Friday, December 28, 2007

NERAKA KAUM MISKIN

Jika negeri Bangladesh menjadi sorga kaum miskin karena ada Bank Kaum Miskin dengan GramenBank dan Yunusnya maka Indonesia adalah neraka kaum miskin. Hal ini karena bank-bank kita tidak memiliki skenario dan pemihakan yang jelas bagi orang miskin. Pemerintah juga lebih pro-konglomerat daripada kaum miskin.

Pada prakteknya, hal ini dapat dilihat pada kwalitas pertumbuhan ekonomi yang baru bergerak di sektor finansial. Sebuah pertumbuhan ekonomi yang justru merefleksikan kelas tertentu dalam masyarakat sehingga memarginalisasi rakyat miskin yang tidak memiliki akses ekonomi. Akibatnya, belum ada kepastian bahwa perbaikan ekonomi makro-mikro akan berlangsung berkelanjutan dan aman.

Pada level normatif, kita juga mencatat perbuatan elit politik kita yang lebih mementingkan konglomerat dan ekonomi asing dengan menerbitkan bermacam undang-undang yang menguntungkan mereka. UUPMA No.25/07, UU No.6/68 tentang PMDN, UU No.1/87 tentang KADIN, UU No.7/92 tentang Perbankan, UU No.22/01 tentang Migas, UU No.20/02 tentang Swastanisasi Listrik, UU No.7/04 tentang Swastanisasi Air, adalah buktinya.

Orang miskin pada akhirnya menjadi paria di negeri merdeka. Orang miskin menjadi anak tiri bangsa ini. Kaum miskin bagai ”anak ayam yang mati di lumbung padi.” Padahal kemiskinan bukan takdir yang genetik. Ia hanya akibat dari pergumulan internal dan eksternal kemanusiaan. Ia adalah kondisi yang dapat dirubah dan dimusnahkan. Ia dapat dimusiumkan, kata Muhamad Yunus [2007]. Ia adalah tantangan sekaligus peluang yang dapat dilalui guna mencapai kesejahteraan dan keadilan agar mendapat kebahagiaan.

Kemiskinan sendiri adalah absennya seluruh hak asasi manusia, kata Muhamad Yunus dalam pidato penghargaan Nobel Ekonomi pada tahun 2006 yang lalu. Frustasi, permusuhan dan kemarahan yang disebabkan oleh kemiskinan akut tidak bisa memupuk perdamaian dalam masyarakat manapun. Untuk membangun perdamaian yang stabil kita harus mencari cara-cara menyediakan peluang bagi rakyat untuk bisa hidup layak. Dus, dunia tanpa kemiskinan adalah dunia di mana setiap orang bisa mengatasi kebutuhan dasarnya.

Dunia tanpa kaum miskin juga dapat dinamai dengan dunia yang merdeka karena berdaulat dalam politik, berdikari dalam ekonomi dan berkepribadian dalam budaya serta berpluralisme dalam beragama.

Masing-masing dari filosofi itu dapat diterjekamkan dengan; Pertama, memantapkan visi demokrasi sebagai alat menciptakan kesetimbangan tiga kekuasaan; eksekutif, legislatif dan yudikatif. Pembangunan politik dan demokratisasi menjadi prioritas dan acuan keberhasilan kita dalam bernegara. Artinya, pembangunan politik dilakukan secara bertahap dan melalui mekanisme konsensus agar kestabilan politik segera dapat tercapai. Konsensus-konsensus politik membuat demokrasi menjadi hulu sekaligus hilir bagi seluruh tahap pengjawantahan pemerintahan dari, oleh dan untuk rakyat.

Kedua, yaitu gagasan bahwa pemerataan yang menumbuhkan ekonomi merupakan jawaban atas kemiskinan dan pengangguran dan kemudian menjadi syarat mutlak bagi lahirnya stabilitas politik. Singkatnya, kemiskinan ekonomi adalah sumber terjadinya instabilitas politik yang dialami oleh banyak orang. Kemiskinan dijawab dengan pembangunan berkeadilan yang menempatkan orang miskin sebagai subyek utamanya sehingga menghasilkan visi negara kesejahteraan [welfare state] yang ditopang oleh pemerintahan yang kuat. Visi ini berangkat dari pertanyaan, apa makna merdeka jika masih menderita. Bukankah kemerdekaan adalah terpenuhinya kebutuhan dasar demi meningkatkan kemampuan diri agar mampu bersaing dengan belahan dunia lainnya. Sejahtera dengan demikian adalah manusia seutuhnya. Manusia ideal Indonesia, manusia yang mewarnai kemerdekaannya dengan kehidupan seterusnya dalam keadilan, kemakmuran dan kesentosaan.

Ketiga, visi budaya yang produktif non konsumeris. Dalam visi ini seluruh akal dan kebudayaan kita diorientasikan bagi uamt demi kemajuan yang menghasilkan kemartabatan. Budaya Indonesia dengan demikian dapat dimaknai sebagai kultur hibrida yang menyesintesakan semua kebudayaan-kebudayaan dunia dengan tetap ramah pada kebijakan lokal.

Keempat, visi agama pluralis yang menghargai dan melindungi semua kepercayaan kepada Tuhan karena kesadarannya bahwa agama bersifat profan sebab yang sakral hanya Tuhan, inti dari semua kepercayaan. Pada visi ini dikembangkan sikap toleran dan kerjasama pada siapa saja tanpa memandang agama, bahkan pada yang tidak berama sekalipun. Dengan landasan sejarah par Nabi yang menyuruh manusia mempercayai Tuhan bukan agama maka visi ini direntang sebagai agama pembebasan yang bertugas membebaskan manusia dari kekufuran karena kemiskinan yng menimpa mereka. Agamanya dengan demikian adalah agama kesejahteraan [welfare religion] yang menjadi motif bagi lahirnya masyarakat sejahtera [welfare society].

Dengan empat penjelasan tersebut maka demokrasi politik kita adalah juga demokrasi ekonomi, budaya dan agama yang kesemua tujuannya adalah kemakmuran rakyat secara keseluruhan, di mana rakyat mempunyai hak untuk memiliki peluang politik, ekonomi, budaya dan agama yang sama dan terlibat langsung dalam proses produksi maupun dalam menikmati serta memiliki hasil-hasilnya.

Dalam demokrasi yang berkeadilan ini semua bergerak dan bekerja dalam tujuan yang sama yaitu memaknai kemerdekaan dan hak asasi hidupnya untuk menyingkap kerja abadi yang misterius. Sebuah demokrasi yang membedakannya dengan tafsir Thomas Jefferson [1776] ketika mengatakan bahwa demokrasi hanyalah aturan kerumunan agar menjadi barisan sehingga yang 51% suara dapat memerintah 49% suara lainnya.

Kita harus selalu ingat dan tak boleh lupa bahwa para pendiri republik ini telah meletakan dasar-dasar yang jelas dalam cita-citanya tentang negara kita di masa depan. Dilihat dari faktor sejarah, bahwa para pendiri negara ini merumuskan dasar-dasar negara dilatarbelakangi oleh situasi adanya kesenjangan yang dalam antara lapisan atas yang lebih beruntung dengan sejumlah besar lapisan bawah yang kurang beruntung pada waktu itu. Tugas kita adalah menafsirkan kembali dan menterjemahkan rumusan dasar tersebut dalam bentuk aksi-aksi kekinian sesuai masalah-masalah yang dihadapi oleh bangsa ini. Dalam hal ini tentu kita tidak dapat menghindar diri dari tugas untuk memusatkan perhatian kita pada perbaikan nasib rakyat banyak yang kurang beruntung itu. Hal ini membawa konsekuensi, baik strategi maupun program pembangunan yang harus memusatkan dana dan daya pada perbaikan nasib rakyat yang berada dalam keadaan materiil maupun spirituil masih terbelakang.

Kemiskinan yang menimpa mereka sehingga terbelakang merupakan asal-muasal dari problem-problem lanjutan yang menimpa kemudian. Problem kesehatan yang tidak stabil, pendidikan yang rendah mutunya, pengetahuan yang minim adalah hilir atau lanjutan dari problem kemiskinan yang mereka rasakan. Dengan demikian, jika kita mampu menyelesaikan problem kemiskinan, akan sangat besar kemungkinan bagi kita mengurangi bahkan menghapus problem mereka selanjutnya.

Dus, menjadikan masyarakat Indonesia sebagai masyarakat kaya dan sejahtera dengan sikap yang merdeka, mandiri, serta moderen sehingga berwibawa tetapi bertumpu pada demokrasi merupakan sebuah tuntutan yang perlu segera dijawab oleh semua komponen bangsa.

Jika kesadaran ini belum menyentuh para aparatus pemerintah dan kita semua maka benar kata para Indonesianis yang sering mencap negeri kita sebagai negeri yang selalu ”kehilangan kesempatan.” Tentu saja kesempatan merubah dari neraka kaum miskin menjadi sorga bagi siapa saja.[]

1 comment:

Slamet Riyadi, S.Ag., M.Hum., said...

kemisinan mndatangkan ke-irian..padahal irie tanda tak mampu..