Monday, May 21, 2007

GENEOLOGI EKONOMI NEOLIB

M. Yudhie Haryono

Mungkin sebuah kebetulan, atau agar kita kembali belajar. Ketika Prof. Sarbini Sumawinata meninggalkan kita semua, Prof. Widjojo Nitisastro meluncurkan dua bukunya sekaligus. Kita tahu, kedua profesor ini pada awalnya merupakan staf pribadi Presiden Soeharto pada awal Orde Baru dibentuk. Menurut Prof. Soebroto [2007:34], sejak tanggal 12 September 1966, keduanya diminta memberi masukan pada pemerintah berkenaan dengan nasib negara ke depan pasca tumbangnya Orde Lama. Sayangnya, keduanya kemudian menemukan dunia yang berbeda. Sebab, dalam perjalanan sejarahnya nanti, Widjojo menjadi andalan dan kepercayaan Presiden Soeharto, sebaliknya Sarbini berada di ujung berbeda karena sangat kritis pada pemerintah.

Jika pemikiran Sarbini beririsan dengan sedikit ekonom semisal, Prof. Mubyarto, Dawam Rahardjo, Sri-Edi Swasono, Subiakto Tjakrawerdaja, Adi Sasono, Muslimin Nasution, Tawang Alun, Revrison Baswir, Iman Sugema, Hendri Satorini, Rizal Ramli, Bini Buchory, Ichsanudin Nursi, Tobi Mutis, dan Bustanil Arifin. Sebaliknya, Widjojo punya pengikut yang menyebar di hampir tiap departemen yang beririsan dengan ekonomi. Dalam disertasi Rizal [1999], Widjojo kemudian menjadi salah satu begawan ekonom pembaharu terkemuka—sebagai kompetitor dari ekonom kerakyatan/Pancasila—yang berhasil menegakkan liberalisasi pembangunan ekonomi nasional. Widjojo kemudian disebut sebagai “Don Barkeley” yang sangat berpengaruh karena melahirkan sejumlah kader yang secara bergantian duduk di kabinet dan pemerintahan Presiden Soeharto.

Di antara ekonom yang pemikirannya beririsan dengan Widjojo adalah, Ali Wardana, Emil Salim, Mohammad Sadli, Subroto, Rachmat Saleh, Arifin Siregar, Radius Prawiro, JB Sumarlin, Saleh Afif, Soedrajat Djiwandono, Adrianus Mooy, Radinal Mochtar, Bustanul Arifin, Ginanjar Kartasasmita, Purnomo Yusgiantoro, Boediono, Sri Mulyani, Mari Pengestu.
Kaderisasi kemudian dilanjutkan dengan memberi kesempatan akademis bagi generasi selanjutnya. Sebut saja, Iwan Jaya Aziz, Barli Halim, Wagiono Ismangili, Sri Adiningsih, Rizal Malarangeng, Ikhsan, Chatib Basri, Lie Cin Wei, Anggito Abimanyu, Arsjad Anwar, Aris Ananta, Ari Kuncoro, Zulkiflimansyah, dkk.

Para kader Widjojo nanti dikenal sebagai mafia atau geng Berkeley. Mereka membentuk jaringan pemikir neolib hasil didikan alumni Universitas Berkeley, California. Dalam sejarahnya, kelompok “Mafia Berkeley” tersebut dipersiapkan secara sistematis oleh kekuatan luar Indonesia, sebagai bagian dari strategi perang dingin menghadapi kekuatan progresif di kawasan Asia. Bahkan, David Ransom (1970), menggolongkan kelompok ini sebagai mereka yang tercekoki ilmu pengetahuan liberal dalam rangka peng-Amerika-an, ketika mereka belajar di Berkeley dan universitas lain seperti Cornell, MIT, dan Harvard atas biaya dari The Ford Fondation.

Dalam prakteknya para ekonom ini meniti karirnya dengan mengembangkan jaringan internasional yang sangat kuat dan meluas seperti USAID, IMF, Bank Dunia, Ford dan Bank Pembangunan Asia. Sementara di tanah air, jejaring mereka diperluas melalui lembaga-lembaga seperti LPM UI dan Freedom Institute. Lembaga-lembaga ini menopang gagasan ekonomi neolib melalui beberapa kegiatan riset, penerbitan buku, seminar-seminar, pemberian award/penghargaan, pelatihan-pelatihan bahkan penyediaan beasiswa secara signifikan.
Tidak mengherankan nantinya jika produk hasil riset dan penelitian serta rekomendasi kebijakan [policy pappers] mereka sejalan dan seirama dengan rekomendasi para ekonom liberal yang bermarkas di Washington. Akhirnya, ibarat masakan, resep neolib sudah lengkap diracik di Indonesia dan disinergikan dengan Washington Plan, lalu disajikan secara apik, lezat dan ready to use ke seluruh pengambil kebijakan dan rakyat Indonesia.

Lalu, apa sejatinya agenda ekonom neolib di Indonesia? Mengacu pada definisinya, neolib adalah madzab ekonomi yang beriman pada fundamentalisme pasar dengan filosofi ekonomi-politik mengurangi atau menolak campur tangan pemerintah [state] dalam ekonomi domestik. Paham berpijak pada perilaku bisnis dan hak-hak milik pribadi.

Ekonomi neolib berangkat dari asumsi dasar bahwa pasar merupakan pengambil keputusan yang paling sah berdasarkan hak kepemilikan individu. Karena itu prakteknya, madzab neolib bergerak dalam praksis the rule of the market, anti subsidi, deregulasi, prifatisasi sehingga kesejahteraan bersama [welfare state-society] bukan tujuan, sebaliknya hanya sebagai akibat. Mereka menolak gotong royong dan kebersamaan dalam pengelolaan, kepemilikan dan tanggungjawab bersama dalam kebangkrutan, kepailitan bahkan kemiskinan.

Karena itu lanjutannya adalah kinerja ekonomi pasar dikawal dengan seperangkat aturan yang membuat relasi antara modal dan tenaga-kerja tidak selalu berakhir dengan subordinasi labour pada capital. Seperti tata ekonomi seabad lalu, neoliberalisme cenderung diikuti dengan gejala lepasnya kinerja modal dari kawalan, tetapi dalam bentuk yang lebih ekstrem. Apabila liberalisme klasik lebih menitikberatkan pada globalisasi pasar, maka neolib menitikberatkan pada globalisasi kapital. Liberalisme klasik ala Adam Smits itulah yang kemudian menelurkan imperialisme di tanah Asia hingga Afrika, yang dikenal dengan kolonialisasi. Sedangkan, neolib menelurkan imperialisme yang diperbarui, yakni kapitalisme global. Dalam prakteknya kemudian, IMF dan Bank dunia dikenal sebagai dokter spesialis yang punya resep yaitu liberalisasi dan deregulasi sektor keuangan, perdagangan, pendidikan, kesehatan, politik, sosial bahkan agama. Mengutip tesis Susana Sattoli (2000), resep liberalisasi dan deregulasi tersebut menjelma menjadi empat pilar utama. Keempatnya adalah 1). Kompensasi bagi biaya sosial dalam rangka restrukturisasi makroekonomi, 2). selektivitas pengeluaran biaya, 3). privatisasi pelayanan dasar, dan 4). desentralisasi sebagai tanggung jawab negara.

Di Indonesia, keempat ajaran neolib sudah lama dijajakan pada pemerintah. Tetapi mulai menjadi acuan dan diterapkan sejak krisis moneter tahun 1997. Sejak saat itu, IMF memaksakan kebijakan “reformasi struktural” kepada Pemerintah Indonesia, sebagai jawaban atas pembangunan ekonomi yang menguatkan kapasitas pemerintahan Orde Baru. Reformasi ekonomi ini berisi liberalisasi sektor keuangan, yang mencakup pengurangan anggaran publik dalam bidang pendidikan, kesehatan, pupuk, bahan bakar minyak, listrik, hingga deregulasi perdagangan.

Kebijakan-kebijakan ekonomi neolib masih berlanjut di masa reformasi, bahkan semakin menggila. Pada pemerintahan SBY-JK, ekonom neolibpun semakin menancapkan kukunya. Walau sejak awal, banyak kalangan optimis dan berharap dengan menilik desertasi SBY yang pro-poor dan pertanian, namun hal itu pupus tatkala SBY menempatkan figur-figur yang memiliki karakter neolib. Setelah berjalan selama dua tahun, banyak kebijakan pemerintah yang pro-pelaku bisnis daripada pro-rakyat. Lucunya, dalam praktek ekonomi neolib, banyak perusahaan yang ketika bangkrut meminta pertolongan pemerintah, tetapi ketika jaya, mereka lupa bayar pajak. Kasus BLBI dan Lapindo merupakan bukti tak terbantahkan tentang praktek ekonomi neolib di pemerintahan SBY-JK.

Semakin hari para ekonom neolib semakin kuat dan tangguh karena topangan sumberdaya manusia, modal, jaringan nasional dan internasional yang luas. Proyek terbesar mereka adalah menempatkan Indonesia bukan sebagai sebuah kesengajaan. Meminjam hipotesa B-Harry Priyono [2006], para agen neolib meletakkan negara Indonesia sebagai akibat dari bekerjanya pasar berkelanjutan. Inilah logika pasar mengatasi segalanya, mengatasi Indonesia dan seribu problemnya.

Kekuatan ini semakin luas-menggurita juga karena para ekonom kerakyatan/Pancasila mulai hidup tidak sebagai “barisan.” Mereka membiarkan idealisme kerakyatan ditenggelamkan oleh amuk dan hempasan globalisasi. Meminjam terminologi Perkins [2005], mereka membiarkan negara dikelola oleh para economic hitman yang lebih peduli pada tuan di luar negeri dan bersengaja membiarkan rakyat menjadi kuli di negeri sendiri. Akankah ini menjadi babak NKRI sebagai negara kuli republik Indonesia? Semoga tidak.[]

No comments: