Friday, December 28, 2007

HILANGNYA KEPERCAYAAN

Sartono Kartodirjo [1997:74] menulis bahwa, ”musuh yang paling ditakuti dan sangat keras pada Belanda saat penjajahan adalah mereka yang [justru] dididik oleh Belanda.” Ini yang membedakannya dengan hasil didikan USA yang sering menjadi ekonom-politisi hit-man. Jika lulusan Belanda masa perjuangan menghasilkan ”anak durhaka” karena perlawanannya pada orang tua angkatnya, sebaliknya lulusan USA lebih memilih bekerjasama bahkan berucap, Amerika adalah tanah air saya yang kedua.
Karena alasan tersebut, Steven Hiat, dalam A Game as Old Empire [2007:45] menyebut mereka yang bersedia menjadi ”mitra dan pekerja ekonomi-politik Amerika” sebagai manusia-manusia ”antek” yang oportunistik karena lebih suka mengabdi pada bangsa asing daripada bangsa sendiri. Hal ini karena Amerika selalu berbahasa ganda; teriak demokrasi tetapi menggunakan kudeta militer, teriak perdamaian tetapi melanggengkan perang dan mengggunakan ”instrumen-instrumen” internasional yang harusnya netral menjadi ”berpihak.”

John Perkins [2004:34] menyebut mereka sebagai kumpulan ilmuwan yang berideologi neolib dan bekerja menuntut peran negara/pemerintahan di negara-negara berkembang harus diminimalisir dan kekuasan pasar harus dimobilisir. Pasar harus jadi penentu yang kewenangannya melebihi rakyat dan negara/pemerintah. Para antek inilah subjek penting yang menjual bangsanya demi karir pribadi dan kelompoknya.

Tentu ini hipotesa yang layak direnungkan oleh kita semua. Terutama ketika bangsa ini belum menjadi bangsa yang mandiri dan modern. Sebab, walau sudah merdeka, kita masih sangat tergantung dan menggantungkan diri dengan ”tangan-tangan asing.” Dan, renungan ini akan lebih bermakna ketika kita sedih karena sedang terpuruk akibat 10 tahun krisis yang belum berujung. Di luar itu juga karena kebahagiaan sering membuat kita lupa, membuat kita terlena. Hasil renungan orang yang sedang ”kalah” biasanya akan jernih, menghasilkan sikap konsekwen dan membuat sikap untuk terus-menerus berbenah dan istiqamah.

Agar kita tak kehilangan kesempatan dan kepercayaan, alangkah bijak jika kita mulai dengan pertanyaan; apa arti kehadiran ilmu eko-politik dan kepada siapa para ekonom-politisi harus berpihak. Jawabannya tentu beragam, tetapi dalam konteks keindonesiaan ketika problem bangsa ini masih berputar pada 3 hal fundamental berupa kemiskinan, pengangguran dan kekerasan maka hadirnya ilmu eko-politik adalah untuk mengentaskan problem tersebut. Lalu, tentu saja para ekonom-politisi tersebut harus bahu-membahu bersama orang-orang miskin menyelesaikan problemnya. Sebab menyelesaikan problem mereka adalah menyelesaikan tugas besar dan menyelesaikan 50% problem bangsa. Itu artinya gagasan menghadirkan ilmu eko-politik dan menjelaskan fungsi ekonom-politisi yang berideologi nasionalis-kerakyatan menjadi salah satu cara jitu mengatasi ”stagnasi ekonomi-politik yang sedang kita hadapi.”
Amartya Sen [1999] menulis, menyembulnya gagasan ”bersama kaum miskin” adalah munculnya ”dekonstruksi” terhadap struktur ekonomi-politik lama yang cenderung despotik. Karena itu, ia tidak merujuk pada gelar kesarjanaan dan di mana mereka mendapatkannya, melainkan pada progresifitas gagasan sebagai subtansi pesannya. Tetapi, syarat ekonom-politisi ini haruslah menguasai masa lalu [sejarahnya] dan membuka seluasnya pada masa depan. Dengan begini, ia haruslah seorang ”pembelajar” yang progresif dan mengapresiasi pembaruan dalam program ekonomi-politiknya. Ia menerjemahkan kaidah ”mempertahankan [sejarah] masa lalu yang masih baik, menerima dan mencipta sesuatu yang baru yang lebih baik [sejarah baru]. George Orwell [1974] menyebutnya sebagai ”orang yang menyimpang dari arus utama” karena kemampuannya untuk tidak memperkaya diri dan ”setia” pada arus idealisme yang ditinggalkan banyak orang.

Secara psikologis, gagasan ekonom-politisi menyimpang (crank) memiliki dua dimensi pemaknaan; anti libidinal [tidak tertarik secara membabi buta pada lawan jenis] dan anti kapital [asketis, tidak tertarik secara membabi buta pada kekayaan material]. Ekonom-politisi ini dengan demikian lahir menjadi ”karnal” karena mencintai yang tak lazim; intelektual, spiritual dan kaum miskin.
Memang, krisis ekonomi-politik hasil terapan ekonom-politisi lama pastilah menghadirkan sebuah momentum perubahan. Tetapi ia tidak cukup agar menjadi ”perubahan yang diinginkan.” Karenanya, ia masih memerlukan ikon kepemimpinan: seorang pemimpin berkarakter yang punya kharisma, dengan pandangan dan kepedulian yang menyimpang dari kelaziman. “Just as every convictions begins as a whim,” ujar Heywood Broun [1988], “so does every emancipator serve his apprenticeship as a crank. A fanatic is a great leader who is just entering the room.” Seorang pemimpin yang keluar dari keumuman karena bermental muda dan tidak tersandra oleh masa lalunya. Seorang yang mampu merubah kerumunan menjadi barisan.
Dan, dalam hal kepemimpinan transisi, model kepemimpinan yang dibutuhkan bangsa ini adalah kepemimpinan yang kuat, berkarakter, mendengar dan kerja keras sambil menggalang kerjasama dengan lingkup internasional. Dialah pemimpin yang tebar kerja, bukan hanya tebar pesona. Dialah pemimpin yang bekerja cepat, tepat, terkordinasi hingga sampai pada targetnya. Dialah sumber inspirasi rakyat untuk bekerja dan berprestasi.

Harus diakui, transisi politik-ekonomi sering mendatangkan “luapan perasaan” tak terkira. Banyak orang menganggap transisi adalah demokrasi. Lalu berharap demokrasi adalah kesejahteraan dan kestabilan. Padahal ketiganya dalam posisi masing-masing yang sangat berbeda. Intinya, transisi hanyalah keadaan dari zaman tidak demokratis menuju demokratis. Ia merupakan suasana yang harus dilewati. Sedang demokrasi hanyalah alat, bukan kesejahteraan itu sendiri.
Singkatnya, demokrasi baru akan berbuah jika dijalankan, bukan dibicarakan. Nah, untuk menjalankan dan mempraktekkannya diperlukan pemain-pemain baru, aktor-aktor baru bahkan pemimpin-pemimpin baru. Tentu saja akan lebih baik jika muda dan energik sehingga terbebas dari ”dosa masa lalu.”

Di atas segalanya jika kita tak segera menampilkan, memilih dan bersama ekonom-politisi yang mampu jadi pemimpin bangsanya di atas kepemimpinan diri dan golongannya maka hilangnya kepercayaan di antara kita dalam menuntaskan kemiskinan, pengangguran dan kekerasan akan jadi kenyataan. Selanjutnya akan melahirkan suatu model distrust society yang menggerus modal sosial kita sebagai bangsa. Hilanglah kesempatan, hilanglah harapan menjadi Indonesia seperti yang tertulis dalam Pancasila dan UUD-45.[]

No comments: