Monday, May 21, 2007

BEYOND REFORMASI

M. Yudhie Haryono

Saatnya melakukan transformasi negara. Inilah sebenarnya pesan utama reformasi 1998. Negara transformatif, kata Stiglitz [2001], adalah negara yang dalam perspektif pembangunannya menjadi aktif dalam kebijakan ekonomi dan menguatkan sambil mempromosikan industri nasional, pembangunan teknologi, dan jaminan sosial yang tidak bisa dicapai melalui mekanisme pasar liberal. Negara transformatif juga melakukan nasionalisasi asset produksi strategis yang diperuntukkan bagi rakyat banyak, menjauhi praktek privatisasi sambil mengelola pasar liberal menjadi pasar sosial.

Mengapa negara harus melakukan transformasi menjadi pelaku aktif? Jawabannya karena di penghujung kekuasaan Orde Baru, ekonomi konglomerasilah yang dipilih pemerintah. Sebuah pilihan yang menghasilkan kebijakan BLBI sehingga menghasilkan efek lanjut berupa krisis ekonomi berkepanjangan. Saat yang bersamaan, kita dihempas oleh sapuan globalisasi. Sebuah energi pasar liberal yang mengandung satu lompatan kualitas perluasan kekuasaan ekonomi-politik seperti yang telah berlangsung berabad-abad. Sebuah perluasan yang didorong oleh persaingan antar fraksi di tengah kelas berkuasa untuk memperebutkan kekuasaan dan hak eksploitasi atas rakyat miskin.

Kita menyadari bahwa globalisasi hanyalah satu bentuk yang lebih dahsyat dari imperialisme kuno. Sebab, ia memberi dimensi penghisapan yang lebih kuat pada penghancuran lingkungan. Ia juga menghadirkan perang sebagai cara menciptakan "pasar baru." Karena itu, kita menjadi sulit memercayai kenyataan bahwa negara besar seperti AS, di abad ke-21 yang katanya beradab ini, tanpa alasan yang jelas menyerang dan menduduki negara Irak. Suatu hal yang tidak mungkin terjadi kecuali karena Irak kaya minyak, ladang SDA sekaligus pasar baru. Akibatnya, kekerasan dan peperangan serta kesenjangan antar-bangsa yang ditimbulkannya menjadi jauh lebih besar, lebih lebar.

Sejarah mencatat bahwa kekayaan yang diakumulasi di Eropa diambil dari SDA di Asia, Afrika, dan Amerika Latin. Karena itu, tanpa perusakan industri tekstil India yang kaya, tanpa pengambilalihan perdagangan rempah-rempah, tanpa pembunuhan besar-besaran terhadap suku asli Amerika, tanpa perbudakan terhadap orang-orang Afrika, revolusi industri tidak akan mendatangkan kekayaan bagi Eropa maupun Amerika Serikat [Manurung, 2002].

Tentu saja, peristiwa tersebut merupakan pengambilalihan SDA dan pasar lokal secara paksa di negara-negara Selatan sehingga membuat kaya negara-negara Utara. Suatu proses berkelanjutan yang menciptakan kemiskinan di negara-negara Selatan. Sejarah negara-negara Utara yang kaya atau saat ini disebut sebagai negara maju adalah sejarah imperialisme yang mempromosikan demokrasi. Dengan demokrasi yang kuat sehingga menghasilkan negara kuat [strong state] mereka melakukan penetrasi ekonomi-politik terhadap negara lain. Karena itu, hipotesa bahwa peran negara menjadi sangat penting untuk mencapai kekayaan dan kesejahteraan seperti yang dicapainya sekarang, terbukti di lapangan [DeSoto, 2003].

Negara Inggris misalnya, pada abad ke-16, menerapkan proteksi terhadap industri wool-nya sehingga mereka menjadi negara produsen wool terbesar di jamannya. Kebijakan proteksionistis itu berlangsung sampai abad ke-19 ketika Inggris mulai meliberalisasi pasarnya. Pada saat itu, Inggris telah menjadi negara industri yang dominan. Amerika Serikat pun menunjukkan sejarah yang sama. Bahkan sebagian alasan terjadinya Civil War adalah perihal perselisihan tentang tarif antara negara-negara bagian di utara dan selatan. Barulah ketika Amerika Serikat telah menjadi kekuatan dunia yang dominan pasca Perang Dunia II, ia melangkah memasuki rejim pasar liberal.

Karena itu, negara-negara Selatan menjadi miskin bukan karena mereka malas, birokrasi yang inefesien atau pemerintah mereka korup. Mereka miskin karena kekayaan mereka diambilalih, kemampuan mereka untuk menciptakan kekayaan dimusnahkan serta pasar sosial mereka dirusak dengan pasar liberal.

Reformasi adalah Transformasi Negara
Negara Indonesia adalah ‘konsepsi politik’ tentang sebuah entitas yang tumbuh berdasarkan kesadaran politik untuk merdeka dengan meletakkan individu ke dalam kerangka kerakyatan. Dalam kerangka ini, setiap rakyat dipertautkan dalam suatu komunitas politik yang berkedudukan sederajat di depan hukum, dengan operasi atas prinsip kekariban dan keadilan serta dalam naungan filosofi kekeluargaan. Sedang reformasi adalah usaha nalar sadar waktu sekaligus wahyu untuk selalu memperbaiki pembangunan di masa lalu yang salah sambil meneruskan yang benar.

Sayangnya, pasca sembilan tahun reformasi kita jalankan, yang hadir di tengah rakyat justru non government individual. Sebuah keadaan absennya negara sehingga melahirkan semangat warga biasa yang mengambil alih langkah-langkah negara dalam melakukan gerakan kemanusiaan, pembangunan bahkan ketertiban [BBC, 4/6/06].

Karena alasan itulah, debat tentang peranan negara dalam pasar liberal, menjadi penting dilakukan. Apalagi, ketika pemerintah kita kini dipimpin oleh presiden dan wakil presiden yang dipilih langsung oleh rakyat. Dengan kondisi yang seperti itu, mereka memiliki legitimasi yang jauh lebih kuat untuk mengambil langkah strategis sekaligus tanggung jawab menyangkut keberhasilan dan kegagalan negara dan pemerintahannya. Mereka diharapkan mampu menjabarkan secara konkret konstitusi ke dalam tindakan-tindakan yang berpihak kepada rakyat (affirmative actions policy).

Sungguh sayang jika demokrasi dan reformasi yang telah susah payah kita perjuangkan hanya diisi oleh program koalisi konglomerat politik dan konglomerat ekonomi. Konglomerat politik adalah mereka yang merasa punya kekuasaan penuh karena dipilih langsung oleh rakyat sehingga anti kritik dan banyak tebar pesona. Konglomerat ekonomi [kita] adalah pelaku ekonomi yang hanya mengandalkan proyek dari pemerintah dengan cara KKN, bukan karena capaian-capaian bisnis yang panjang dan kuat.

Singkatnya, untuk menjadi konglomerat politik, ia harus pandai merangkul konglomerat ekonomi sehingga melahirkan kebijakan pro-konglomerat, bukan pro-rakyat. Lahirlah politik kapitalis dan kapitalis politik. Sebuah adonan dan efek samping dari demokrasi liberal yang berbiaya tinggi sehingga harus kita jauhi.

Di sinilah logika transformasi negara dan para pelakunya menemukan argumentasinya. Sebuah perilaku transformatif yang membangun semangat konsensus ekonomi-politik dan bukan pada kontrak ekonomi-politik. Semangat konsensus ekonomi-politik mengangankan diembannya secara bersama hal-hal terburuk yang menimpa negara ini apabila sampai terjadi sesuatu yang di luar kehendak bersama. Suatu semangat yang antisipatif dengan mengambil nilai terendah dari tindakan. Artinya, kesuksesan memang tujuan, tetapi ketidaksuksesan juga harus ditanggung bersama [ringan sama dijinjing, berat sama dipikul].

Transformasi negara dengan demikian memberi pesan jelas pada kita; kuatkan negaramu, baru panggil pasar [liberal] semaumu. Kuatkan kapasitas pemerintahanmu, baru kita masuk arena global dengan menegakkan dada. Inilah pesan reformasi yang masih dapat kita perjuangkan.[]

1 comment:

roro jonggrang said...

yud....kamu mmg dari dulu tidak berubah,pinter,ambisius dan gw salut dan bangga py temen spt kamu tapi tetep jangan lupa spt komentar barlian kapan akan membuat generasi penerusmu heeheeee. good luck ya...