Friday, December 28, 2007

GAGASAN EKONOMI BARU KAUM MUDA

M. Yudhie Haryono

Hiruk pikuk bulan oktober kemarin ternyata
menghasilkan kebangkitan kembali kaum muda. Lewat
ikrar ’saatnya kaum muda memimpin’ dan peringatan
sumpah pemuda di berbagai kota, kaum muda sepertinya
sedang merasa terpanggil untuk melengkapi gerakan
cinta tanah airnya secara lebih lengkap. Lalu, dengan
pertemuan dan ikrar yang meluas, kesadaran kebangkitan
bangsa terasa dipanggul kembali oleh mereka. Kaum muda
merasa wajib menghadirkan reformasi politik dan
ekonomi sebagai jawaban atas kelambanan pemerintah
dalam menyelesaikan problem rakyat banyak. Jika 1908,
1945, 1966, 1974, 1998 dan 2002 kaum muda lebih tajam
pada tuntutan politik, gerakan kaum muda tahun ini
mulai mewacanakan ”reformasi ekonomi.”
Kesadaran ini menguat karena mereka merasa ada yang
kurang dari gerakan kaum muda yang telah berlangsung.
Menyadari akan ”absennya” gagasan reformasi ekonomi
pada tiap angkatan, kaum muda mengingat salah satu
wawancara serius yang dilakukan Indonesianis terkemuka
Benedict ROG Anderson di salah satu media terkemuka
pada 15/8/07. Anderson mengungkapkan bahwa, “yang
menghancurkan demokrasi [liberal] bukanlah masyarakat
luas, tetapi ambisi dan kerakusan kuasa dari tentara
[TNI], Bung Karno dan sebagian elit politik lainnya.”
Hal ini karena tentara dan Bung Karno tidak melihat
demokrasi sebagai tantangan dan peluang, sebaliknya
sebagai ancaman yang menakutkan kekuasaan mereka.
Demokrasi menjadi musuh yang menghambat dan
menakut-nakuti kekuasaan mereka. Dengan ketakutan yang
berlebihan pada demokrasi, gagasan reformasi ekonomi
yang bertujuan ”mensejahterakan rakyat banyak” menjadi
terbengkalai bahkan tenggelam. Satu peristiwa yang
selanjutnya membuat presiden Soeharto merusaknya
dengan mengharamkan demokrasi dan menggantinya dengan
ekonomi [neolib] sebagai panglima. Persoalannya,
presiden Soeharto yang menyadari kebutuhan ekonomi
riil bagi terciptanya stabilitas ekonomi agar
melahirkan kesejahteraan, ternyata juga ”gagal total.”
Hal ini karena menurut kaum muda, presiden Soeharto
lebih beriman pada ekonomi pasar yang dihidupi dari
”hutang-piutang,” pro-pertumbuhan dan tidak berbasis
pada ekonomi riil, ekonomi kerakyatan.
Dalam sejarahnya, kaum muda menyadari sepenuhnya bahwa
kata Indonesia berasal dari dua kata bahasa Yunani,
yaitu Indos yang berarti "India" dan nesos yang
berarti "pulau." Jadi, kata Indonesia berarti
kepulauan India, atau kepulauan yang berada di wilayah
India. Tetapi, karena nama yang “impor” inilah,
[almarhum] Umar Kayam menyebut Indonesia sebagai
bangsa “salah kedaden” disebabkan tidak memiliki
cita-cita dan praktek riil untuk merdeka secara
ekonomi. Yang ada hanya kesadaran dan praktek merdeka
secara politik.
Walaupun begitu, Indonesia adalah negara yang sangat
kaya [terlengkap di dunia] SDAnya. Memiliki hutan
terluas di dunia [121 juta hektar] dan terkaya ketiga
setelah Brasil dan Konggo dalam mega biodiversity.
Selanjutnya kita memiliki jumlah pulau 17.504 pulau
[sampai 2004] tetapi belum seluruhnya diverifikasi dan
diberi nama berdasarkan definisi pulau. Jumlah
penghuninya adalah 211.000.598 yang menurut
perhitungan nanti pada tahun 2015 diperkirakan
mencapai 250 juta jiwa dan tahun 2050 bisa mencapai
290 juta. Sayangnya, secara sosiologis kita dapat
menyebut Indonesia sebagai “bangsa kaya” yang “miskin”
karena hidup kekurangan sehingga hutang tiap tahun.
Proyek hutang-piutang inilah awal mula penjajahan baru
secara sosial, politik, ekonomi dan budaya.
Tragisnya, presiden dan pemerintahan selanjutnya
ternyata mengulangi jalan yang sama, perilaku yang
tidak berbeda dan paradigma yang tidak berubah; jalan
hutang piutang, perilaku pasar bebas dan paradigma
bukan ekonomi kerakyatan yang pro kaum miskin. Karena
hal tersebut di atas dan mengingat prestasi
kesejahteraan rakat yang tak kunjung datang maka kaum
muda kemudian merumuskan ulang lanskap ekonomi baru
yang lebih riil dan tegas dengan tujuan dan cara
mencapainya secara brilian demi rakyat miskin.

Intinya, jika dilihat dan diamati pernyataan dan
brosur serta tulisan yang beredar, kaum muda
menyepakati bahwa kepemimpinan nasional perlu
disegarkan. Tetapi tidak sekedar penyegaran orang dan
subyek, melainkan juga gagasan dan visi. Dus, gagasan
mereka sangat jelas, merebut kepemimpinan yang akan
menyelenggarakan empat hal penting; Pertama, perubahan
paradigma pembangunan yang mengutamakan pemerataan,
bukan pertumbuhan [politik undang-undang]. Kedua,
nasionalisasi asset strategis dan SDA untuk kemakmuran
rakyat [politik kesejahteraan]. Ketiga, hapus hutang
lama dan tolak hutang baru [politik kemandirian].
Keempat, proteksi produksi dalam negeri [politik
kemodernan].

Empat visi di atas dikedepankan karena bagi kaum
muda, problem yang lain hanya turunan dari empat babon
problem bangsa kita. Itu artinya, siapapun presidennya
nanti akan berhadapan dengan empat problem besar yang
jika diselesaikan maka separo lebih persoalan bangsa
kita akan teratasi.

Karena itu, gagasan ekonomi baru yang dibawa kaum
muda ini memberikan pembobotan serius agar gerakan dan
gagasan kaum muda memimpin bukan angin lalu yang
“kosong” tanpa isi dan misi yang jelas. Dengan
kesadaran sejarah dan kajian sosiologis, riset
lapangan dan perpustakaan, gerakan kaum muda ingin
mengatakan bahwa “rizki, kemakmuran, kemartabatan,
kecerdasan, kemerdekaan dan kemodernan” bukan hanya
mukjizat dari langit. Mereka merupakan produk sejarah
yang harus direbut dan dibagikan. Tanpa itu, kita tak
akan jadi mutiara yang dahsyat. Tak akan jadi negara
yang disegani. Inilah laskap ekonomi baru kaum muda
dalam menjalankan dan menunaikan politik keindonesiaan
dalam bingkai kerakyatan dan kebinekaan.[]

No comments: