Friday, December 28, 2007

LANSKAP BARU PERANGI KEMISKINAN

LANSKAP BARU PERANGI KEMISKINAN

BPS melaporkan bahwa dewasa ini jumlah rakyat miskin sekitar 37.2 juta jiwa. Tetapi akan segera berlipat jika terjadi kenaikan harga konsumsi karena naiknya harga minyak. Diperkirakan kenaikannya dari 16.6 menjadi 29 persen. Lebih gila lagi, angka kemiskinan kita jika dihitung berdasarkan pendapatan 2 dollar per hari maka akan didapati angka 42.6 persen atau sekitar 100.7juta jiwa. Tentu saja ini merupakan angka yang sangat menggelisahkan. Angka yang bila dibiarkan akan menghasilkan “gejala jenuh pada status quo.” Gejala ini lahir karena aparatus pemerintah tidak memiliki program yang kongkrit dan inovatif dalam menghabisi kemiskinan sebagai pesan dasar UUD45; memajukan kesejahteraan umum guna menciptakan keadilan dan kemoderenan.

Agar gejala ini tidak menimbulkan anarkhi, kita perlu lanskap baru yang sama sekali berbeda dari program sebelumnya. Lanskap baru tersebut adalah; Pertama, melakukan penajaman tata peran dan tata kelola pelaku ekonomi [BUMN-Koperasi-Swasta] dengan pola partnership [kerjasama berkelanjutan] untuk menanggulangi rakyat miskin dan pengangguran. BUMN-Koperasi-Swasta harus menempatkan program penanggulangan kemiskinan sebagai program utama dan unggulan.

Kedua, pemetaan dunia usaha agar kita memiliki pengetahuan di mana basis keunggulan komparatif dan di mana kita memiliki keunggulan kompetitif. Dalam hal ini pemerintah harus membentuk pusat data dan trading house yang berfungsi secara strategis menyuplai data bagi pegiat ekonomi [lokal, nasional maupun internasional]. Bagi pemerintah, pembentukan lembaga ini bukanlah hal yang sulit. Pemerintah bisa menugaskan perusahaan-perusahaan negara yang sudah mapan [Pertamina, Telkom] agar berfungsi sebagai pelopor (avant garde) pusat data tersebut. Sedang untuk usaha kecil dan menengah [UKM] pemerintah bisa menunjuk Bulog. Sebagai BUMN, Bulog adalah institusi yang paling tepat dan cepat untuk melaksanakan atau menjadi pusat data dan trading house tersebut.

Ketiga, menetapkan kebijakan redistribusi asset kepemilikan rakyat terhadap usaha hajat hidup rakyat miskin. Tanpa redistribusi asset dan pengelolaan dari, oleh dan untuk rakyat miskin, kemiskinan akan sulit ditumpas. Terlebih kita memiliki tradisi aparatus pemerintah yang koruptif.

Keempat, penetapan kebijakan fiskal yang mengkondusifkan iklim usaha. Dalam hal ini pajak dan pelayanan harus cepat dan efesien. Perlu adanya reformasi pelayanan usaha agar memudahkan pelaku ekonomi menemukan kondisi yang menyenangkan ketika membayar pajak maupun mendapat penyaluran kredit. Kita harus jeli bahwa menuntaskan kemiskinan diperlukan strategi besar yang harus dimiliki oleh aparatus birokrasi. Terlebih kita adalah salah satu negara yang terlibat dalam upaya pengentasan kemiskinan melalui Millenium Development Goal's (MDG's). Dengan MDG's ini strategi operasional untuk membangkitkan dan mengembangkan ekonomi kerakyatan guna menuntaskan kemiskinan menjadi keniscayaan. Intinya, reformasi birokrasi yang melayani adalah keniscayaan.

Kelima, penyediaan bantuan yang mempercepat perkembangan usaha. Dalam hal penyediaan kemudahan bantuan/kredit, pemerintah dapat menugaskan bank (misalnya, BRI) sebagai lembaga yang bisa menjamin seluruh usaha [terutama UKM] untuk mengatasi masalah kemiskinan. Bagaimanapun BRI merupakan lembaga keuangan yang tepat, di samping secara manajemen cukup baik. Tingkat jangkauan BRI cukup luas sampai di tingkat kecamatan dan desa. Melalui permodalan yang dilakukan oleh BRI dan memanfaatkan jaringan koperasi simpan pinjam di pedesaan diharapkan penyaluran kredit kepada masyarakat akan lebih efisien dan dana masyarakat pedesaan akan berputar di sekitar pedesan pula.

Keenam, dorongan dan perlindungan bagi segala usaha. Strategi pengentasan kemiskinan belumlah cukup tanpa didukung oleh sejumlah gerakan nasional yang harus dilakukan secara bersamaan. Misalnya gerakan mendorong masyarakat untuk menciptakan lapangan pekerjaan dan bukan mencari kerja. Kemudian gerakan efisiensi nasional atau gerakan pola hidup sederhana. Melalui gerakan ini diharapkan masyarakat tidak menjadi konsumtif, tetapi sebaliknya masyarakat lebih produktif. Dengan produktifitas yang tinggi kita akan memiliki daya tahan yang kuat terhadap krisis. Sebab, selama ini ternyata sektor-sektor informal maupun sektor formal berskala kecillah yang paling siap menghadapi krisis ekonomi. Meningkatnya sektor informal semenjak krisis memberi indikasi kuat bahwa dari sektor inilah masyarakat mencoba bertahan terhadap krisis. Karena itu pemerintah perlu memfasilitasi berkembangnya sektor-sektor ini sebagai unit penyangga ekonomi masyarakat. Bukan sebaliknya, pemerintah tidak begitu ramah terutama terhadap sektor-sektor informal.

Ketujuh, gerakan proteksi produk dalam negeri dan gerakan loyalitas konsumen dalam negeri untuk produksi dalam negeri dengan menganeka-ragamkan pilihan pangannya. Jika gerakan ini dilakukan dengan baik, maka sebenarnya sudah tersedia pasar yang cukup besar bagi seluruh hasil produksi. Misalnya hasil produksi pertanian, perkebunan dan nelayan. Sekitar 250 juta penduduk Indonesia merupakan potensi pasar yang bisa digali dalam upaya membangkitkan daya saing ekonomi rakyat. Data BPS 2007 memperlihatkan bahwa Indonesia adalah negara agraris pengimpor terbesar produk pertanian. Tentu saja upaya meningkatkan daya saing produksi dalam negeri bukanlah sesuatu yang mudah. Kuncinya terletak pada komitmen pemerintah dan kita semua untuk membangkitkan rasa percaya diri dan rasa memiliki sebagai bekal menghadapi daya saing yang lebih tinggi [globalisasi].

Kedelapan, pengendalian modal asing serta produk impor. Ini adalah turunan dari akibat globalisasi. Dinamika perekonomian yang terbuka pada perdagangan global saat ini pada titik tertentu menghancurkan ekonomi dalam negeri. Membanjirnya produk dari negara tetangga baik yang legal maupun yang ilegal telah mematikan potensi ekonomi lokal yang tengah berkembang. Banyak pabrik ditutup karena tak lagi mampu bersaing dengan dinamika perekonomian global. Para kapitalis global telah mematikan perekonomian lokal karena mereka punya segalanya; modal besar, jaringan kuat, lobi yang kuat dan SDM yang mumpuni. Karena itu, Indonesia oleh sejumlah ekonom, dinilai telah menjadi pasar yang paling liberal. Tentu saja pasar yang hanya diisi oleh kapitalis-kapitalis tingkat dunia. Pengendalian modal asing dan pengecilan volume barang-barang impor menjadi kunci bagi berkembangnya ekonomi dan produk lokal.
Pengendalian modal asing dan pengecilan volume barang-barang impor menjadi kunci bagi berkembangnya ekonomi dan produk lokal. Inilah delapan lanskap ekonomi baru yang harus segera kita lakukan. Syaratnya, strategi ini harus menjadi strategi kita semua, pemerintah dan masyarakat. Inilah yang akan menjadikan bangsa Indonesia mampu membuat blue print tentang enam hal penting bagi rakyatnya sesuai dengan pesan dasar UUD-45; mentradisikan kesehatan, menyehatkan pendidikan, menyelenggarakan kebebasan, menjalankan keadilan, mengundangkan persamaan dan menjaga kesejahteraan. Saatnya kita semua menajamkan paradigma kemerdekaan politik [welfare state] ke arah kemerdekaan ekonomi [welfare society] agar stabilitas ekonomi dan kemakmuran rakyat segera tercapai.

Di atas segalanya, visi-misi kita dalam bernegara haruslah merujuk pada keadilan dan kesejahteraan. Tetapi, harus diingat bahwa kekuatan rakyat akan mubazir tanpa kekuasaan. Kekuasaan penguasa tak dapat diwujudkan kecuali dengan penegakkan hukum. Penegakkan hukum bertujuan untuk menegakkan keadilan dan menyebarkan kesejahteraan. Penyebaran keadilan dan kesejahteraan hanya dapat dilalui dengan pembangunan. Pembangunan untuk menyejahterakan rakyat hanyalah tugas, bukan tujuan. Sebab tujuan utamanya adalah mencari ridha dan menjalankan nilai-nilai luhur yang berujung pada Tuhan, penguasa alam semesta.[]

No comments: