Friday, December 28, 2007

Kutukan Sumber Daya Alam

Oleh M. Yudhie Haryono

Direktur Nusantara Centre

Dalam berbagai artikel, buku, wawancara maupun ceramahnya, mantan bandit ekonomi [economic hit-man], John Perkins mengatakan bahwa multinational corporation (MNC) melalui IMF dan Bank Dunia selalu membungkus tindakannya dengan kalimat-kalimat yang mulia.

Kalimat itu menjadi mantera yang ampuh seperti, memajukan peradaban, menyebarkan demokrasi, merangsang pertumbuhan ekonomi, menerangi jalan kemajuan-tetapi tidak diragukan lagi mereka adalah penjajah yang berniat menjarah. Mereka layak disebut diktator finansial [John Perkins, 2007:85].

Hipotesis ini kemudian mendapatkan pembenarannya oleh telaah akademik Stiglitz [pemenang Nobel ekonomi] yang menulis bahwa "agar program-program IMF berjalan dan angka-angka bertambah terus, perkiraan ekonomi harus disesuaikan.

Banyak orang yang menggunakan angka-angka ini tidak menyadari perbedaannya dari perkiraan biasa. Dalam contoh-contoh ini, perkiraan GDP tidak dibuat berdasarkan model statistik yang canggih. Bahkan bukan merupakan estimasi terbaik dari orang yang memahami ekonomi. Akan tetapi sekadar angka-angka hasil negosiasi sebagai bagian dari program IMF [Stiglitz, 2003:232].

Jika dua tesis di atas digunakan sebagai analisis keadaan ekonomi-politik kita, dapat dimengerti bahwa sampai hari ini negara Indonesia belum beranjak menuju zona aman ekonomi, sebaliknya menuju a nation in collapse.

Hal ini karena paradigma pembangunan ekonomi kita belum beranjak dari paradigma pertumbuhan. Juga berbagai tindakan yang belum sepenuhnya sadar akan "intervensi asing" dalam pengelolaan SDA.

Sebagai bukti, dalam pidato presiden Agustus 2007, asumsi pemasukan APBN kita hanya berasal dari pajak, privatisasi BUMN, SUN dan migas.

Padahal, kita dapat memasukkan sektor pertambangan sebagai sumber utama APBN. Sebab, jika dilihat angka-angka yang harusnya dapat diperoleh dari pertambangan cukup mencengangkan. Dalam riset yang dilakukan oleh Drajat Wibowo terhadap PT Freeport kita hanya mendapat Rp14 triliun atau menyumbang APBN 2007 sebesar 0,09%.

Hal ini karena kontrak karya yang salah dan kepemilikan pertambangan oleh perusahaan MNC. Padahal, kita seharusnya bisa mendapatkan pemasukan sebesar Rp20,7 triliun. Itu pun baru dari satu kontrak karya pertambangan.

Artinya, jika dilakukan secara menyeluruh terhadap proses renegosiasi kontrak karya sebagaimana diusulkan Stiglitz dan Perkins dengan melihat kebutuhan APBN negara-negara miskin maka akan terlihat bahwa sektor pertambangan adalah primadona yang seharusnya kita nikmati bersama.

Dengan melihat kontrak karya yang tidak adil maka kita sadar bahwa sudah lama negeri ini kehilangan kapasitas-kapasitas domestiknya akibat hubungan yang mendalam dan berkelanjutan dengan MNC dan dengan rezim kapitalis global [USA].

Secara empiris, hanya sedikit cerita sukses dari sebuah pemerintahan yang mendasarkan diri pada utang dan resep-resep IMF. Kebanyakan justru masuk dalam debt trap berkepanjangan dan kemudian memengaruhi berbagai program pembangunan yang pilihannya adalah meninggalkan rakyat sebagai pemilik sah SDA dan negaranya.

Dalam sejarahnya, kita memang selalu ada dalam konteks pertumbuhan kapitalisme dan sejarah penjajahan. Dalam perjuangan merebut ataupun mempertahankan kemerdekaan itu pula kita tetap dalam ruang sejarah kapitalisme yang menjajah.

Karena itu, tidak ada jalan lain kecuali menempatkan kapitalisme sebagai sebuah imperatif sejarah (historical imperrative) di samping juga menyadari keberadaannya dalam interdependensi global yang ditandai oleh "integrasi dan resistensi relatif."

Artinya, melakukan integrasi secara penuh akan dengan mudah menjebak negara ke dalam lingkar dependensi global yang lebih mendalam sementara melakukan perlawanan terhadap kapitalisme dunia hanya akan melahirkan nasionalisme yang terlampau eksotik. Karena itu pilihannya adalah interdependen.

Posisi interdependen diandaikan sebagai konstelasi yang netral, tetapi sebenarnya ada operasi-operasi tersembunyi yang berlangsung di balik globalisasi. Sejumlah intelektual menyebut globalisasi sebagai mitos karena dalam globalisasi timbul adanya "kekuasaan yang beroperasi dalam keriangan."

Kita seolah-olah merayakan keragaman, padahal yang berlangsung sebenarnya keseragaman. Kita seakan-akan hidup dalam pertumbuhan tetapi yang terjadi adalah ketidakadilan ekonomi. Kita seakan-akan berhasil menumpas para diktator politik tetapi yang terjadi adalah menciptakan diktator ekonomi [baru] yang lebih bengis.

Lebih pro rakyat

Semakin jelas, bahwa meskipun ada agenda-agenda politik yang didesain oleh kekuatan pasar global, ia hanya sebatas pada logika-logika akumulasi kapital ketimbang akumulasi demokrasi.

Karena itu, urusan bagaimana kapitalisme dan rezim pasar global membawa berkah atau bencana, akan banyak ditentukan oleh upaya-upaya kreatif dan progresif dari setiap negara untuk lari dari posisi sebagai negara yang serba diatur (regulatory state) oleh rezim pasar global.

Dari argumen di atas, pelajarannya adalah jika negara gagal melakukan intermediasi dan gagal menjadi avatar yang organik antara pasar dan rakyat banyak maka kita akan bergantung pada struktur modal internasional sehingga menyeret bangsa kita pada posisi sebagai aparat pasar (market apparatus).

Dus, selama agenda-agenda besar negara lebih banyak mengakomodasi ruang pasar dan menihilkan hak rakyat, negara tersebut akan jatuh pada hamba kapitalisme yang berkepanjangan.

Sebagai market apparatus, regulasi yang dibuat negara akan senantiasa memberi pelayanan pada rezim pasar global. Terlebih, sampai kapan pun, kekuatan modal internasional tidak pernah bisa diharapkan membasmi kebocoran anggaran, korupsi dan juga mendesak dihukumnya pejabat publik yang KKN.

Tidak ada pilihan lain kecuali bahwa kita harus mendesain ekonomi nasional di zaman demokrasi ini harus lebih mengikuti kaidah-kaidah pro-rakyat yang menitikberatkan pada pemerataan dan kesejahteraan guna menghasilkan keadilan.

Ekonomi nasional harus mewujudkan good governance yang prinsip-prinsipnya adalah aksesibilitas, transparansi dan akuntabilitas dalam semua aspek, termasuk [renegosiasi] kontrak karya.

Di atas segalanya, kita harus memahami arti globalisasi dan liberalisasi ekonomi yang tidak mungkin dielakkan lagi oleh Indonesia. Artinya, kita akan mengundang modal asing untuk datang ke Indonesia sebanyak-banyaknya, akan tetapi dengan syarat-syarat yang menjamin keuntungan bagi kedua belah pihak.

Kekayaan alam sebagai karunia Tuhan harus dipelihara dan dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran dan kepentingan rakyat.

Perusahaan dan modal asing dipersilahkan untuk beroperasi di seluruh nusantara, tetapi, sekali lagi, atas dasar saling menguntungkan dan berlandaskan asas kepantasan dan keadilan. Jika hal ini dapat segera kita lakukan, kutukan SDA bisa berubah menjadi berkah SDA.

1 comment:

iwan dwi laksono said...

situs yang berisi tulisan2 ilmiah, menggelitik dan memberikan pencerahan buat Republik Indonesia