi, negara tak lagi memiliki “tanggung jawab” sebagai agen utama penerjemah cita-cita rakyatnya. Negara tinggal memiliki yang empiris tanpa imajinatif. Ada wilayah, penduduk dan pemerintahan, tapi ia tak memiliki cita-cita dan tujuan bersama. Ujungnya, seluruh elite yang menghidupi kekuasaan akan hidup untuk dirinya. Sebaliknya seluruh rakyat tidak tahu ke mana nasibnya akan ditambatkan.

Atas beberapa gejala bernegara yang sedang kita alami, diperlukan perubahan cara pandang terhadap negara dan kewajiban pengkayaan model pemahaman terhadap rakyat. Walaupun negara adalah penyakit yang ditularkan lewat imaji dan media, ia harus dimaknai sebagai peluang dan tantangan yang harus selalu ditemukan jawabannya. Negara harus diletakkan sebagai sarana sekaligus tujuan. Dengan demikian negara harus meniscayakan hadirnya motif-motif dan perasaan rakyat sebagai basis penalaran, pengetahuan dan tindakan dengan sebuah pertanyaan; untuk apa ia kita hadirkan ke dunia?[]

4 comments:

nenyroslianti said...

aku bukan mau komentar isi tulisan (nanti aja ya, mata sampe kelilipan pak!) tapi mo minta fee kedua hehe.. ini belum selesai lain waktu aku edit lagi ok! sekalian biar cepet kirim cover2nya

bye!

nenyroslianti said...

test..

nenyroslianti said...

tuh bisa kok pak!

yudhie said...

segera honor dikirimkan ke rekening bunda. hayo siapa mau bantu membayarnya?