Monday, May 21, 2007

BANGSA YANG SEDANG MENUNGGU

M. Yudhie Haryono

Mengapa kita memperdebatkan kembali konstitusi bangsa ini? Pertanyaan penting ini menyimpan ketakjuban. Ketakjuban adalah sebuah sikap yang timbul saat seseorang menghadapi sesuatu yang mencengangkan. Mengapa mencengangkan? Sebab, sesungguhnya amandemen UUD-45 yang sudah empat kali dilakukan telah mengubah dasar-dasar konsensus dalam penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara baik pada tataran suprastruktur maupun infrasrtuktur politik.

Amandemen UUD-45 kemudian memberikan ruang diterbitkannya berbagai peraturan perundangan di bidang politik. Sebagai penjabarannya telah dirumuskan format politik baru bagi kelembagaan demokrasi. Amandemen UUD-45 telah secara tegas menata kembali kewenangan kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif termasuk di dalamnya kekuasaan dari lembaga-lembaga yang baru seperti Mahkamah Konstitusi, Komisi Yudisial, dan Dewan Perwakilan Daerah. Selanjutnya, konsensus baru hubungan sipil-militer yang menunjung supremasi sipil dan hubungan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dengan Kepolisian Republik Indonesia (Polri) juga kita temukan.

Dengan penataan ini bukankah amandemen telah memberikan peluang bagi terwujudnya keseimbangan kekuasaan? Bukankah amandemen telah sejiwa dengan reformasi? Banyak orang menjawabannya dengan kata "belum." Sebab, amandemen tersebut ternyata juga membawa beberapa cacat bawaan.

Memang, pasca pemilu demokratis 2004, beberapa capaian tersebut sangat menggembirakan kita semua. Pembangunan budaya, politik dan sosial sudah meningkat. Bidang budaya mengalami kemajuan dengan ditandai oleh meningkatnya pemahaman terhadap keragaman budaya, pentingnya toleransi, dan pentingnya sosialisasi penyelesaian masalah tanpa kekerasan, serta mulai berkembangnya interaksi antarbudaya.

Namun, di sisi lain upaya pembangunan jatidiri bangsa Indonesia, seperti: penghargaan pada nilai budaya dan bahasa, nilai-nilai solidaritas sosial, kekeluargaan, dan rasa cinta tanah air dirasakan semakin memudar. Hal tersebut disebabkan antara lain oleh belum optimalnya upaya pembentukan karakter bangsa, kurangnya keteladanan para pemimpin, lemahnya budaya patuh pada hukum, cepatnya penyerapan budaya global yang negatif, dan kurang mampunya menyerap budaya global yang lebih sesuai dengan karakter bangsa, serta ketidakmerataan kondisi sosial dan ekonomi masyarakat.

Pembangunan politik juga terlihat dengan berkembang kesadaran-kesadaran terhadap hak-hak dasar masyarakat dalam kehidupan politik. Perkembangan ini diharapkan mampu menstimulasi masyarakat lebih jauh untuk makin aktif berpartisipasi dalam mengambil inisiatif bagi pengelolaan urusan-urusan publik. Perkembangan ini tidak terlepas dari berkembangnya peran partai politik dan masyarakat sipil. Di samping itu, kebebasan pers dan media juga telah jauh berkembang. Hal ini ditandai dengan adanya peran aktif pers dan media dalam menyuarakan aspirasi masyarakat dan melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan.
Pembangunan sosial juga terlihat dalam upaya membangun kualitas hidup manusia. Kita tahu sumber daya manusia (SDM) merupakan subyek dan obyek pembangunan sejak masih dalam kandungan hingga mati. Menurut laporan World Economic Forum, SDM negara kita berada pada urutan ke 50 dari 125 negara yang disurvei. Secara rinci rangking tersebut merupakan komposit dari Angka Harapan Hidup saat lahir sebesar 66,6 tahun, angka melek aksara penduduk usia 15 tahun ke atas sebesar 87,9 persen, dan gabungan angka partisipasi kasar jenjang pendidikan dasar sampai dengan pendidikan tinggi sebesar 65 persen dan Pendapatan Domestik Bruto per kapita yang dihitung berdasarkan paritas daya beli (purchasing power parity) sebesar US$ 3.230.

Konstitusi Bervisi Keindonesiaan
Nah, yang belum dijawab oleh amandemen UUD-45 adalah masalah ideal berkenaan dengan sikap dasar dalam berpolitik dan berekonomi. Politik sebagai proses memenuhi cita-cita rakyat belum sepenuhnya tercermin dari hasil amandemen. Padahal, untuk menjadi politik yang sehat, rakyat banyak harus dilibatkan dalam proses amandemen yang rasional dan sehat. Sehingga proses amandemen tidak lagi diputuskan secara privat hanya oleh DPR. Dengan kata lain, amandemen bukan hanya keputusan sepihak, ia membutuhkan legitimasi rakyat banyak.
Pembangunan ekonomi juga tidak banyak menyerap tenaga kerja [pengangguran], mengurangi kemiskinan, mengurangi kesenjangan sosial yang tinggi dan tidak menyejahterakan banyak orang. Sebab, kenyataannya, semua butuh kesejahteraan tetapi tidak semua mempunyai kemampuan untuk mencapainya.

Apa akar masalahnya? Ternyata jawabannya adalah amandemen UUD-45 membawa gagasan politik dan ekonomi neo-liberalisme yang tidak sesuai dengan watak asli bangsa ini. Politik-ekonomi neo-liberal membawa sikap individualisme yang lebih memihak elit kaya sambil melemahkan fungsi dan kapasitas negara.

Di sini kita berhadapan dengan kondisi-kondisi epistemologis, yaitu proses pembentukan sebuah bangsa. Pertama, pembentukan sebuah bangsa mengandung momen identifikasi yang melahirkan dominasi. Proses epistemis ini adalah mengenali diri sambil mendefinisikannya bahwa bangsa ini dilahirkan demi dan atas nama anti penjajahan [old-liberalism]. Kita merdeka sebab kita tidak ingin dijajah bangsa lain sehingga bisa menjadi tuan di negeri sendiri. Kedua, pembentukan sebuah bangsa mengandung rasionalisasi atas cita-cita lanjutan yang kemudian terumuskan dalam pembukaan UUD-45; (1) melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia; (2) memajukan kesejahteraaan umum; (3) mencerdaskan kehidupan bangsa; dan (4) ikut menciptakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Sebuah cita-cita mulia yang menghasilkan konsensus bahwa apapun amandemen yang kita lakukan, kita tidak akan mengubahnya.

Selanjutnya kita berhadapan dengan kondisi antropologis. Yaitu sebuah sikap cinta tanah air sebagi sesuatu yang bernilai. Karena itu, menemukan bagaimana sebuah sistem nilai memotivasi manusia untuk melakukan cinta terhadap bangsanya adalah langkah penting untuk menemukan pemenuhan cita-cita bangsanya di masa depan. Hasilnya, kita merindukan akan kepastian tentang kehidupan yang aman dan sentosa. Karena itu kita bersemboyan bhineka tunggal ika dan menjauhi fanatisme, radikalisme, atau ekstremisme.

Yang terakhir, kita berhadapan dengan kondisi sosiologis. Kita tahu, pertumbuhan dan konsentrasi modal di dalam masyarakat modern menimbulkan luapan populasi. Timbunan individu-individu dari berbagai kelompok di satu tempat akan mengaburkan struktur-struktur sosial dan politis masyarakat itu. Dalam timbunan populasi yang terkonsentrasi pada kegiatan akumulasi modal seperti itu, terjadi defisit partisipasi politis karena batas-batas publik dan privat diterjang oleh desakan kekuasaan modal. Timbunan populasi semacam itu menghasilkan individu yang depolitis, yaitu steril dari partisipasi demokratis.

Depolitisasi sebagai ekses konsentrasi kegiatan ekonomis ini dapat menimbulkan pengalaman isolasi dalam ego karena ego merasa tercerabut dari komunitasnya. Dalam ketercerabutannya, manusia mengembangkan neo tribalism. Yaitu lahirnya situasi from national society to tribal society atau pergerakan terbalik dari minal-syu'ub wal qaibal ilal umma, menjadi minnal-umma ilal syu'ub wal qabail, sebagaimana ditulis Daniel Bell (1978). Sebuah gerakan yang berayun dari nasionalisme ke arah sukuisme. Atau munculnya sikap dan perilaku loyalitas kenegaraan (seseorang) yang dibangun berdasarkan perasaan kesukuan (al-daulah al-badawah). Tuntutan kemerdekaan dan kekerasan antara suku adalah buktinya.

Ke depan hemat penulis, amandemen UUD-45 harus mengagungkan kembali kemajemukan dengan semboyan E Pluribus Unum, ’bersatu dalam perbedaan.’ Kita harus menghasilkan UUD yang mendesain etika solidaritas kekeluargaan sebagai sarana sekaligus hasil sebuah ranah publik yang sehat. Disebut sarana karena melaluinya ranah publik menjadi sungguh-sungguh publik, bukan sekadar ajang perjuangan kepentingan jangka pendek/diri/golongan/suku/ras. Dalam hal ini, ranah publik berfungsi mendesektarianisasi nilai-nilai privat. Di lain pihak, ranah publik yang sehat menghasilkan etika kekeluargaan yang kuat. Saat segala urusan dibicarakan secara fair dalam semangat kekeluargaan guna menjamin kesetaraan dan kebebasan, lambat laun sebuah bangunan etika kekeluargaan dan nasionalisme yang kokoh akan tegak. Mari kita tunggu bersama hasilnya.[]

No comments: