Friday, December 28, 2007

LANSKAP POLITIK-EKONOMI KAUM MUDA MEMIMPIN

LANSKAP POLITIK-EKONOMI KAUM MUDA MEMIMPIN


Ikrar telah dibacakan, kreta telah dilecut, subyek telah dikampanyekan, lanskap politik-ekonomi telah disemai. Kini, kaum muda sedang menangkap respon, kritik dan sintesa yang sedang datang berjalan mendatanginya.
Jika di tahun 2003 menuju pemilu 2004 kaum muda mengkampanyekan ”jangan pilih politisi busuk” maka 2008 menuju 2009 kaum muda sangat serius mengkampanyekan gagasan saatnya kaum muda memimpin. Tentu saja gagasan ini berpijak pada visi penyelamatan bangsa, misi kesejahteraan rakyat dengan paradigma keadilan dan kesejahteraan. Politik keadilan dan ekonomi kesejahteraan adalah kata kunci memahami ideologi kaum muda memimpin.

Secara politik, kaum muda beriman pada demokrasi. Dan, mereka percaya bahwa demokrasi hari ini sudah pada relnya. Yang jadi tuntutan kaum muda hanya pada pendalaman dan konsolidasi kaum pro-demokrasi untuk bergerak lebih tajam dari prosedur menjadi subtansi. Jika demokrasi prosedur hanya berpijak pada angka-angka dan undang-undang yang membatasi gerak langkah kaum demokrat dalam menyelenggarakan pemerintahan sehingga melahirkan ”tirani mayoritas” maka subtansi demokrasi berjalan dalam logika sebaliknya.

Para demokrat sepakat bahwa demokrasi subtansi adalah demokrasi yang meletakkannya sebagai jalan dan nilai bagi tumbuhnya kebersamaan dan kegotongroyongan untuk sampai pada ”cita-cita” besar bangsa kita, yaitu masyarakat yang adil dan sejahtera. Dengan memahami demokrasi sebagai alat dan nilai, kaum muda menuntut praktek demokrasi tidak hanya dimiliki oleh partai politik dan sekumpulan mereka yang berduit. Praktek demokrasi subtansial adalah ”perlindungan” menyeluruh bagi semua anak bangsa dalam berpolitik dan artikulasinya dalam berbangsa, berapapun miskin dan sedikit jumlahnya. Itulah mengapa kaum muda menyepakati gagasan tampilnya perseorangan sebagai calon independen bagi pemimpin, baik bupati, gubernur maupun presiden.

Dengan visi yang clear ini, kaum muda ingin menegaskan bahwa mereka tidak anti demokrasi, anti partai, apalagi anti negara. Yang dilakukan hanyalah kampanye kesadaran bahwa ”pemerintah” adalah buah demokrasi yang punya tugas dan kewajiban besar melaksanakan konstitusi dan amanat rakyat dengan tugas utama melayani rakyat banyak, membebaskan mereka dari kemiskinan, pengangguran dan kekerasan.

Secara ekonomi, kaum muda beriman pada demokrasi ekonomi. Dalam hal ini kaum muda memilik ”paradigma berbeda” dengan elit negara. Mereka melihat bahwa elit pemerintah [eksekutif] dan elit parpol [legislatif] masih berparadigma lama, berperilaku lama. Para elit ini oleh kaum muda dianggap gagap dan gagal memaknai pesan dasar konstitusi. Sebab, partai politik dan eksekutif [presiden dan pemerintahan selanjutnya] ternyata hanya mengulangi paradigma yang sama, perilaku yang tidak berbeda dan jalan yang tidak berubah. Paradigma pro-pertumbuhan [konglomerasi], perilaku pasar bebas [market fundamentalism], jalan hutang piutang [besar pasak daripada tiang], sehingga tidak mengutamakan ekonomi kerakyatan yang pro kaum miskin.

Intinya, jika membaca pernyataan dan brosur serta tulisan yang beredar maka kaum muda menyepakati bahwa kepemimpinan nasional perlu disegarkan, dibarukan dan diganti. Tetapi tidak sekedar penyegaran orang dan subyek, melainkan juga gagasan dan visi. Dus, gagasan mereka sangat jelas, menghancurkan pemerintah yang menjadi kepanjangan tangan neolib dan merebut kepemimpinan yang akan menyelenggarakan empat hal penting; Pertama, perubahan paradigma pembangunan yang mengutamakan pemerataan, bukan pertumbuhan [politik undang-undang]. Kedua, nasionalisasi asset strategis dan SDA untuk kemakmuran rakyat [politik kesejahteraan]. Ketiga, hapus hutang lama dan tolak hutang baru [politik kemandirian]. Keempat, proteksi dan penggunaan produksi dalam negeri [politik kemodernan].

Inilah lanskap politik ekonomi kaum muda yang didesain bagi peraihan prestasi kesejahteraan rakat agar lekas datang. Dalam hal ini, kaum muda berusaha merumuskan ulang lanskap ekonomi politik baru yang lebih riil dan tegas dengan tujuan dan cara mencapainya secara brilian demi rakyat miskin, bukan untuk orang per orang apalagi sekelompok orang. Politik-ekonomi kaum muda dengan demikian adalah politik-ekonomi kaum miskin yang dimerdekakan, dimandirikan dan dimodernkan.
Gagasan politik ekonomi kaum miskin yang berbasis pedesaan dan nelayan menjadi penting karena sektor pertanian dan nelayan adalah sumber kemiskinan. Kita tahu, jumlah rakyat miskin berada paling banyak di pedesaan. Sensus BPS 2006, jumlah warga miskin di pedesaan sebesar 27.8 juta jiwa dan sebagian besar bekerja di sektor pertanian/perkebunan/perikanan/buruh.

Dus, kita harus fokus dan berparadigma yang menempatkan rakyat miskin [buruh, petani, nelayan, pekebun] sebagai sasaran utama kebijakan pembangunan eko-politik. Dengan fokusnya arah pembangunan politik-ekonomi tersebut, rakyat miskin akan dapat ikut secara maksimal dalam pembangunan politik-ekonominya.
Memang, pemerintah telah menetapkan revitalisasi pertanian sebagai bagian dari triple track strategy. Sayang, konsepnya tidak jelas dan implementasinya tidak intensif-efektif karena minimnya koordinasi antar lintas sektor yang sampai ke daerah. Saat bersamaan, pemerintah juga tidak menghasilkan pola tata niaga perekonomian sehingga kurang memberikan peran yang maksimal pada Koperasi dan BUMN.
Data BPS menunjukan bahwa pertumbuhan sektor pertanian menurun dari 4.1%/2004 menjadi 3.0%/2006. Pangsa PDB pertanian menurun dari 15.5%/2004 menjadi 13.0%/2006. Selanjutnya, produksi beras makin menurun. Tahun 2007 produksi gabah kering direncanakan hanya 53.1 juta ton atau turun 1.2 juta ton dibanding tahun 2006. Hal ini terbuktikan bahwa kinerja pertumbuhan pertanian kuartal I/2007 tercatat negatif sehingga menjadi bukti bahwa program revitalisasi pertanian tidak maksimal. Akibatnya, daya beli masyarakat miskin petani di pedesaan menjadi sangat rendah.
Sementara itu harga kebutuhan pokok semakin meningkat. Hal ini disebabkan karena terjadinya ketidakseimbangan antara produksi dan permintaan yang mengakibatkan adanya kegagalan pasar [market failure]. Bukti kegagalan pasar adalah terjadinya kenaikan harga beras dan minyak goreng yang tidak dapat diselesaikan oleh pemerintah secara tepat dan cepat. Sebaliknya pemerintah menanggulanginya secara reaktif dengan menyalahkan harga komoditas dunia. Hal ini lagi-lagi membuktikan tidak adanya pola tata niaga yang implementatif.

Koperasi dan BUMN juga tidak berperan maksimal dalam persoalan naiknya harga kebutuhan pokok tersebut. Selebihnya, peranan Koperasi menjadi sangat kecil dan peran BUMN tidak maksimal dalam menangani cabang-cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak. Hal ini dapat dilihat dari penjualan Indosat, Kebun Kelapa Sawit yang sangat besar ke PT. Gutri Peconina Indonesia (GPI) dan penjualan tambak udang terbesar di dunia, Dipasena Citra Darmaja ke swasta dan perusahaan asing.
Dengan demikian, kebijakan yang tidak fokus tersebut belum menyentuh ketahanan politik-ekonomi apalagi kedaulatan ekonomi. Padahal kedaulatan ekonomi merupakan prasyarat bagi demokratisasi. Karena itu, Menko Ekuin Prof. Boediono [24/2/07] dalam pidato pengukuhan guru besarnya di UGM mengatakan, “tingkat kemajuan ekonomi merupakan faktor penentu bagi keberlanjutan demokrasi.” Karena itu, apalah artinya semua keberhasilan pemerintah sekarang jika tidak segera melengkapinya dengan mengatasi problem “stagnasi politik-ekonomi.”

Di sinilah logika saatnya kaum muda memimpin menemukan basis argumentasinya. Yang muda, waras dan cinta Indonesia adalah harapan rakyat banyak untuk memerdekakan kembali bangsa ini, memandirikan kaum miskin dan memodernkan pemerintahan. Semoga gagasan kaum muda jika ”masuk menggenapi” dan jika ”keluar menambah” bagi pencapaian cita-cita besar bangsa kita.[]

No comments: